https://radarbojonegoro.jawapos.com/lembar-budaya/714961265/lembar-budaya-bingkai-jendela-tanpa-kaca
Bingkai Jendela Tanpa Kaca
Cerpen karya Ahmad Zaini
Udara dingin
malam ini mengusik isitrahatku. Lembut merayapi sekujur tubuh. Menusuk
pori-pori hingga menembus tulang. Sarung tebal kutarik dari kaki hingga kepala.
Namun, sarungku tidak mampu mengahalau rasa dingin. Tubuhku semakin menggigil.
Gigiku gemeretak. Rasa dingin menyusup kamar dari bingkai jendela tanpa kaca.
Sungguh malam ini tidurku tak nyenyak.
Aku teringat
pesan ayah saat mengantarku ke pesantren. Di pesantren makanlah yang lahap dan
tidurlah yang nyenyak. Memang aneh pesan ini, tapi aku tahu maksudnya.
Berkali-kali ayah menyampaikan maksud dari pesan tersebut. Makan yang lahap
artinya jangan makan sebelum aku benar-benar lapar. Tidur nyenyak aritnya
jangan tidur sebelum aku benar-benar
mengantuk. Dari dua pesan tersebut terkandung maksud bahwa aku harus
menggunakan waktu sebaik-baiknya di pesantren untuk belajar ilmu agama dan
beribadah kepada Allah dengan baik. Terutma salat lima waktu dengan berjamaah.
Teman-temanku
masih lelap. Mereka tidur tanpa alas dan bantal. Mereka menikmati mimpi tanpa
memedulikan udara dingin menghinggapi tubuhnya. Mataku tak bisa dipejamkan
lagi. Terbayang keluargaku di rumah. Ayah dan ibu yang setiap hari mengomeliku
saat azan berkumandang sedangkan aku masih asyik main HP. Rindu adik. Adikku
yang cerewet. Dia sering mengadukan diriku kepada ayah atau ibu tentang segala
sesuatu yang ada di HP. Dia suka mengarang cerita yang tidak benar agar aku
dimarahi ibu.
Kali ini aku
benar-benar insyaf. Aku menempa diri di pesantren untuk belajar agama.
Aku ingin menjadi anak yang berguna. Anak berbakti kepada kedua orang tua. Aku
ingin menjadi manusia yang dapat memberi manfaat kepada orang lain atau kepada masyarakat.
Aku ingin menjadi penerus kedua orang tuaku yang saat ini masih aktif
menjalankan tugas dengan berdinas di Pendidikan.
“Mukhlis, kamu
sudah bangun?” tiba-tiba terdengar suara dari jendela kamar.
Aku menoleh ke
belakang. Di jendela tanpa kaca berdiri pengurus pesantren.
“Iya. Dingin.”
“Segeralah ke
belakang. Mandi kemudian ambil air wudu,” perintahnya.
“Baik,”
sanggupku.
Aku berdiri
sambil membenahi sarungku yang kedodoran. Aku memenuhi perintah pengurus
sekaligus pengampu kitab Tauhid di madrasah diniyyah.
Rasa dingin tak
kuhiraukan. Aku harus berani dan mampu mengalahkan udara yang sangat tidak
bersahabat ini. Rasa kantuk seketika hilang ketika segayung air kuguyurkan ke
tubuhku. Tangan gemetar. Gigi gemeretak. Tulang-tulang persendian terasa akan
lepas. Akan tetapi, aneka rasa di sekujur tubuhku tak kuhiraukan hingga selesai
berwudu.
Jarum jam di
musala pesantren menunjuk ke angka tiga. Setengah jam lagi para pengurus
pesantren membangunkan semua santri yang masih tidur nyenyak. Sebelum mereka
bangun, aku berniat memanfaatkan suasana sepi ini untuk qiyamullail. Aku
belajar untuk membiasakannya agar bisa berdoa untuk kemanfaatan dan keberkahan
ilmu serta berdoa untuk kesehatan kedua orang tua.
Dalam doa tak
terasa air mataku mengalir. Butirannya menetes di sajadah. Ada guratan dosa
yang pernah kulakukan pada kedua orang tua. Aku sering membohongi dan menyakiti
hati keduanya. Bingkai jendela tanpa kaca menjadi saksi. Benda itu merasakan
getar sesal dari hatiku. Wajah penuh kasih sayang kedua orang tua terbayang di
tengah bingkai jendela tanpa kaca kamar pesantren.
Tiba-tiba
terbesit dalam hatiku ingin pulang. Aku ingin memeluk dan bersimpuh di kaki
ayah ibu. Aku rindu wajah mereka yang teduh.
“Kamu akan ke
mana?” tiba-tiba terdengar suara pengurus pesantren.
“Aku ingin
pulang. Aku rindu ayah dan ibu,” jawabku sambil menarik kaki kiriku yang sudah
berada di tengah bingkai jendela tanpa kaca.
“Lihat jam
itu,” katanya.
Pandanganku
menyasar ke jam dinding yang tergantung di dinding kamar pesantren. Ternyata
masih pukul 03:45. Jelang salat shubuh.
“Selepas subuh,
menemui saya,” pesannya.
“Baik, Pak,”
jawabku singkat.
Aku tertunduk.
Wajah kubenamkan sangat dalam untuk mengubur rasa rindu kepada orang tua yang
sempat memuncak. Hati kecilku berbicara aku harus tenang. Aku harus menguatka
niatku belajar di pesantren untuk mewujudkan harapan kedua orang tuaku. Bingkai
jendela tanpa kaca tempat aku mengintip kedua orang tua meninggalkan aku bersama
teman-teman santri lain meninggalkan kesan. Kesan yang tak mungkin aku lupakan.
“Mukhlis, ke
sini!” suara pengurus dari dalam kantor pesantren. Aku menoleh lalu bergegas
menuju kantor.
Pengurus
pesantren ini merasakan gejolak batinku. Dia merasakan bagaimana santri baru
yang terpisah dengan kedua orang tua dan keluarga lainnya. Aku yakin dia ketika
masih baru nyantri di pesantren ini juga merasakan hal demikian.
“Mohon maaf,
saya izin masuk,” kataku.
“Silakan duduk,
Mukhlis!” sahut suara yang berbeda.
Aku terkejut.
Suara ini bukan suara pengurus tadi. Aku mengangkat wajah dan melihat sosok
yang baru saja memersilakan aku duduk. Ternyata Abah Yai.
“Ke sini, Nak.
Mendekat ke Abah,” pintanya. Aku menggeser dudukku dan menghadap beliau.
“Aku sudah
mendengar cerita dari Kang Mundzir bahwa kamu santri yang paling rajin qiyamullail
atau salat malam. Aku bangga kepadamu.”
“Terim kasih,
Abah Yai.”
“Namun, kenapa
kamu akhir-akhir ini sering murung di jendela itu?” tanya Abah Yai.
“Saya rindu
ayah dan ibu. Aku kangen wajahnya yang penuh kasih dan sayang kepadaku. Saya
ingin meminta maaf kepada mereka karena sering membohongi dan menyakiti hati
mereka.”
“Aku yakin
kedua orang tuamu tidak merasa kausakiti hatinya. Aku yakin kedua orang tuamu
telah memaafkan khilafmu. Maka tak perlu kau berlarut-larut memikirkan
itu.”
“Buktinya apa,
Yai? Maaf!”
“Sebagai
buktinya, ya, kedua orang tuamu memondokkan kamu di pesantren ini. Mereka
berniat ikhlas dan tulus supaya kamu menjadi orang yang mengerti. Maka
doakanlah mereka semoga sehat dan mendapat rahmat dari Allah sebagaimana mereka mengasihi dirimu.”
“Baik, Abah
Yai. Doa itu yang selalu kupanjatkan buat kedua orang tuaku dalam tahajjudku.”
“Sekarang
silakan bergabung dengan teman-temanmu untuk persiapan mengikuti pengajian pagi.”
“Terima kasih,
Abah Yai,” aku mengangguk hormat dan sungkem padanya.
Nasihat yang
meneduhkan jiwa. Aku sekarang mengerti bahwa perhatian orang tua kepada anak
sebesar dan sedalam itu. Orang tua tidak sampai hati apabila memarahi anak.
Hanya di bibir saja. Mereka mengerti bahwa memarahi anak sampai terbawa ke
dalam hati, murka Allah akan menimpa anaknya.
Sungguh mulia hati orang tuaku memondokkan di
pesantren ini. Hatiku yang keras selama di rumah, akan kutumbuk dengan
ilmu-ilmu hikmah agar melunak. Akan kubuang jauh-jauh rasa egoku yang selama
ini menyusahkan kedua orang tuaku. Hormat dan bakti akan kutunjukkan kepada
mereka ketika ada kesempatan pulang saat liburan.
Aku duduk
bersila bersama para santri lainnya. Dengan posisi melingkar, kami mendengarkan
pengajian Abah Yai. Penjelasan beliau terhadap isi kitab yang dikaji sangat
jelas. Kata-katanya mudah dipahami santri. Apalagi disampaikan dengan nada
suara datar dan rendah. Sangat karismatik.
Setelah
pengajian aku dan para santri lain kembali ke kamar masing-masing. Kami bersiap-siap
untuk menikmati sarapan pagi yang sudah disiapkan oleh juru masak pesantren. Aku
mengantre menerima jatah makan dan lauk dari juru masak dengan menyodorkan
piring yang dibawakan orang tuaku dari rumah. Aku melakukannya dengan senang
dan ikhlas tanpa risih dan gengsi. Betapa nikmat menu yang diberikan oleh juru
masak meskipun hanya sepiring nasi putih dan lauk tahu tempe. Aku menikmatinya
dengan lahap hingga tak tersisa.
Setengah jam
lagi aku berangkat ke sekolah formal yang juga berada di lingkungan pesantren.
Aku mengakhiri kegiatan sarapan pagi. Aku dan para santri bergegas kembali ke
kamar. Aku bersiap-siap berangkat ke sekolah. Setelah mengenakan seragam yang
berlaku hari itu, aku keluar kamar. Subhanallah, para santri lainnya
sudah berkumpul di halaman asrama pesantren dengan seragam yang sama.
Kami berangkat
bersama-sama ke sekolah untuk menimba ilmu dengan seragam putih. Kami berjalan
kaki dengan rapi sambil membawa buku. Mirip pasukan perang menuju medan pertempuran.
Perang memerangi kebodohan di medan ilmu karena Allah. (*)
Lamongan, 27
Juli 2024
Ahmad Zaini, guru SMKN 1 Lamongan dan ketua Lesbumi PCNU Babat
Beberapa cerpen
dan puisinya beredar di berbagai media cetak dan noline serta diterbitkan ke
dalam beberapa buku antologi tunggal dan bersama para penulis daerah
dan nasional
Cerita ini sangat menyentuh hati. Terutama saya yang pernah merasakan hari pertama di pesantren
BalasHapus