Para Pencari Ikan Sili
Cerpen karya Ahmad Zaini
Pagi masih berkabut. Jarak pandang belum seluas ketika
siang. Hawa dingin masih betah menggelitik tubuh para warga meskipun mereka
usai memanggang kedua telapaknya di atas bediang mencari kehangatan.
Para istri sangat pengertian. Mereka menyeduhkan kopi buat para suaminya yang
akan berangkat mencari ikan sili di rawa.
”Pak, ini kopinya!” seru Kustiyah kepada Wiro yang masih
membungkus tubuhnya dengan sarung kumal.
”Sebentar. Saya matikan bediangnya dulu,” sahut Wiro.
”Bapak, jangan dimatikan bediangnya!” tiba-tiba suara
anak lelakinya muncul dari dalam rumah. Anaknya hendak mengusir hawa dingin
dari tubuhnya.
Wiro meninggalkan bediang. Dia masuk ke rumah memenuhi
seruan Kustiyah. Ia melihat secangkir kopi dan pisang goreng bersandingan di
atas meja. Lelaki yang sehari-hari mencari ikan sili di rawa ini menyeruput
secangkir kopi selir. Sececap ia meneguk kopi diselingi dengan makan pisang goreng
buatan Yuk Pinah, penjual makanan pendamping menu utama di perempatan jalan.
”Wiro, ayo, berangkat!” panggil Suro dari luar.
”Sebentar!” kata Wiro sambil menghabiskan kopi dan
sepotong pisang goreng yang sempat digeletakkan di meja.
Wiro dan Suro berjalan kaki ke rawa. Mereka memangguil susuk
atau alat mencari ikan yang terbuat dari anyaman bambu menyerupai kurungan ayam
dan kepis atau wadah ikan di pinggangnya. Mereka tak menghiraukan udara
dingin yang belum segera sirna dari aliran darahnya. Mereka melangkah cepat
tanpa menghiraukan kedua telapak kakinya menggilas kerikil-kerikil yang mulai
mengeras.
Awal musim kemarau, air di rawa yang berada di sebelah
utara kampung mulai surut. Banyak ikan sili terdampar dan geraknya terbatas. Ikan
sili yang menyerupai belut dalam bentuk dan kandungan gizinya ini menjadi
buruan utama warga di rawa tersebut. Hasil tangkapan biasanya dijual keliling
kampung. Terkadang pula didatangi para penjual nasi boran dari kota.
Wiro trengginas menyergapkan susuk ke titik-titik
yang dianggap sebagai tempat ikan sili. Dari ke sekian kali sergapan susuk
Wiro menerpa area kosong dan belum menemukan seekor pun ikan sili.
Mata Wiro liar melihat riak-riak air rawa yang menipis.
Pandangannya menerpa gerakan-gerakan pelan ikan sili yang menyembul dari tanah
lumpur. Wiro melangkah dengan hati-hati. Ia tidak ingin ikan sili sasarannya
bubar mendengar langkah kakinya. Mata Wiro terbelalak lebar saat melihat dengan
jelas ikan sili yang sangat banyak di tempat itu. Dia mengangkat susuknya
lantas menyergap dan mengurung kerumunan ikan sili yang sangat banyak. Puluhan
dan bahkan ratusan ikan sili itu tak bisa ke mana-mena. Ikan buruan Wiro hanya
meronta dan berusaha lepas dari sergapan Wiro. Lelaki ini lantas merogoh dan memunguti
ikan sili dari susuknya satu per satu. Jemarinya mencengkeram kuat ikan
sili yang sangat licin. Wiro memasukkan tangkapan ikan silinya ke dalam mulut kepis.
Dalam sekejap kepis Wiro sudah tidak mampu lagi menampung ikan sili.
Wiro lebih cepat mentas dari rawa daripada hari-hari
sebelumnya. Ia duduk santai sambil menyulut rokok kelobot yang diambil dari
buntalan plastik di saku celana komprang. Wiro berteduh di bawah
sebatang pohon pisang sambil menunggu Suro yang masih telaten mencari ikan.
”Suro, cepat naik. Kita rokok-rokok dulu.”
”Sebentar lagi. Kepisku masih belum penuh,” jawabnya
dengan suara keras dari tengah rawa.
Suro menyelamkan kedua tangannya ke dasar lumpur. Dia
meraba-rabakan jemarinya di kedalaman lumpur sambil berharap tangannya
menyentuk ikan sili. Akan tetapi, tangan Suro yang menari-nari berbalut lumpur
itu tak sekali pun menyenggol buruannya. Suro kecapekan. Dia tampak lelah. Akhirnya,
dia berjalan tertatih-tatih menuju tempat Wiro yang sedang mengisap rokok terwenya.
”Wah, ikan silimu banyak sekali!” kata Suro heran pada
ikan sili tangkapan Wiro.
”Besar mana dengan tangkapanmu?” timpal Wiro sambil
melihat ikan-ikan tangkapan Suro dari mulut kepis.
”Kamu tadi mendapat sili yang besar-besar ini dari
sebelah mana?” tanya Suro.
”Dari situ,” jawab singkat Wiro dengan pelafalan yang
kurang jelas karena mulutnya setengah tersumbat rokok kelobot.
Suro kaget setelah melihat jari telunjuk Wiro mengarah ke
sebuah tempat. Wiro mengambili ikan-ikan di tempat yang menurut warga adalah
tempat angker.
”Kamu dapat ikan dari situ?”
”Memang kenapa?” sambung Wiro.
”Tempat itu angker.”
”Kata siapa?” tanya Wiro kurang percaya.
”Coba lihat ikan sili tangkapanmu! Besar-besar dan
gemuk-gemuk. Menurut orang-orang sini, ikan sili di tempat itu memakan lunturan
mayat yang pernah dikubur warga di situ.”
