Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Jumat, 24 Agustus 2018

Para Pencari Ikan Sili (Cerpen Jawa Pos Grup, Radar Bojonegoro, 19 Agustus 2018)


Para Pencari Ikan Sili
Cerpen karya Ahmad Zaini

Pagi masih berkabut. Jarak pandang belum seluas ketika siang. Hawa dingin masih betah menggelitik tubuh para warga meskipun mereka usai memanggang kedua telapaknya di atas bediang mencari kehangatan. Para istri sangat pengertian. Mereka menyeduhkan kopi buat para suaminya yang akan berangkat mencari ikan sili di rawa.
”Pak, ini kopinya!” seru Kustiyah kepada Wiro yang masih membungkus tubuhnya dengan sarung kumal.
”Sebentar. Saya matikan bediangnya dulu,” sahut Wiro.
”Bapak, jangan dimatikan bediangnya!” tiba-tiba suara anak lelakinya muncul dari dalam rumah. Anaknya hendak mengusir hawa dingin dari tubuhnya.
Wiro meninggalkan bediang. Dia masuk ke rumah memenuhi seruan Kustiyah. Ia melihat secangkir kopi dan pisang goreng bersandingan di atas meja. Lelaki yang sehari-hari mencari ikan sili di rawa ini menyeruput secangkir kopi selir. Sececap ia meneguk kopi diselingi dengan makan pisang goreng buatan Yuk Pinah, penjual makanan pendamping menu utama di perempatan jalan.
”Wiro, ayo, berangkat!” panggil Suro dari luar.
”Sebentar!” kata Wiro sambil menghabiskan kopi dan sepotong pisang goreng yang sempat digeletakkan di meja.
Wiro dan Suro berjalan kaki ke rawa. Mereka memangguil susuk atau alat mencari ikan yang terbuat dari anyaman bambu menyerupai kurungan ayam dan kepis atau wadah ikan di pinggangnya. Mereka tak menghiraukan udara dingin yang belum segera sirna dari aliran darahnya. Mereka melangkah cepat tanpa menghiraukan kedua telapak kakinya menggilas kerikil-kerikil yang mulai mengeras.
Awal musim kemarau, air di rawa yang berada di sebelah utara kampung mulai surut. Banyak ikan sili terdampar dan geraknya terbatas. Ikan sili yang menyerupai belut dalam bentuk dan kandungan gizinya ini menjadi buruan utama warga di rawa tersebut. Hasil tangkapan biasanya dijual keliling kampung. Terkadang pula didatangi para penjual nasi boran dari kota.
Wiro trengginas menyergapkan susuk ke titik-titik yang dianggap sebagai tempat ikan sili. Dari ke sekian kali sergapan susuk Wiro menerpa area kosong dan belum menemukan seekor pun ikan sili.
Mata Wiro liar melihat riak-riak air rawa yang menipis. Pandangannya menerpa gerakan-gerakan pelan ikan sili yang menyembul dari tanah lumpur. Wiro melangkah dengan hati-hati. Ia tidak ingin ikan sili sasarannya bubar mendengar langkah kakinya. Mata Wiro terbelalak lebar saat melihat dengan jelas ikan sili yang sangat banyak di tempat itu. Dia mengangkat susuknya lantas menyergap dan mengurung kerumunan ikan sili yang sangat banyak. Puluhan dan bahkan ratusan ikan sili itu tak bisa ke mana-mena. Ikan buruan Wiro hanya meronta dan berusaha lepas dari sergapan Wiro. Lelaki ini lantas merogoh dan memunguti ikan sili dari susuknya satu per satu. Jemarinya mencengkeram kuat ikan sili yang sangat licin. Wiro memasukkan tangkapan ikan silinya ke dalam mulut kepis. Dalam sekejap kepis Wiro sudah tidak mampu lagi menampung ikan sili.
Wiro lebih cepat mentas dari rawa daripada hari-hari sebelumnya. Ia duduk santai sambil menyulut rokok kelobot yang diambil dari buntalan plastik di saku celana komprang. Wiro berteduh di bawah sebatang pohon pisang sambil menunggu Suro yang masih telaten mencari ikan.
”Suro, cepat naik. Kita rokok-rokok dulu.”
”Sebentar lagi. Kepisku masih belum penuh,” jawabnya dengan suara keras dari tengah rawa.
Suro menyelamkan kedua tangannya ke dasar lumpur. Dia meraba-rabakan jemarinya di kedalaman lumpur sambil berharap tangannya menyentuk ikan sili. Akan tetapi, tangan Suro yang menari-nari berbalut lumpur itu tak sekali pun menyenggol buruannya. Suro kecapekan. Dia tampak lelah. Akhirnya, dia berjalan tertatih-tatih menuju tempat Wiro yang sedang mengisap rokok terwenya.
”Wah, ikan silimu banyak sekali!” kata Suro heran pada ikan sili tangkapan Wiro.
”Besar mana dengan tangkapanmu?” timpal Wiro sambil melihat ikan-ikan tangkapan Suro dari mulut kepis.
”Kamu tadi mendapat sili yang besar-besar ini dari sebelah mana?” tanya Suro.
”Dari situ,” jawab singkat Wiro dengan pelafalan yang kurang jelas karena mulutnya setengah tersumbat rokok kelobot.
Suro kaget setelah melihat jari telunjuk Wiro mengarah ke sebuah tempat. Wiro mengambili ikan-ikan di tempat yang menurut warga adalah tempat angker.
”Kamu dapat ikan dari situ?”
