Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Sabtu, 15 Juni 2019

Pertemuan Para Botoh-Cerpen karya Ahmad Zaini, JawaPos grup Radar Bojonegoro, Minggu, 19 Mei 2019


Pertemuan Para Botoh
Cerpen karya Ahmad Zaini

Ketakutan itu hingga kini masih ada dalam diriku. Rasanya bagai karat yang sulit dilepas dari batang besi. Ketakutan tersebut masih ada meskipun sekarang aku sudah dewasa dan beranak pinak. Peristiwa itu selalu terbayang setiap aku akan membuat keputusan. Rasa takut itu bahkan menjadi cap kepribadianku. Menjadi alasan orang-orang menyebutku sebagai penakut. Bahkan, cap sebagai pengecut.
”Pak, ditunggu bapak-bapak yang sudah datang,” ujar Fauzi yang membangunkanku saat aku hendak merebahkan tubuh sambil menonton televisi.
”Ditunggu di mana dan dalam rangka apa?” tanyaku penasaran.
”Di rumah Pak Nasrun. Diajak ngomong-ngomong masalah pilkades,” pungkasnya. Gemetar tubuhku setelah mendengar kata terakhir Fauzi. Kata pilkades itu yang membuatku hingga saat ini selalu dihantui rasa takut.
”Kamu duluan, nanti aku menyusul.”
”Tidak. Saya disuruh mengawalmu,” tolaknya.
Rupanya orang-orang tahu dan sudah bisa menebak gelagatku. Mereka khawatir aku tidak akan datang dalam pertemuan tersebut. Sedikit banyak mereka sudah paham bahwa aku sejak dulu tidak mau masuk dan bersentuhan dengan pilihan kepala desa. Meski aku sudah puluhan tahun tinggal di desa ini, namun hingga kini aku tidak pernah melibatkan diri dalam dukung-mendukung calon kepala desa. Risikonya besar. Rawan fitnah yang bisa menimbulkan gesekan-gesekan sosial.
Aku mengenakan baju yang sudah kugantung di balik pintu. Aku mengikuti Fauzi yang berjalan lebih dulu. Dia rupanya mendapat tugas khusus untuk mengawalku sampai di rumah Pak Nasrun.
”Mari, Pak!” ajak Fauzi yang sudah nangkring di atas motornya.
”Hati-hati mengendarai motor. Kau saat ini sedang membonceng penakut,” aku menggoda Fauzi dengan sebutan diriku yang pernah kudengar dari salah satu teman dekatnya.
”Beda, Pak. Masak dibonceng motor takut. Biasanya Bapak juga mengendarai motor sendiri,” bantahnya bernada santai.
”Benar, Zi. Sekarang saya sedang ketakutan. Takut terhadap permasalahan yang akan dibahas dalam pertemuan itu,” jelasku.
Fauzi diam. Rupanya dia tidak mau memperpanjang pembicaraan tentang ketakutan itu. Dia rupanya sudah paham dengan karakterku sebagai penakut.
Di depan rumah Pak Nasrun terlihat puluhan motor berjajar rapi. Rupa-rupanya sudah banyak yang datang. Dari beberapa motor yang berjajar itu, sebagian aku sudah paham pemiliknya. Mereka adalah para tokoh desa yang sudah tidak diragukan lagi kiprahnya dalam memajukan dan memberdayakan masyarakat desa. Mereka menjadi rujukan masyarakat dalam berbagai hal. Termasuk dalam pilkades.
Aku jadi sungkan. Langkahku berat ketika hendak melewati pintu rumah Pak Nasrun. Aku melihat ada Haji Salim, Haji Sunar, dan Haji Misbah sudah duduk berwibawa di depan warga. Mereka adalah tokoh paling berpengaruh di desa ini. Mereka, para tokoh sudah datang lebih awal, rupanya sudah siap tempur di ’medan perang’ pilihan kepala desa. Sedangkan aku sebagai penakut dan bukan siapa-siapa dalam masyarakat ini, datang terlambat. Itu pun karena disusul oleh Fauzi yang katanya diutus para tokoh itu untuk menjemputku.
”Lupa, Pak?” tanya Haji Sunar kepadaku. Aku menjawab dengan senyuman saja.
Haji Misbah memanggilku dengan melambaikan tangan. Dia memintaku duduk di sebelahnya. Aku menolaknya karena lebih senang duduk di dekat pintu keluar. Aku tahu diri karena aku datang paling akhir. Tak pantaslah aku duduk bersanding dengan para tokoh di depan. Karena Haji Misbah terus-menerus manggilku dengan suara kharismatiknya, aku akhirnya menurut juga.
Haji Misbah menepuk-nepuk pundakku setelah berjabat tangan denganku. Dia membisikiku perihal rencana ke depan dalam pilkades. Aku hanya mengangguk-angguk saja pura-pura paham dan biar terkesan sejalan dengannya. Padahal, dalam hati kecilku sedikit pun aku tak tertarik sama sekali dengan pertemuan membahas pilkades ini.
Aku diam seperti anak ayam yang bersembunyi di bawah ketiak induknya. Aku hanya mendengar dan mengikuti sebagian arah pembicaraan mereka. Nyaliku semakin ciut saat mendengar usulan-usulan terkait strategi pemenangan yang akan mereka terapkan. Bahkan, ada yang berpendapat lebih ekstrem dengan nada memaksa. Katanya warga kampung ini harus dipaksa memilih calon yang disepakati dalam pertemuan ini. Bila tidak menurut, ia harus diusir dari desa ini.
Aku teringat peristiwa yang pernah dialami ayahku ketika aku masih anak-anak. Peristiwa yang membuat diriku trauma hingga saat ini. Pada suatu malam, datang tiga orang bertubuh tinggi besar dan berkumis tebal. Lengan bahunya seperti binaragawan yang berotot dan bertenaga. Mereka menggedor-gedor rumahku. Ayahku bangun untuk membukakan pintu buat orang-orang yang kurang ajar dan tidak tahu sopan santun. Masak bertamu tengah malam sambil menggedor-gedor pintu rumah orang lain. Tak pantaslah itu dilakukan. Mestinya bertamu itu melihat waktu. Paling tidak diperkirakan orang yang akan ditemui itu sudah tidur atau belum. Bukannya malam-malam begini.
”Kalian? Ada apa tengah malam begini datang dengan menggedor-gedor rumahku?” tanya ayahku dengan agak jengkel. Aku mendengarnya dari dalam kamar bersama ibuku.
”Jangan pura-pura tidak tahu. Kamu semestinya sudah bisa menebak alasan kenapa aku membangunkanmu tengah malam begini,” sahut suara tamu ini dengan kasar.
Aku ketakutan saat itu. Aku menyumbat telingaku dengan jari telunjukku. Namun, suara bentakan-bentakan itu masih menembus gendang telingaku. Orang-orang itu berbicara kasar terhadap ayahku.
”Kamu yang sudah menyebarkan fitnah di dusun sebelah tentang Darmo. Para warga dusun itu sekarang anti-Darmo. Padahal, sebelumnya mereka sudah terkondisikan akan memilih Darmo pada coblosan lusa. Kamu harus bertanggung jawab dengan meralat fitnah yang telah kau sebar di dusun tersebut. Kau wajib meluruskannya lagi,” gertak orang-orang kasar pada ayahku.
”Ini salah paham. Kalian salah orang. Aku tidak pernah memfitnah Darmo. Dia itu masih keluargaku. Masak aku tega memfitnahnya,” sergah ayahku dengan suara sedikit parau.
”Jangan mengelak. Banyak saksinya. Tadi pagi kamu datang ke dusun tersebut. Kamu masuk-keluar dari rumah yang satu ke rumah yang lain. Kau telah meracuni pikiran warga dusun itu agar tidak memilih Darmo. Besok pagi kalau warga dusun itu masih anti-Darmo, kau akan tahu akibatnya,” ancamnya dengan diikuti suara gebrakan meja.
”Tapi, apa yang harus aku luruskan? Saya tidak mengerti tentang fitnah ini,” kata ayahku meminta pengertian dari mereka.
”Aku tidak mau tahu. Yang penting besok pagi semua harus sudah beres,” pungkasnya congkak. Kemudian mereka keluar rumah dengan meniggalkan suara gedoran pintu.
Sekeji itu fitnah dalam pilkades. Berbagai cara dilakukan oleh para botoh--sebutan buat tim sukses calon kades—untuk meraih kemenangan. Mereka menanggalkan sopan-santun. Mereka beringas tak beradab. Dalam batok kepala mereka hanyalah kemenangan jagonya dalam pilkades.
”Bagaimana Pak Sobirin?” pertanyaan Haji Misbah membuyarkan rekaman peristiwa yang sedang tayang dalam memoriku.
Eh, bagaimana apanya?” tanyaku kebingungan karena tidak tahu apa yang mereka tanyakan.
”Pak Sobirin didaulat teman-teman sebagai ketua para botoh dari calon kades kita,” kata Haji Misbah menjelaskanku.
”Maaf, saya tidak bersedia. Saya tidak bersedia,” jawabku dengan keringat dingin yang bercucuran dari pori-pori keningku.
”Kenapa, Pak? Pak Sobirin mampu melakukan itu karena punya pengaruh di masyarakat ini. Pak Sobirin merupakan sosok yang ditokohkan oleh berbagai kalangan di desa ini. Jadi, kami mohon agar Pak Sobirin bersedia sebagai ketua para botoh calon kita!”
”Sekali lagi saya mohon maaf kapada Bapak-Bapak. Saya tidak bersedia,” jawabku perihal ketidakbersediaanku kepada usulan mereka.
”Alasannya apa?”
”Saya punya alasan yang tidak mungkin kusampaikan dalam pertemuan ini.” kataku dengan nada datar. Aku tidak mau menyampaikan alasan penolakan sebagai botoh karena trauma pada peristiwa yang pernah dialami oleh ayahku dulu.
Orang-orang dalam pertemuan itu diam. Mereka seperti heran melihat sikapku yang menolak dijadikan botoh dalam pilkades. Mereka saling berbisik. Mereka membincangkan diriku yang mungkin bagi mereka aku dianggap sebagai penakut, bahkan pengecut. Tapi, aku punya alasan tersendiri. Aku tidak mau membuat fitnah dan menjadi sumber fitnah. Aku takut fitnah.
Haji Misbah menghargai sikapku. Dia tidak memaksaku lagi meski dengan perasaan kecewa pada keputusanku. Sedangkan, orang-orang yang datang dalam pertemuan itu saling berebut menjadi ketua para botoh. Mereka mengunggul-unggulkan dirinya sendiri sambil meremehkan yang lain.
Agar tetap solid dan tidak terjadi perpecahan dalam koalisi para botoh, akhirnya dalam pertemuan para botoh itu mereka bersepakat tidak mengangkat ketua. Semua yang datang dalam pertemuan itu dianggap sebagai botoh. Mereka memunyai hak dan kewajiban yang sama untuk memenangkan calon kadesnya. Kecuali, aku. (*)
Lamongan, Mei 2019