”Mayat itu sudah dikubur zaman kolobendu. Tidak
mungkinlah lunturannya masih tersisa sampai saat ini. Kamu iri dengan
tangkapan saya?” tanya Wiro setengah meledek.
”Kenapa iri? Saya mengatakan dengan sesungguhnya. Begini
ceritanya,” Suro hendak bercerita kepada Wiro.
”Tidak usah cerita. Kamu hanya akan menakut-nakutiku agar
aku mengembalikan ikan ini ke tempatnya atau memberikan ikan-ikan ini
kepadamu.”
”Sungguh saya tidak berniat seperti itu. Kakek pernah
bercerita bahwa dulu terjadi pembantai massal di jembatan sana,” kata Suro
sambil menunjuk ke arah jembatan jalan raya, ”orang-orang PKI ditangkapi dan
dibunuh beramai-ramai di jembatan itu. Di antara mereka ada yang sakti. Mereka
tidak mempan dibacok dengan pedang. Lehernya keras bagai beton sehingga tidak
bisa dipenggal meskipun dengan puluhan pedang. Akhirnya, orang-orang PKI yang
sakti itu diseret beramai-ramai ke tempatmu menangkap ikan dan dikubur
hidup-hidup. Makanya ikan sili di jembatan dan di tempat itu dagingnya gemuk
karena mereka memakan sisa-sisa mayat orang sakti itu.”
”Ah, omong kobot. Saya tidak percaya,” sergah Wiro
sembari mengambil kepis yang diletakkan di samping tempat duduknya, lalu
berjalan cepat meninggalkan andil rawa.
”Wiro, tunggu!” teriak Suro sambil berlari-lari kecil
menyusul Wiro.
”Ayo, cepat!” pinta Wiro kepada Suro.
”Langkahmu cepat sekali. Kepismu terlihat ringan,” kata
Suro setengah heran saat melihat kepis Wiro yang melayang-layang ringan
seperti tidak berisi.
”Kamu ini ada-ada saja,” timpal Wiro tak menghiraukan
kata-kata Suro. Ia tetap berjalan dengan keyakinan ikan-ikan sili itu masih
berada di kepisnya.
Suro menghadang langkah Wiro. Tangannya berusaha merebut
dan ingin melihat kepis yang bergelayut di pinggang Wiro. Terjadi
pergumulan sesaat. Suro ingin merebut kepis sedangkan Wiro ingin
mempertahankannya. Namun, setelah itu Wiro mempersilakan Suro mengecek isi kepis
itu.
”Lihat! Kepismu kosong. Ikan-ikan sili tangkapanmu
lenyap,” kata Suro sambil mendekatkan kepis ke arah wajah Wiro.
Wiro tersentak kaget. Dia seakan tidak percaya pada kenyataan
yang disuguhkan temannya itu. Wiro melihat mulut kepis lebih teliti.
Ternyata benar kata-kata Suro. Ikan sili tangkapannya lenyap dan tak satu pun
yang tersisa di dalam kepis.
”Benar. Ikan-ikanku hilang,” ungkapnya heran sambil
melihat bagian sisi-sisi kepis yang masih utuh tak berlubang, ”atau kamu
yang mengambilnya dan memindahkan ikan-ikanku ke kepismu!?”
”Periksalah!”
suruh Suro.
Wiro
semakin heran. Dia tidak menemukan ikannya dalam Kepis Suro. Wiro hanya melihat
ikan sili tangkapan temannya itu yang lebih kurus daripada hasil tangkapannya
tadi.
”Tidak ada. Ikan-ikanku hilang. Ikan itu bisa menghilang.
Menghilang,” katanya berulang-ulang dengan wajah ketakutan.
Wajah Wiro tiba-tiba berubah. Dia seperti orang
kesurupan. Wiro seketika itu berlari kencang sambil berteriak-teriak ketakutan.
Kaki kekarnya menerjang rumpun-rumpun klorak di sepanjang pinggiran
rawa. Kakinya terus menggilas kerikil-keril tajam di atas andil atau
tanggul rawa. Suro yang tak mampu mengejar temannya itu hanya bisa melihat dari
kejauhan. Sosok Wiro yang mengecil itu tampak turun dari tanggul dan hilang di
sekitar kali jembatan jalan raya.
Sesampai di jembatan, Suro tidak melihat Wiro. Ia hanya
mendapati jejak kaki Wiro di wajah lumpur menuju ke arah kali dangkal berair
tipis di permukaannya. Tiba-tiba dari dasar lumpur kali itu, Suro dikagetkan
oleh ratusan ikan sili yang menggeliat-geliat ke permukaan. Suro terperangah keheranan.
Baru kali ini ia melihat ikan sili sebanyak itu. Ia tidak berani memunguti
ikan-ikan sili yang terdampar tersebut. Suro menduga ikan-ikan itu merupakan
jelmaan temannya yang lenyap dan menyatu dengan lumpur di bawah jembatan jalan
raya. Dia bengong dan tidak mampu berkata apa-apa. Suro melanjutkan perjalanan
pulang dengan wajah hampa serta tatapan mata kosong ke arah kampung halaman
yang masih jauh di depannya. (*)
Lamongan, Juli 2018
*Penulis merupakan salah satu dari enam pemenang Sayembara Penulisan Prosa
Fiksi Berbasis Kearifan Lokal Jawa Timur dalam rangka Festival Panji Nusantara
2018. Dia tinggal di Wanar, Pucuk, Lamongan.
Omong "kobot"
BalasHapusSatu istilah jawa kuno yang sudah hampir punah,,,😁
Hahahaaha. Cerita fiksi cak
BalasHapus