”Memang kenapa?” sambung Wiro.
”Tempat itu angker.”
”Kata siapa?” tanya Wiro kurang percaya.
”Coba lihat ikan sili tangkapanmu! Besar-besar dan gemuk-gemuk. Menurut orang-orang sini, ikan sili di tempat itu memakan lunturan mayat yang pernah dikubur warga di situ.”
”Mayat itu sudah dikubur zaman kolobendu. Tidak mungkinlah lunturannya masih tersisa sampai saat ini. Kamu iri dengan tangkapan saya?” tanya Wiro setengah meledek.
”Kenapa iri? Saya mengatakan dengan sesungguhnya. Begini ceritanya,” Suro hendak bercerita kepada Wiro.
”Tidak usah cerita. Kamu hanya akan menakut-nakutiku agar aku mengembalikan ikan ini ke tempatnya atau memberikan ikan-ikan ini kepadamu.”
”Sungguh saya tidak berniat seperti itu. Kakek pernah bercerita bahwa dulu terjadi pembantai massal di jembatan sana,” kata Suro sambil menunjuk ke arah jembatan jalan raya, ”orang-orang PKI ditangkapi dan dibunuh beramai-ramai di jembatan itu. Di antara mereka ada yang sakti. Mereka tidak mempan dibacok dengan pedang. Lehernya keras bagai beton sehingga tidak bisa dipenggal meskipun dengan puluhan pedang. Akhirnya, orang-orang PKI yang sakti itu diseret beramai-ramai ke tempatmu menangkap ikan dan dikubur hidup-hidup. Makanya ikan sili di jembatan dan di tempat itu dagingnya gemuk karena mereka memakan sisa-sisa mayat orang sakti itu.”
Ah, omong kobot. Saya tidak percaya,” sergah Wiro sembari mengambil kepis yang diletakkan di samping tempat duduknya, lalu berjalan cepat meninggalkan andil rawa.
”Wiro, tunggu!” teriak Suro sambil berlari-lari kecil menyusul Wiro.
”Ayo, cepat!” pinta Wiro kepada Suro.
”Langkahmu cepat sekali. Kepismu terlihat ringan,” kata Suro setengah heran saat melihat kepis Wiro yang melayang-layang ringan seperti tidak berisi.
”Kamu ini ada-ada saja,” timpal Wiro tak menghiraukan kata-kata Suro. Ia tetap berjalan dengan keyakinan ikan-ikan sili itu masih berada di kepisnya.
Suro menghadang langkah Wiro. Tangannya berusaha merebut dan ingin melihat kepis yang bergelayut di pinggang Wiro. Terjadi pergumulan sesaat. Suro ingin merebut kepis sedangkan Wiro ingin mempertahankannya. Namun, setelah itu Wiro mempersilakan Suro mengecek isi kepis itu.
”Lihat! Kepismu kosong. Ikan-ikan sili tangkapanmu lenyap,” kata Suro sambil mendekatkan kepis ke arah wajah Wiro.
Wiro tersentak kaget. Dia seakan tidak percaya pada kenyataan yang disuguhkan temannya itu. Wiro melihat mulut kepis lebih teliti. Ternyata benar kata-kata Suro. Ikan sili tangkapannya lenyap dan tak satu pun yang tersisa di dalam kepis.
”Benar. Ikan-ikanku hilang,” ungkapnya heran sambil melihat bagian sisi-sisi kepis yang masih utuh tak berlubang, ”atau kamu yang mengambilnya dan memindahkan ikan-ikanku ke kepismu!?”
”Periksalah!” suruh Suro.
Wiro semakin heran. Dia tidak menemukan ikannya dalam Kepis Suro. Wiro hanya melihat ikan sili tangkapan temannya itu yang lebih kurus daripada hasil tangkapannya tadi.
”Tidak ada. Ikan-ikanku hilang. Ikan itu bisa menghilang. Menghilang,” katanya berulang-ulang dengan wajah ketakutan.
Wajah Wiro tiba-tiba berubah. Dia seperti orang kesurupan. Wiro seketika itu berlari kencang sambil berteriak-teriak ketakutan. Kaki kekarnya menerjang rumpun-rumpun klorak di sepanjang pinggiran rawa. Kakinya terus menggilas kerikil-keril tajam di atas andil atau tanggul rawa. Suro yang tak mampu mengejar temannya itu hanya bisa melihat dari kejauhan. Sosok Wiro yang mengecil itu tampak turun dari tanggul dan hilang di sekitar kali jembatan jalan raya.
Sesampai di jembatan, Suro tidak melihat Wiro. Ia hanya mendapati jejak kaki Wiro di wajah lumpur menuju ke arah kali dangkal berair tipis di permukaannya. Tiba-tiba dari dasar lumpur kali itu, Suro dikagetkan oleh ratusan ikan sili yang menggeliat-geliat ke permukaan. Suro terperangah keheranan. Baru kali ini ia melihat ikan sili sebanyak itu. Ia tidak berani memunguti ikan-ikan sili yang terdampar tersebut. Suro menduga ikan-ikan itu merupakan jelmaan temannya yang lenyap dan menyatu dengan lumpur di bawah jembatan jalan raya. Dia bengong dan tidak mampu berkata apa-apa. Suro melanjutkan perjalanan pulang dengan wajah hampa serta tatapan mata kosong ke arah kampung halaman yang masih jauh di depannya.  (*)
Lamongan, Juli 2018

*Penulis merupakan salah satu dari enam pemenang Sayembara Penulisan Prosa Fiksi Berbasis Kearifan Lokal Jawa Timur dalam rangka Festival Panji Nusantara 2018. Dia tinggal di Wanar, Pucuk, Lamongan.










2 komentar: