Lebaran Pertama Tanpa Ibu
Cerpen karya Ahmad Zaini
“Maafkan aku, Ibu! Aku belum bisa membahagiakanmu,” kata Santi dalam sedu-sedannya di ruang masak.
”Sudahlah. Tak perlu kau menangisi dan meratapi ibu seperti itu. Doakan saja semoga ibu bahagia di alam sana dan mendapat rahmat dari Allah,” hibur suaminya.
”Tapi, aku menyesal.”
”Apa yang kausesalkan?” tanya suami Santi.
Santi terdiam. Dia tidak mampu melontarkan sepatah kata pun untuk menjawab pertanyaan suaminya. Karena jawaban dari pertanyaan itu, pastilah beban besar yang bersemayam dalam diri Santi.
Semasa hidup ibunya, Santi memang sering cekcok. Beberapa kali terlontar kata-kata kasar yang terkadang menyinggung dan menyakiti hati ibunya. Tak jarang ruang masak menjadi arena percekcokan mereka lantaran perselisihan selera makanan. Sering juga mereka ramai gara-gara ulah anak-anak Santi yang usil.
Suami Santi sering mengingatkan istrinya agar mengabaikan masalah-masalah kecil dengan ibunya. Apa pun sikap dan kata-kata ibunya, cocok atau tidak di hati istrinya jangan sampai ditanggapi secara berlebihan. Namun, bawaan lahir Santi memang demikian. Terlalu sensitif dengan kata-kata atau sikap ibunya. Suaminya pun sering menjadi sasaran kebiasaannya itu. Untung sang suami mampu menahan diri dengan mencueki kata-kata Santi yang seperti panah beracun. Tajam dan panas di telinga. Atau bahkan bisa dikatakan mematikan. Mematikan otak waras. Mematikan kesabaran. Mematikan rasa dan sebagainya.
Pernah suatu ketika, ibunya mengingatkan supaya Santi bersikap lembut terhadap suami. Akan tetapi, yang terjadi masalah sebaliknya. Suaminya mendapatkan serangan membabi buta dari Santi. Dia menuduh suaminya mengadu ke ibu.
”Aku tak pernah mengadu ke ibu. Beliau mendengar ocehanmu tiap hari. Ibu sering membisikiku agar selalu sabar menghadapi dirimu yang emosianal dan sensitif,” jelas suaminya.
”Ah, alasan saja,” sahutnya.
Begitulah keseharian Santi dan ibu waktu itu. Sekarang tinggal penyesalan yang terjadi. Wajah ibunya selalu terbayang dalam benaknya. Ucapannya selalu terngiang di telinga. Air mata ibunya yang pernah tertumpah karena ulahnya, menjadi butiran air mata penyesalan dirinya yang tak pernah surut. Santi ingin ibunya hidup lagi dan akan memperbaiki diri dan meminta maaf kepada ibunya. Namun, ibunya sekarang sudah berbeda alam. Tidak mungkin mereka bisa bertemu secara zahir. Doa merupakan hal yang tepat untuk bisa meminta maaf kepada ibunya.
Ramadan tahun ini dilalui Santi tanpa seorang ibu di sisinya. Dia setiap hari hanya bersama suami dan anak-anaknya. Awal puasa Santi merasa berat karena rindunya pada sosok ibu. Akan tetapi, wejangan dan motivasi suami lambat laun mengurangi beban rindu itu. Setiap ia melihat kamar ibunya yang kini lengang, dia mengingat sang ibu terbaring di atas kasur. Terkadang Santi tanpa sadar mengetuk pintu kamar ibunya untuk mengingatkan waktu salat.
Yang lebih menggerus hati Santi adalah saat melihat meja makan. Maja itu dia pesan untuk ibunya. Namun, belum satu bulan sang ibu menikmati makan di meja itu, takdir kematian telah menjemputnya. Air mata Santi terus menetes saat melihat meja tersebut.
Belum lagi kebaya yang ia belikan ketika menjelang Idul Fitri tahun lalu. Kebaya warna hitam bermotif kembang belum sempat dikenakan. Rencana akan dipakai saat hari raya. Apa boleh buat, saat hari raya ibu Santi sudah terbaring sakit setelah seminggu dirawat di rumah sakit. Kebaya itu disimpan rapi di almari beserta pakaian lainnya.
Santi duduk dalam kamar ibunya. Dia melipat kembali kebaya ibunya yang sempat dibuka. Santi sesengguhkan sambil menutup wajahnya dengan kebaya yang belum terlipat sempurna. Suami Santi mendengar tangis istri. Dia menghampiri istrinya dalam kamar.
”Aku rindu ibu,” katanya.
”Doakan!” jawab singkat suaminya.
”Doakan, doakan. Kata-kata itu saja yang kamu ucapkan,” sahutnya ketus.
”Lalu dengan cara apa untuk mengobati kerinduan anak terhadap ibunya yang sudah meninggal selain doa?” pertanyaan menohok suami kepadanya.
”Aku ingin ibu hidup lagi?”
”Sadar, Bu. Yang kamu katakan ini sama halnya menentang takdir Allah. Istighfar!”
”Aku sadar, Pak.”
”Tapi, yang kamu katakan ini telah menyalahi kodrat Allah. Semua orang yang telah mati tidak mungkin bisa hidup normal kembali ke dunia. Kalian nanti bisa bertemu dalam satu alam. Itu pun atas izin Allah.”
”Kalau begitu aku ingin mati biar bisa bertemu ibu.”