*Penulis aktif berkegiatan di Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) dan Forum Pegiat Literasi Lamongan (FP2L). Ia juga sebagai guru di SMKN 1 Lamongan. Buku kumpulan cerpen terbarunya berjudul Tadarus Hujan (Februari, 2019).


BIODATA PENULIS


Ahmad Zaini, Lahir di Lamongan, 7 Mei 1976. Karya sastranya baik berupa cerpen maupun puisi pernah dimuat oleh beberapa media massa. Antara lain Kompas.com, okezone.com. Radar Bojonegoro, Radar Banyuwangi, koran harian Duta Masyarakat, majalah MPA (kemenag Jawa Timur), majalah Indupati, Tabloid Maarif Lamongan, Tabloid Lensa Lamongan, Media (PGRI Jawa Timur), Majalah Wanita UMMI Jakarta, dan majalah Kidung (Dewan Kesenian Jawa Timur).
Puisi-puisinya terkumpul dalam buku antologi bersama di antaranya Bulan Merayap (DKL,2004), Lanskap Telunjuk (DKL, 2004), Khianat Waktu, Antologi Penyair Jawa Timur (DKL, 2006), Absurditas Rindu (Sastra Nesia Lamongan, 2006), Sehelai Waktu (Scolar, 2011),  Pengembaraan Burung (DKL, 2015), Matahari Cinta Samudra Kata (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2016), Antologi Puisi Penyair Dunia Kopi 1.550 mdpl (Takengon, Aceh, 2016), Mengunyah Geram (Yayasan Manikaya Kauci, YMK, Bali, 2017), Antologi Puisi Nusantara Senyuman Lembah Ijen (Taretan Sedaya Internasional, 2018), Musafir Ilmu (Rumah Seni Asnur, Depok, 2018), Antologi Puisi bersama 1000 guru se-Asean Guru tentang Sebuah Buku dan Rahasia Ilmu (Rumah Seni Asnur, Depok, 2018), dan Ini Hari Sebuah Masjid Tumbuh di Kepala (2018).
Buku kumpulan cerpen tunggalnya berjudul Telaga Lanang (Lima Dua, Gresik, 2012), Lentera Sepanjang Rel Kereta (Pustaka Ilalang, 2014), Titik Nol (Pustaka Ilalang, 2015), serta novel perdananya Mahar Cinta Berair Mata (Pustaka Ilalang, 2017), Tadarus Hujan (Pustaka Ilalang, 2019). Salah satu cerpennya yang berjudul Bayang-Bayang Pernikahan Nggotong Omah meraih juara harapan I pada Sayembara Penulisan Prosa (cerpen) dalam rangka Festival Panji Nusantara 2018.
Cerpen-cerpennya juga bisa dibaca dalam antologi cerpen bersama penulis lain. Di antaranya A Moment to Feel (Pustaka Jingga, 2012), Sayap-Sayap Cinta (D3M Kail Tangerang, 2013), Matahari Baru Buat Katro (D3M Kail Tengerang, 2014), , Bukit Kalam (DKL, 2015), Penitis Jiwa (Pena Ananda Indie Publishing, Tulungagung), Surat untuk Calon Guru (PPI Moroko, 2017), dan  Bocah Luar Pagar (2018). Aktivitas sehari-hari seabagai guru di SMKN 1 Lamongan. Saat ini berdomisili di Wanar, Pucuk, Lamongan, Jawa Timur dengan nomor HP/WA 085732613412. 












  




Tidak ada komentar:

Posting Komentar