Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Sabtu, 10 Agustus 2024

Bingkai Jendela Tanpa Kaca, Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, Sabtu, 10 Agustus 2024

 https://radarbojonegoro.jawapos.com/lembar-budaya/714961265/lembar-budaya-bingkai-jendela-tanpa-kaca

Bingkai Jendela Tanpa Kaca

Cerpen karya Ahmad Zaini

 

Udara dingin malam ini mengusik isitrahatku. Lembut merayapi sekujur tubuh. Menusuk pori-pori hingga menembus tulang. Sarung tebal kutarik dari kaki hingga kepala. Namun, sarungku tidak mampu mengahalau rasa dingin. Tubuhku semakin menggigil. Gigiku gemeretak. Rasa dingin menyusup kamar dari bingkai jendela tanpa kaca. Sungguh malam ini tidurku tak nyenyak.

Aku teringat pesan ayah saat mengantarku ke pesantren. Di pesantren makanlah yang lahap dan tidurlah yang nyenyak. Memang aneh pesan ini, tapi aku tahu maksudnya. Berkali-kali ayah menyampaikan maksud dari pesan tersebut. Makan yang lahap artinya jangan makan sebelum aku benar-benar lapar. Tidur nyenyak aritnya jangan tidur sebelum aku benar-benar  mengantuk. Dari dua pesan tersebut terkandung maksud bahwa aku harus menggunakan waktu sebaik-baiknya di pesantren untuk belajar ilmu agama dan beribadah kepada Allah dengan baik. Terutma salat lima waktu dengan berjamaah.

Teman-temanku masih lelap. Mereka tidur tanpa alas dan bantal. Mereka menikmati mimpi tanpa memedulikan udara dingin menghinggapi tubuhnya. Mataku tak bisa dipejamkan lagi. Terbayang keluargaku di rumah. Ayah dan ibu yang setiap hari mengomeliku saat azan berkumandang sedangkan aku masih asyik main HP. Rindu adik. Adikku yang cerewet. Dia sering mengadukan diriku kepada ayah atau ibu tentang segala sesuatu yang ada di HP. Dia suka mengarang cerita yang tidak benar agar aku dimarahi ibu.

Kali ini aku benar-benar insyaf. Aku menempa diri di pesantren untuk belajar agama. Aku ingin menjadi anak yang berguna. Anak berbakti kepada kedua orang tua. Aku ingin menjadi manusia yang dapat memberi manfaat kepada orang lain atau kepada masyarakat. Aku ingin menjadi penerus kedua orang tuaku yang saat ini masih aktif menjalankan tugas dengan berdinas di Pendidikan.

“Mukhlis, kamu sudah bangun?” tiba-tiba terdengar suara dari jendela kamar.

Aku menoleh ke belakang. Di jendela tanpa kaca berdiri pengurus pesantren.

“Iya. Dingin.”

“Segeralah ke belakang. Mandi kemudian ambil air wudu,” perintahnya.

“Baik,” sanggupku.

Aku berdiri sambil membenahi sarungku yang kedodoran. Aku memenuhi perintah pengurus sekaligus pengampu kitab Tauhid di madrasah diniyyah.

Rasa dingin tak kuhiraukan. Aku harus berani dan mampu mengalahkan udara yang sangat tidak bersahabat ini. Rasa kantuk seketika hilang ketika segayung air kuguyurkan ke tubuhku. Tangan gemetar. Gigi gemeretak. Tulang-tulang persendian terasa akan lepas. Akan tetapi, aneka rasa di sekujur tubuhku tak kuhiraukan hingga selesai berwudu.

Jarum jam di musala pesantren menunjuk ke angka tiga. Setengah jam lagi para pengurus pesantren membangunkan semua santri yang masih tidur nyenyak. Sebelum mereka bangun, aku berniat memanfaatkan suasana sepi ini untuk qiyamullail. Aku belajar untuk membiasakannya agar bisa berdoa untuk kemanfaatan dan keberkahan ilmu serta berdoa untuk kesehatan kedua orang tua.

Dalam doa tak terasa air mataku mengalir. Butirannya menetes di sajadah. Ada guratan dosa yang pernah kulakukan pada kedua orang tua. Aku sering membohongi dan menyakiti hati keduanya. Bingkai jendela tanpa kaca menjadi saksi. Benda itu merasakan getar sesal dari hatiku. Wajah penuh kasih sayang kedua orang tua terbayang di tengah bingkai jendela tanpa kaca kamar pesantren. 

Tiba-tiba terbesit dalam hatiku ingin pulang. Aku ingin memeluk dan bersimpuh di kaki ayah ibu. Aku rindu wajah mereka yang teduh.

“Kamu akan ke mana?” tiba-tiba terdengar suara pengurus pesantren.

“Aku ingin pulang. Aku rindu ayah dan ibu,” jawabku sambil menarik kaki kiriku yang sudah berada di tengah bingkai jendela tanpa kaca.

“Lihat jam itu,” katanya.

Pandanganku menyasar ke jam dinding yang tergantung di dinding kamar pesantren. Ternyata masih pukul 03:45. Jelang salat shubuh.

“Selepas subuh, menemui saya,” pesannya.

“Baik, Pak,” jawabku singkat.

Aku tertunduk. Wajah kubenamkan sangat dalam untuk mengubur rasa rindu kepada orang tua yang sempat memuncak. Hati kecilku berbicara aku harus tenang. Aku harus menguatka niatku belajar di pesantren untuk mewujudkan harapan kedua orang tuaku. Bingkai jendela tanpa kaca tempat aku mengintip kedua orang tua meninggalkan aku bersama teman-teman santri lain meninggalkan kesan. Kesan yang tak mungkin aku lupakan.

“Mukhlis, ke sini!” suara pengurus dari dalam kantor pesantren. Aku menoleh lalu bergegas menuju kantor.

Pengurus pesantren ini merasakan gejolak batinku. Dia merasakan bagaimana santri baru yang terpisah dengan kedua orang tua dan keluarga lainnya. Aku yakin dia ketika masih baru nyantri di pesantren ini juga merasakan hal demikian.

“Mohon maaf, saya izin masuk,” kataku.

“Silakan duduk, Mukhlis!” sahut suara yang berbeda.

Aku terkejut. Suara ini bukan suara pengurus tadi. Aku mengangkat wajah dan melihat sosok yang baru saja memersilakan aku duduk. Ternyata Abah Yai.

“Ke sini, Nak. Mendekat ke Abah,” pintanya. Aku menggeser dudukku dan menghadap beliau.

“Aku sudah mendengar cerita dari Kang Mundzir bahwa kamu santri yang paling rajin qiyamullail atau salat malam. Aku bangga kepadamu.”

“Terim kasih, Abah Yai.”

“Namun, kenapa kamu akhir-akhir ini sering murung di jendela itu?” tanya Abah Yai.

“Saya rindu ayah dan ibu. Aku kangen wajahnya yang penuh kasih dan sayang kepadaku. Saya ingin meminta maaf kepada mereka karena sering membohongi dan menyakiti hati mereka.”

“Aku yakin kedua orang tuamu tidak merasa kausakiti hatinya. Aku yakin kedua orang tuamu telah memaafkan khilafmu. Maka tak perlu kau berlarut-larut memikirkan itu.”

“Buktinya apa, Yai? Maaf!”

“Sebagai buktinya, ya, kedua orang tuamu memondokkan kamu di pesantren ini. Mereka berniat ikhlas dan tulus supaya kamu menjadi orang yang mengerti. Maka doakanlah mereka semoga sehat dan mendapat rahmat dari Allah sebagaimana  mereka mengasihi dirimu.”

“Baik, Abah Yai. Doa itu yang selalu kupanjatkan buat kedua orang tuaku dalam tahajjudku.”

“Sekarang silakan bergabung dengan teman-temanmu untuk persiapan mengikuti pengajian pagi.”

“Terima kasih, Abah Yai,” aku mengangguk hormat dan sungkem padanya.

Nasihat yang meneduhkan jiwa. Aku sekarang mengerti bahwa perhatian orang tua kepada anak sebesar dan sedalam itu. Orang tua tidak sampai hati apabila memarahi anak. Hanya di bibir saja. Mereka mengerti bahwa memarahi anak sampai terbawa ke dalam hati, murka Allah akan menimpa anaknya.

 Sungguh mulia hati orang tuaku memondokkan di pesantren ini. Hatiku yang keras selama di rumah, akan kutumbuk dengan ilmu-ilmu hikmah agar melunak. Akan kubuang jauh-jauh rasa egoku yang selama ini menyusahkan kedua orang tuaku. Hormat dan bakti akan kutunjukkan kepada mereka ketika ada kesempatan pulang saat liburan.

Aku duduk bersila bersama para santri lainnya. Dengan posisi melingkar, kami mendengarkan pengajian Abah Yai. Penjelasan beliau terhadap isi kitab yang dikaji sangat jelas. Kata-katanya mudah dipahami santri. Apalagi disampaikan dengan nada suara datar dan rendah. Sangat karismatik.

Setelah pengajian aku dan para santri lain kembali ke kamar masing-masing. Kami bersiap-siap untuk menikmati sarapan pagi yang sudah disiapkan oleh juru masak pesantren. Aku mengantre menerima jatah makan dan lauk dari juru masak dengan menyodorkan piring yang dibawakan orang tuaku dari rumah. Aku melakukannya dengan senang dan ikhlas tanpa risih dan gengsi. Betapa nikmat menu yang diberikan oleh juru masak meskipun hanya sepiring nasi putih dan lauk tahu tempe. Aku menikmatinya dengan lahap hingga tak tersisa.

Setengah jam lagi aku berangkat ke sekolah formal yang juga berada di lingkungan pesantren. Aku mengakhiri kegiatan sarapan pagi. Aku dan para santri bergegas kembali ke kamar. Aku bersiap-siap berangkat ke sekolah. Setelah mengenakan seragam yang berlaku hari itu, aku keluar kamar. Subhanallah, para santri lainnya sudah berkumpul di halaman asrama pesantren dengan seragam yang sama.

Kami berangkat bersama-sama ke sekolah untuk menimba ilmu dengan seragam putih. Kami berjalan kaki dengan rapi sambil membawa buku. Mirip pasukan perang menuju medan pertempuran. Perang memerangi kebodohan di medan ilmu karena Allah.    (*)

 

Lamongan, 27 Juli 2024

 

Ahmad Zaini, guru SMKN 1 Lamongan dan ketua Lesbumi PCNU Babat

Beberapa cerpen dan puisinya beredar di berbagai media cetak dan noline serta diterbitkan ke dalam beberapa buku antologi tunggal dan bersama para penulis daerah

dan nasional

1 komentar:

  1. Cerita ini sangat menyentuh hati. Terutama saya yang pernah merasakan hari pertama di pesantren

    BalasHapus