Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Jumat, 17 Agustus 2012

Bunga Tertutup Ilalang


Bunga Tertutup Ilalang
Cerpen karya Ahmad Zaini*

Ilalang berjajar rapi di tepi telaga. Setiap sore bunganya terumbai-umbai ditiup angin. Daun-daunnya bergesekan seakan mengiris kulit ari dua remaja yang memadu kasih di baliknya.
“Auu…!” teriak gadis saat seekor ulat merayap di belakang daun telinga.
“Kenapa, Say?” tanya Rendi.
“Hih….geli…! Tolong ambilkan Mas…!” pinta gadis itu.
“Tenang! Tenang, Say..!” Rendi perlahan-lahan beraksi. Ibu jarinya berpaut dengan telunjuk untuk  mengenyahkan ulat yang merayap di balik daun telinga kekasihnya.
“Mampus, kau!” ucap Rendi sambil memencet ulat kecil berbulu gatal itu.
“Terima kasih, Mas!” ungkap gadis itu memanja.
Dua sejoli yang sedang dimabuk asmara mulai merasa capek berlama-lama duduk di tepi telaga.
Mereka memadu kasih sejak tiga jam lalu. Kini mereka mulai kehabisan energi dan kata-kata rayunya.  Si gadis yang tak lain adalah Murni, beringsut dari samping Rendi. Ia berdiri sambil membersihkan serpihan-serpihan ilalang yang menempel di roknya bagian belakang.
“Sini kubantu!” kata Rendi.
“Eit! Tidak boleh! Ini daerah terlarang,” cegah Murni.
“He, he, he!” Rendi cengar-cengir karena niatnya tidak kesampaian.
“Jangan suka menggunakan kesempatan dalam kesempitan!”
“Ya, nggak lah, Say…! Saya ikhlas membantumu. Masak saya membiarkan dirimu sibuk mengurusi kotoran-kotoran itu sendiri? Aku, kan sayang kamu!” mendengar kata sayang dari Rendi, Murni tersenyum manja. Ia berharap kata itu selalu menghiasi hari-harinya.
Sinar matahari sudah tampak memerah. Ia seperti terbakar sinarnya sendiri. Perlahan mentari itu menyelinap di sela-sela daun trembesi di kejauhan sana. Terlihat kepak kawanan burung di angkasa beriring membentuk formasi segi tiga. Mereka seakan memberi isyarat kepada Rendi dan Murni agar segera pulang seperti mereka. Pemuda yang sedang dimabuk asmara itu pun menangkap signal dari ratusan burung itu. Mereka akhirnya beranjak dari tepi telaga pulang ke rumah masing-masing.
Dua remaja menyusuri jalan setapak. Kedua tangan mereka membelai bunga-bunga ilalang hanya sekedar berpamitan. Bulu-bulu bunga terbang mengiringi mereka hingga di persimpangan  jalan ke arah jalan raya. Mereka berpisah dibawa lari motor masing-masing.
“Sampai ketemu, Say…!” pamit Murni yang mengendarai Vario warna pink.
“Hmmmmm!” Rendi tertegun tak mampu membalas kata Murni.
Begitu bahagianya Rendi karena telah berhasil menembak Murni sehingga ia bisu mendadak.
“Yes, yes, yes!” aksi Rendi seperti selebrasi pemain sepak bola usai mencetak gol ke gawang lawan.
***
Hari telah pagi. Rumah Rendi sepi seperti tak berpenghuni. Ia melihat kedua orang tuanya tak ada di rumah lagi. Sepertinya mereka telah berangkat ke tempat kerja. Saat Rendi hendak ke kamar mandi, langkahnya terhenti karena mendengar ada orang yang memanggil-manggilnya dari pintu depan. Eh, ternyata ayah Murni.
“Eh, Bapak! Ada apa Pak kok pagi-pagi datang ke rumah?” tanya Rendi.
“Saya tadi sudah beberapa kali menelepon Nak Rendi, tapi tidak diangkat-angkat,” kata ayah Murni.
“Oh, ya? Ealah, Pak…Hape saya tertindih bantal sehingga tidak terdengar sewaktu Bapak Menelepon. Memangnya ada apa, Pak?”
“Saya ingin menanyakan Murni. Apakah kemarin kamu bersama Murni?” tanya ayah Murni.
“I..i…iya, Pak. Kemarin saya bersama Murni,” jawab Rendi dengan gugup.
“Memang kenapa Murni, Pak?” timpalnya.
“Murni belum pulang sejak kemarin,” jawab ayah Murni.
Mendengar jawaban ayah Murni, Rendi kaget setengah mati. Kedua matanya terbelalak seakan tak percaya dengan kabar yang baru disampaikan oleh ayah Murni.
“Terus ke mana, Pak?”
“Maka dari itu, saya kemari bertanya kepadamu.”
Rendi kebingungan. Dia gugup. Ia masih belum percaya jika Murni belum pulang ke rumahnya.
“Kemarin Murni bersama saya hingga senja hari di tepi telaga. Setelah itu, kami berpisah pulang ke rumah masing-masing. Ke mana ya..?” Ayah murni mendengarkan cerita Rendi dengan serius. Ia deg-degan dengan apa yang telah disampaikan Rendi. Mata ayah Murni berkaca-kaca. Ia mulai takut jika terjadi apa-apa dengan anak gadisnya.
“Bapak jangan cemas seperti itu. Sabar Pak!” pinta Rudi kepada ayah Murni yang polos itu.
Rendi meraih hape yang masih tertutup bantal. Ia dengan serta-merta memijiti tombol hape untuk mencari nomor telepon teman dekat Murni. Satu persatu ia hubungi dan menanyakan keberadaan Murni. Namun satu pun dari mereka tidak ada yang tahu  keberadaannya.
“Bagaimana, Nak Rendi?” tanya ayah Murni dengan nada gelisah.
“Tenang, Pak! Bapak ikut saya. Kita cari Murni ke tepi telaga itu!” ajak Rendi.
Kedua lelaki yang sangat merisaukan Murni berangkat mencari jejak wanita yang kini telah menjadi kekasih Rendi. Motor warna hijau tua yang mereka kendarai menyusup ke tengah-tengah ilalang yang berselimut embun. Tetes-tetes embun bening menempel di bodi atau roda yang menggelinding melindasnya. Rendi menghentikan motornya tepat di mana mereka duduk berdua kemarin senja. Ia tak menemukan apa-apa. Ia hanya melihat ilalang lusuh bekas tempat duduknya bersama Murni.
“Ayo, Pak kita cari ke sana!” ajak Rendi sambil menunjuk tempat saat mereka berpisah kemarin senja.
Sesampai tempat yang ditunjuk Rendi, meraka pun tak menemukan apa-apa. Mereka hanya melihat bekas roda motor Murni yang mengular hingga pinggir jalan raya.
Rendi beserta ayah Murni mengikuti kelokan tanah bekas roda motor Murni. Ketika jarak mereka semakin dekat dengan jalan raya, mereka kaget karena tidak melihat bekas roda motor Murni lagi. Ya. Bekas roda itu hanya berhenti sampai tempat mereka berdiri.
Kedua orang itu saling berpandangan. Wajah cemas dan takut tergambar pada kedua lelaki yang berbeda zaman. Mereka bergerak pelan dengan langkah hati-hati sekali hingga gemerisik gesekan dedaun ilalang pun nyaris tak terdengar. Pandangan mata mereka menyusuri batang-batang ilalang. Mereka berharap ada sehelai daun yang sudi menunjukkan arah di mana Murni berada.
Peluh mulai menembus pori-pori. Lembut wujudnya merayap di baju yang mereka kenakan. Gerah bercampur gatal daun ilalang berperang dengan sengatan matahari di arena tubuh mereka berdua. Namun, usaha mereka dalam menemukan Murni belum juga membuahkan hasil.
Kresek!” suara gesekan ilalang.
Rendi spontan menengok ke arah suara itu diikuti ayah Murni. Seekor tikus menyelinap lagi ke dalam semak ilalang. Rendi tersentak saat ia tahu sesuatu yang dibawa tikus tadi.
“Roti! Roti!” teriaknya panik.
“Roti?” ayah Murni heran pada ucapan Rendi.
“Apa hubungan semua ini dengan secuil roti?” tanya ayah Murni.
“Itu sisa roti yang kami makan dengan Murni kemarin senja. Sisa roti itu akan dibawa pulang oleh Murni,” jawabnya. Mereka berdua yakin bahwa Murni ada di tempat tersebut.
Kresek!” suara gesekan ilalang karena tersentuh tikus yang lewat. Tikus berbulu hitam kecoklatan itu kini tak membawa apa-apa. Dalam hati kecil mereka berkata bahwa tikus itu akan kemabli mengambil sesuatu di tempat yang sama. Mereka berdua pun mengikuti ke mana arah tikus itu berjalan. Mereka melangkah pelan-pelan agar suara gesekan daun ilalang itu tidak mengganggu tikus.
Setelah sekian menit mereka berjalan mengendap-ngendap mengikuti tikus tadi, mereka pun berhenti. Ia mengamati tikus yang masuk ke sebuah liang. Mereka terkejut saat melihat tanah liang itu seperti timbunan galian baru. Sontak saja mereka mencari alat seadanya untuk membongkar gundukan tanah tersebut. Baru sekali gali, tongkat yang digunakan oleh Rendi menyentuh sesuatu. Mereka pun berusaha menggali tanah itu secepatnya biar tahu apa yang terkubur di dalamnya. Mata mereka melihat sehelai kain di permukaan galian. Dan kain itu dikenali mereka.
“Murni…!” teriak histeris Rendi dan ayah Murni. Ternyata benar apa yang mereka duga. Di dalam gundukan tanah itu tampak tubuh yang membujur kaku berlumuran darah. Wajah mayat yang masih samar karena diselimuti debu segera mereka kenali. Ya. Murni mereka temukan di gundukan tanah dalam keadaan meninggal.
“Anakku…! Siapa yang tega berbuat seperti ini padamu, Nak?” isak tangis ayah Murni sambil mendekap tubuh anaknya yang diam membisu tak bernyawa.
“Sabar, Pak!” ungkap Rendi menenangkan ayah Murni.
Rendi sendiri juga merasa terpukul dengan peristiwa itu. Ia meremas-remas serta menarik-narik rambutnya sebagai ungkapan penyesalan karena senja itu dia tidak mengantarkan Murni pulang sampai ke rumahnya.  Kedua mata Rendi berkaca-kaca kemudian meneteskan air mata bening tanda kesucian cintanya kepada Murni.
Akhirnya mereka pulang sambil membopong tubuh Murni melintasi ilalang yang kini terdiam menyaksikan peristiwa pilu yang dialami mereka. Bunga-bunganya yang putih suci terbang mengiringi mereka bersama dengan hembusan angin yang datang di tengah terik matahari siang. (*)
Lamongan, 10 Desember 2011

*Cerpenis guru di SMA Raudlatul Muta’allimin Babat
Tinggal di Wanar Pucuk Lamongan




















Tidak ada komentar:

Posting Komentar