”Bu, di mana imanmu? Di mana Islammu? Kamatian itu tidak bisa diminta dan tidak bisa ditolak. Kita semua akan mati jika Allah menghendaki. Kalau belum saatnya, terus minta mati, sama halnya dengan bunuh diri. Orang yang mati dengan bunuh diri itu sejelek-jeleknya kematian manusia. Mereka putus dari rahmat Allah. Nauzubillah!” jelas suaminya.
”Segeralah berwudlu, ambil Alquran, bacalah biar hati tenang,” sambung suaminya.
Santi bangkit secara perlahan. Dia menyempurnakan lipatan kebaya ibu kemudian menaruhnya di almari bersama pakaian lain.
Lama-lama suami Santi bingung. Dia kehabisan cara untuk menyadarkan istrinya agar tidak larut dalam kesedihan setelah kematian ibu mertuanya. Dia bertanya pada teman, ustadz, dan para alim kenalannya. Suami Santi meminta saran cara menyadarkan istrinya. Rerata disuruh mendoakan istrinya agar hatinya dibuka oleh Allah sehingga bisa mengikhlaskan kematian ibunya setahun lalu. Ada satu saran lagi dan menurut suami Santi masuk akal. Yaitu, menjauhkan barang atau benda-benda yang identik dengan ibunya. Terutama tata letak kamar dan pakaian ibunya.
”Benarkah bisa mengakhiri beban istriku?”
”Insyaallah, ikhtiyar. Semoga bisa!” jawab kiai Syamsul, sosok alim yang pernah mengajari Santi mengaji Alquran.
Suami Santi sangat yakin atas masukan temannya ini. Dia bergegas menemui istrinya lalu menyampaikan saran tersebut. Namun, rencana itu mentah. Santi menolak keras saran ini.
”Tidak mungkin. Kamar dan pakaian ini adalah bagian dari kehidupan ibu. Kalau ruhnya pulang, pasti menangis mencari pakaian dan kamarnya. Ruh ibu akan seperti orang tersesat karena melihat suasana dan pemandangan baru di rumah ini,” kata Santi.
Bagi Santi, ibunya masih hidup. Dia merasa ibunya masih berada di sekitarnya dan berkebutuhan layaknya seperti dia. Padahal, ibunya berada di alam berbeda yang kebutuhannya juga tidak sama. Kebutuhan makan, minum, dan pakaian ibunya kini adalah kiriman doa, bukan lainnya. Doa itulah yang akan menentramkan ibu Santi di alamnya. Bukan kebutuhan orang hidup sebagaimana yang dikatakan Santi.
Kematian adalah takdir Allah. Bila sudah saatnya ajal datang menjemput manusia, tak satu pun manusia bisa menghindar. Ibarat dengan berlari ke atas gunung, menyelam ke dasar laut, atau berada di bunker sekalipun, manusia akan tetap menemui ajal. Maka, setiap saat manusia harus berbuat kebajikan agar ketika ajal menjemput berada di jalur yang benar.
Malam lebaran datang. Santi semakin tenggelam kerinduan pada ibunya. Di meja makan ruang dapur, air mata Santi membanjiri permukaan meja makan. Lebih-lebih tatkala takbir berkumandang dari masjid. Isak tangis Santi semakin dalam.
”Kasihan ibu,” katanya dalam tangis.
”Akan semakin kasihan lagi apabila kamu tidak menghentikan tangismu. Doakan semoga ibu mendapat rahmat dan ampunan Allah di malam Idul Fitri ini,” saran suaminya.
Mendengar saran suaminya, tangis Santi perlahan mereda. Anak-anaknya yang lugu turut juga menghibur ibu mereka. Mereka mendekap sambil membelai rambut serta mengusap mata ibuya yang sembap.
”Ibu, ikhlaskan nenek. Nenek sudah tenang berada di sisi Allah. Nenek sedang menikmati perjamuan hasil dari ibadahnya semasa hidup. Nenek bahagia di alamnya, kok!” kata putri sulungnya.
Kata-kata dari belahan hatinya menegarkan Santi. Dia mengangkat wajah kemudian menatap wajah suami dan anak-anaknya. Mereka berbaur menjadi satu dalam suasana malam lebaran pertama tanpa seorang ibu dan nenek anak-anaknya. Suami dan anak-anak Santi menguatkan hati ibu. Jiwa yang tercabik akibat kematian ibu, berusaha dijahit oleh orang-orang terdekatnya ini.
”Berat, Pak!”
”Iya, memang berat. Tapi, yakinlah ini adalah keputusan terbaik dari Allah untuk keluarga kita. Pasti ada hikmah di balik semunya ini,” kata suami Santi.
”Iya, Pak,” pungkas Santi.
Santi, suami, dan anak-anaknya tersenyum bahagia. Mereka menjalani lebaran pertama tanpa ibu dengan ikhlas dan kejernihan jiwa. Mereka yakin ibu Santi juga menikmati jamuan yang sama karena doa yang mereka kirimkan setiap hari.
”Nenek juga berlebaran, Bu,” celetuk anak bungsunya yang disusul senyum bahagia mereka di hari lebaran.
Lamongan, 12 April 2024
Ahmad Zaini merupakan guru di SMKN 1 Lamongan dan ketua Lesbumi PCNU Babat. Beberapa puisi dan cerpennya bertebaran di media cetak dan online serta diterbitkan dalam beberapa buku antologi tunggal dan bersama penulis nusantara.
https://radarbojonegoro.jawapos.com/lembar-budaya/714619073/lebaran-pertama-tanpa-ibu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar