Foto
Keluarga
Cerpen
karya Ahmad Zaini
Rumah kecil di tengah kota besar ini setiap hari sepi.
Para penghuninya beraktivitas di luar rumah.
Dari pagi sampai sore dan terkadang hingga malam, yang terlihat hanya
bunga-bunga hias serta dua sangkar burung tergantung di teras rumah. Bunga hias
musim kembang terasa sia-sia lantaran penghuninya tak merasakan aroma wangi dan
indah kelopaknya. Demikian juga dengan kicauan burung. Para tetangganyalah yang
menikmati kemeruduan suaranya. Bisa dikatakan suami-istri penghuni rumah ini
tidak pernah melihat matahari karena berangkat kerja sebelum matahari terbit
dan pulang saat matahari sudah terbenam.
Minggu pagi Hidayati libur tugas. Dia duduk sendiri di sofa
ruang tamu. Biasanya dia duduk bersama suami di tempat tersebut sambil
menikmati camilan yang dibelinya saat bermalam Minggu. Pagi itu Hidayati
terpaksa duduk sendiri lantaran laki-laki yang telah memberinya dua anak mendapat
giliran piket jaga di kantor.
Punggung Hidayati disandarkan di sofa berwarna cokelat.
Dia melakukan peregangan agar bisa duduk lebih rileks. Wanita yang kini berusia
55 tahun ini ingin menikmati hari libur dengan bersantai sambil ngemil kudapan
sisa semalam. Mata sayu Hidayati terkadang berair tanpa sebab. Mungkin faktor
kecapekan menjadi penyebabnya. Hal itu dikarenakan setiap hari Hidayati harus
menyetir mobil sendiri ke tempat dinasnya di usia setengah abad lebih lima
tahun ini. Sungguh capek, desisnya dalam hati.
Tempat dinas Hidayati jauh sekali. Untuk sampai ke tempat
beraktivitas, Hidayati harus menempuh jarak 120 km pergi-pulang atau dalam
waktu satu jam setengah sekali jalan. Bahkan, bisa sampai dua atau tiga jam
waktu tempuh tergantung dari kondisi di jalanan. Namun, Hidayati setiap hari
malakukannya dengan tanpa beban. Jalan yang menghubungkan antara Surabaya
dengan Lamongan dilahap setiap hari.
”Permisi, paket!” seru tukang jasa pengiriman paket.
”Iya,” sahut Hidayati.
Hidayati bangkit dari sofa menghampiri pengirim paket
yang berada di luar pagar rumahnya.
”Dari mana, Mas?”
”Jogja, Bu,” jawab tukang mengantar paket.
”Terima kasih, Mas!” ucap Hidayati setelah menandatangani
bukti penerimaan barang.
Ibu dua anak ini menerka bahwa paket yang diterimanya ini
adalah kiriman Sonia. Anak pertamanya yang kuliah di Jogja. Hidayati
membolak-balik paketan kecil seukuran genggaman tangannya. Dia membaca
tulisan-demi tulisan yang tertera di wajah paket. Benar sekali bahwa paketan
itu dari anaknya.
Jemari Hidayati gemulai dan lincah membuka paketan. Dia
mengupas kulit paket dengan sat-set, wat-wet karena sangat penasaran
pada isinya. Tak sampai satu menit, Hidayati mampu mengelupas pembungkus paket.
”Wow, jam tangan!” seru Hidayati sembari
senyum-senyum sendiri.
Dalam kemasan paketan, selain arloji Hidayati juga
menemukan selembar kertas bertuliskan ucapan ulang tahun buat dirinya yang
ke-55.
Semula Hidayati merasa haru dan bangga atas hadiah ulang
tahun yang diterimanya. Namun, ada secuil rasa yang membuatnya terdiam
seketika. Mulut Hidayati berdecak kecewa. Dia menduga-duga arloji yang
berbandrol mahal ini dibeli sang anak dari uang kirimannya. Dalam hati kecilnya
berbisik bahwa ini bisa mempercepat permintaan transferan uang lagi. Mau dapat
uang dari mana bisa membeli barang mahal ini kalau tidak dari uang jatah makan
dan biaya kuliah. Sonia itu masih kuliah dan belum bekerja, katanya dalam hati.
Hidayati buru-buru mengambil handphone. Dia
menghubungi anaknya yang sudah menempuh semester akhir di kampus kota Jogja. Dia
ingin menelisik uang yang dipakai anaknya untuk membeli hadiah ulang tahunnya.
”Selamat ulang tahun, Bu!” sahut suara Sonia dari telepon
meskipun ibunya belum mengucapkan salam dan menanyakan kabar.
”Eh, terima kasih, Nak atas ucapan dan kado ultah
buat ibu. Tapi, ibu pengen tahu saja. Kamu dapat uang dari mana bisa
membeli arloji bermerk ini?”
”Lho, Ibu sendiri kan yang memberi saya
uang. Karena uang kiriman ibu kemarin lusa saya gunakan untuk membeli hadiah
ultah buat Ibu tercinta, sebagai gantinya segera transfer uang lagi, ya,” suara
Sonia menjawab pertanyaan ibunya dengan enteng.
”Dasar anak anak usil. Suka mengusili Ibu saja. Bulan
depan saja saya transfer,” sahut bernada gurau Hidayati sambi melempar
ponselnya ke sofa.
Abdi negera sebagai guru ini lantas menghempaskan
tubuhnya ke sofa lagi. Dia menyeruput kopi yang diseduh sendiri. Mata Hidayati
memandang foto keluarga yang tergantung di dinding ruang tamu. Kenangan
masa-masa kecil kedua anaknya tiba-tiba mengusik Minggu paginya.
Dua puluh tahun silam Hidayati terpaksa sering
meninggalkan kedua anaknya di rumah. Kala itu anak-anaknya masih duduk di
bangku SD. Hidayati berangkat dinas selepas salat shubuh ketika anak-anaknya
masih tidur. Mereka hanya ditinggali menu sarapan dan dua buah kunci rumah.
Kedua anak Hidayati meskipun masih SD, namun sudah terbiasa hidup sendiri.
Mereka bangun dari tidur, mandi, mengenakan pakaian seragam sekolah, lalu
sarapan pagi dilakukan sendiri. Kakak beradik yang jarak usianya hanya
berselang tiga tahun ini tidak seperti anak-anak pada umumnya. Dia sudah bisa
melayani dirinya sendiri tanpa menggantungkan bantuan ibunya.
Pernah suatu hari si sulung menyeterika baju seragam di atas
meja. Adiknya yang baru bangun tidur duduk di samping meja tersebut tanpa sepengetahuan
Sonia kecil. Ketika dia melihat ke samping meja, Sonia kecil kaget hingga
seterikanya lepas dari genggaman tangannya. Permukaan seterika yang panas itu
mengenai wajah adiknya. Si bungsu menangis histeris sambil memegangi wajahnya
yang terkena seterika. Sonia kecil membujuk adiknya agar tidak menangis sambil
membuka perlahan kedua tangan adiknya yang menutupi wajah. Sonia menjerit
setelah melihat wajah adiknya melepuh. Dia berteriak-teriak meminta tolong
kepada tetangganya. Sontak para tetangga berdatangan ke rumah. Mereka menolong
adik Sonia dengan membawanya ke puskesmas yang tidak jauh dari rumahnya.
Hidayati saat itu masih di tempat tugas. Dia gelisah.
Ikatan batin ibu dengan anak sangat kuat. Muncul keinginan pulang lebih awal
dari tugas. Namun, hal itu tidak mungkin dia lakukan karena rasa tanggung jawabnya
terhadap tugas di kedinasan. Akhirnya, dia memutuskan tetap melanjutkan tugas
dan pulang sesuai jadwal yang telah ditentukan.
Jelang maghrib Hidayati turun dari becak tepat di depan
rumahnya. Dia agak terkejut karena di teras rumahnya terlihat beberapa tetangga
yang duduk-duduk di situ. Perasaan seorang ibu muncul. Ingatan Hidayati melesat
ke kedua anaknya yang sehari penuh ditinggal bertugas.
”Ada apa dengan anak saya, Pak?” tanya Hidayati serta
merta.
”Bu Yati masuk dulu,” saran salah satu tetangga.
Tanpa pertanyaan lanjutan, Hidayati lansung masuk rumah
sampai lupa melepas sepatu.
”Di mana anak-anakku?”
”Dalam kamar, Yat,” jawab Retno karibnya yang berdiri di
depan pintu ruang tengah.
Kelambu pintu kamar anaknya disibak perlahan. Hidayati
melihat kedua anaknya di atas ranjang. Si bungsu telentang dengan wajah
diperban, sedangkan si kakak duduk di samping menjaga adiknya.
”Ya, Allah, kenapa adikmu?” tanya Hidayati sambil
mendekap putri bungsunya.
”Maaf, Bu! Tadi pagi Sonia menyeterika baju seragam.
Seterikanya jatuh mengenai wajah adik,” jawab Sonia kecil dengan polos.
Hidayati lantas mendekap keduanya. Dia tidak mereaksi
kejadian ini dengan berlebih-lebihan. Dia juga tidak menyalahkan Sonia karena
dia sudah merasa bersalah dan takut dimarahi ibunya.
”Anakku,” seru Hidayati sembari menghamburkan diri
bersama kedua anaknya.
Kedua matanya berkaca-kaca. Jiwanya larut dalam kejadian
yang menimpa buah hatinya. Dia terharu pada anaknya yang belajar mandiri tanpa
tergantung pada dirinya. Meskipun begitu, nurani seorang ibu akan tetap
menyalahkannya karena anak-anak yang belum berumur masih menjadi tanggung
jawabnya. Ah, sudahlah, ucapnya dalam hati untuk membuang jauh-jauh
kenangan pahit kala itu.
Hidayati menyeruput secangkir kopi. Dia memandang foto
masa kecil anak-anaknya. Dia merasakan ada yang aneh. Foto keluarga yang digantung
di dinding ruang tamu seperti bernyawa. Kedua anaknya yang sekarang sudah
menjadi mahasiswa seakan tersenyum bahagia. Bahagia terhadap kegigihan kedua
orang tuanya yang telah memberi perhatian dan perjuangan demi masa depannya.
Tak lama kemudian Hidayati beranjak dari tempat duduk.
Dia mendekat ke dinding. Hidayati meraih foto keluarga berbingkai ukiran
jepara. Perlahan pigura foto itu didekap erat dengan rasa haru bercampur rindu.
Mata sayu Hidayati sesekali melihat dan mengajak orang-orang tersayang dalam foto
itu bergurau. Dia senyum-senyum sendiri dan merasa bahagia. Apalagi pagi itu burung-burung
dalam sangkar yang tergantung di teras rumahnya berkicau merdu serta semerbak aroma wangi bunga-bunga di
taman kecil rumahnya setia menemani Minggu paginya. (*)
Wanar, 3 Juli 2022
Ahmad Zaini, guru di SMKN 1 Lamongan dan ketua PC Lesbumi NU Babat.
Beberapa karya sastranya tersebar di berbagai media cetak dan online serta
telah menerbitkan beberapa buku kumpulan puisi dan cerpen. Saat ini menetap di
Wanar, Pucuk, Lamongan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar