Bunga Tertutup Ilalang
Cerpen karya Ahmad
Zaini*
Ilalang berjajar
rapi di tepi telaga. Setiap sore bunganya terumbai-umbai ditiup angin.
Daun-daunnya bergesekan seakan mengiris kulit ari dua remaja yang memadu kasih
di baliknya.
“Auu…!” teriak
gadis saat seekor ulat merayap di belakang daun telinga.
“Kenapa, Say?”
tanya Rendi.
“Hih….geli…!
Tolong ambilkan Mas…!” pinta gadis itu.
“Tenang! Tenang,
Say..!” Rendi perlahan-lahan beraksi. Ibu jarinya berpaut dengan telunjuk
untuk mengenyahkan ulat yang merayap di
balik daun telinga kekasihnya.
“Mampus, kau!”
ucap Rendi sambil memencet ulat kecil berbulu gatal itu.
“Terima kasih,
Mas!” ungkap gadis itu memanja.
Dua sejoli yang
sedang dimabuk asmara mulai merasa capek berlama-lama duduk di tepi telaga.
Mereka memadu kasih sejak tiga jam lalu. Kini mereka mulai kehabisan energi dan
kata-kata rayunya. Si gadis yang tak
lain adalah Murni, beringsut dari samping Rendi. Ia berdiri sambil membersihkan
serpihan-serpihan ilalang yang menempel di roknya bagian belakang.
“Sini kubantu!”
kata Rendi.
“Eit! Tidak
boleh! Ini daerah terlarang,” cegah Murni.
“He, he, he!”
Rendi cengar-cengir karena niatnya tidak kesampaian.
“Jangan suka
menggunakan kesempatan dalam kesempitan!”
“Ya, nggak lah,
Say…! Saya ikhlas membantumu. Masak saya membiarkan dirimu sibuk mengurusi
kotoran-kotoran itu sendiri? Aku, kan sayang kamu!” mendengar kata sayang dari
Rendi, Murni tersenyum manja. Ia berharap kata itu selalu menghiasi
hari-harinya.
Sinar matahari
sudah tampak memerah. Ia seperti terbakar sinarnya sendiri. Perlahan mentari
itu menyelinap di sela-sela daun trembesi di kejauhan sana. Terlihat kepak kawanan
burung di angkasa beriring membentuk formasi segi tiga. Mereka seakan memberi
isyarat kepada Rendi dan Murni agar segera pulang seperti mereka. Pemuda yang
sedang dimabuk asmara itu pun menangkap signal dari ratusan burung itu. Mereka
akhirnya beranjak dari tepi telaga pulang ke rumah masing-masing.
Dua remaja
menyusuri jalan setapak. Kedua tangan mereka membelai bunga-bunga ilalang hanya
sekedar berpamitan. Bulu-bulu bunga terbang mengiringi mereka hingga di
persimpangan jalan ke arah jalan raya. Mereka
berpisah dibawa lari motor masing-masing.
“Sampai ketemu,
Say…!” pamit Murni yang mengendarai Vario warna pink.
“Hmmmmm!” Rendi tertegun
tak mampu membalas kata Murni.
Begitu
bahagianya Rendi karena telah berhasil menembak Murni sehingga ia bisu
mendadak.
“Yes, yes, yes!”
aksi Rendi seperti selebrasi pemain sepak bola usai mencetak gol ke gawang
lawan.
***
Hari telah pagi.
Rumah Rendi sepi seperti tak berpenghuni. Ia melihat kedua orang tuanya tak ada
di rumah lagi. Sepertinya mereka telah berangkat ke tempat kerja. Saat Rendi
hendak ke kamar mandi, langkahnya terhenti karena mendengar ada orang yang
memanggil-manggilnya dari pintu depan. Eh, ternyata ayah Murni.
“Eh, Bapak! Ada
apa Pak kok pagi-pagi datang ke rumah?” tanya Rendi.
“Saya tadi sudah
beberapa kali menelepon Nak Rendi, tapi tidak diangkat-angkat,” kata ayah
Murni.
“Oh, ya? Ealah,
Pak…Hape saya tertindih bantal sehingga tidak terdengar sewaktu Bapak
Menelepon. Memangnya ada apa, Pak?”
“Saya ingin
menanyakan Murni. Apakah kemarin kamu bersama Murni?” tanya ayah Murni.
“I..i…iya, Pak.
Kemarin saya bersama Murni,” jawab Rendi dengan gugup.
“Memang kenapa
Murni, Pak?” timpalnya.
“Murni belum
pulang sejak kemarin,” jawab ayah Murni.
Mendengar
jawaban ayah Murni, Rendi kaget setengah mati. Kedua matanya terbelalak seakan
tak percaya dengan kabar yang baru disampaikan oleh ayah Murni.
“Terus ke mana,
Pak?”
“Maka dari itu,
saya kemari bertanya kepadamu.”
Rendi
kebingungan. Dia gugup. Ia masih belum percaya jika Murni belum pulang ke
rumahnya.
“Kemarin Murni
bersama saya hingga senja hari di tepi telaga. Setelah itu, kami berpisah pulang
ke rumah masing-masing. Ke mana ya..?” Ayah murni mendengarkan cerita Rendi
dengan serius. Ia deg-degan dengan apa yang telah disampaikan Rendi. Mata ayah
Murni berkaca-kaca. Ia mulai takut jika terjadi apa-apa dengan anak gadisnya.
“Bapak jangan
cemas seperti itu. Sabar Pak!” pinta Rudi kepada ayah Murni yang polos itu.
Rendi meraih
hape yang masih tertutup bantal. Ia dengan serta-merta memijiti tombol hape
untuk mencari nomor telepon teman dekat Murni. Satu persatu ia hubungi dan
menanyakan keberadaan Murni. Namun satu pun dari mereka tidak ada yang
tahu keberadaannya.
“Bagaimana, Nak
Rendi?” tanya ayah Murni dengan nada gelisah.
“Tenang, Pak!
Bapak ikut saya. Kita cari Murni ke tepi telaga itu!” ajak Rendi.
Kedua lelaki
yang sangat merisaukan Murni berangkat mencari jejak wanita yang kini telah
menjadi kekasih Rendi. Motor warna hijau tua yang mereka kendarai menyusup ke
tengah-tengah ilalang yang berselimut embun. Tetes-tetes embun bening menempel
di bodi atau roda yang menggelinding melindasnya. Rendi menghentikan motornya
tepat di mana mereka duduk berdua kemarin senja. Ia tak menemukan apa-apa. Ia
hanya melihat ilalang lusuh bekas tempat duduknya bersama Murni.
“Ayo, Pak kita
cari ke sana!” ajak Rendi sambil menunjuk tempat saat mereka berpisah kemarin
senja.
Sesampai tempat
yang ditunjuk Rendi, meraka pun tak menemukan apa-apa. Mereka hanya melihat
bekas roda motor Murni yang mengular hingga pinggir jalan raya.
Rendi beserta
ayah Murni mengikuti kelokan tanah bekas roda motor Murni. Ketika jarak mereka
semakin dekat dengan jalan raya, mereka kaget karena tidak melihat bekas roda
motor Murni lagi. Ya. Bekas roda itu hanya berhenti sampai tempat mereka
berdiri.
Kedua orang itu
saling berpandangan. Wajah cemas dan takut tergambar pada kedua lelaki yang
berbeda zaman. Mereka bergerak pelan dengan langkah hati-hati sekali hingga
gemerisik gesekan dedaun ilalang pun nyaris tak terdengar. Pandangan mata
mereka menyusuri batang-batang ilalang. Mereka berharap ada sehelai daun yang
sudi menunjukkan arah di mana Murni berada.
Peluh mulai
menembus pori-pori. Lembut wujudnya merayap di baju yang mereka kenakan. Gerah
bercampur gatal daun ilalang berperang dengan sengatan matahari di arena tubuh
mereka berdua. Namun, usaha mereka dalam menemukan Murni belum juga membuahkan
hasil.
“Kresek!” suara gesekan ilalang.
Rendi spontan
menengok ke arah suara itu diikuti ayah Murni. Seekor tikus menyelinap lagi ke
dalam semak ilalang. Rendi tersentak saat ia tahu sesuatu yang dibawa tikus
tadi.
“Roti! Roti!”
teriaknya panik.
“Roti?” ayah
Murni heran pada ucapan Rendi.
“Apa hubungan
semua ini dengan secuil roti?” tanya ayah Murni.
“Itu sisa roti
yang kami makan dengan Murni kemarin senja. Sisa roti itu akan dibawa pulang
oleh Murni,” jawabnya. Mereka berdua yakin bahwa Murni ada di tempat tersebut.
“Kresek!” suara gesekan ilalang karena
tersentuh tikus yang lewat. Tikus berbulu hitam kecoklatan itu kini tak membawa
apa-apa. Dalam hati kecil mereka berkata bahwa tikus itu akan kemabli mengambil
sesuatu di tempat yang sama. Mereka berdua pun mengikuti ke mana arah tikus itu
berjalan. Mereka melangkah pelan-pelan agar suara gesekan daun ilalang itu
tidak mengganggu tikus.
Setelah sekian
menit mereka berjalan mengendap-ngendap mengikuti tikus tadi, mereka pun
berhenti. Ia mengamati tikus yang masuk ke sebuah liang. Mereka terkejut saat
melihat tanah liang itu seperti timbunan galian baru. Sontak saja mereka
mencari alat seadanya untuk membongkar gundukan tanah tersebut. Baru sekali
gali, tongkat yang digunakan oleh Rendi menyentuh sesuatu. Mereka pun berusaha
menggali tanah itu secepatnya biar tahu apa yang terkubur di dalamnya. Mata
mereka melihat sehelai kain di permukaan galian. Dan kain itu dikenali mereka.
“Murni…!” teriak
histeris Rendi dan ayah Murni. Ternyata benar apa yang mereka duga. Di dalam
gundukan tanah itu tampak tubuh yang membujur kaku berlumuran darah. Wajah
mayat yang masih samar karena diselimuti debu segera mereka kenali. Ya. Murni
mereka temukan di gundukan tanah dalam keadaan meninggal.
“Anakku…! Siapa
yang tega berbuat seperti ini padamu, Nak?” isak tangis ayah Murni sambil
mendekap tubuh anaknya yang diam membisu tak bernyawa.
“Sabar, Pak!”
ungkap Rendi menenangkan ayah Murni.
Rendi sendiri
juga merasa terpukul dengan peristiwa itu. Ia meremas-remas serta menarik-narik
rambutnya sebagai ungkapan penyesalan karena senja itu dia tidak mengantarkan
Murni pulang sampai ke rumahnya. Kedua
mata Rendi berkaca-kaca kemudian meneteskan air mata bening tanda kesucian
cintanya kepada Murni.
Akhirnya mereka
pulang sambil membopong tubuh Murni melintasi ilalang yang kini terdiam
menyaksikan peristiwa pilu yang dialami mereka. Bunga-bunganya yang putih suci
terbang mengiringi mereka bersama dengan hembusan angin yang datang di tengah
terik matahari siang. (*)
Lamongan, 10 Desember 2011
*Cerpenis
guru di SMA Raudlatul Muta’allimin Babat
Tinggal
di Wanar Pucuk Lamongan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar