Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Rabu, 25 Desember 2024

Serabih Balan, cerpen Jawa Pos grup Radar Bojnegoro, Sabtu, 30 November 2024

 


 

Serabih Balan

Cerpen karya Ahmad Zaini

 

Jarum jam berlabuh di angka 9 malam. Di luar rumah sudah sepi. Para tetangga telah menikmati mimpi berirama dengkur yang berisik. Istri yang semula tidur, bangun tiba-tiba.

"Mas, ingin serabih dan lopis, " katanya sambil mengucek-ucek mata.

"Kamu mengigau?" tanyaku sembari mengistirahatkan jemariku yang sejak tadi menari di keyboard laptop.

"Tidak. Aku sadar, Mas. Aku ingin serabih balan," pungkas istriku yang kemudian beranjak dari tempat tidur.

Apakah istriku hamil muda? tanyaku dalam hati. Pengalaman kehamilan anak pertama juga demikian. Bedanya waktu itu dia minta soto daging, sekarang minta serabih balan.

"Serius?" tanyaku sekali lagi untuk memastikannya.

"Ya, sudah kalau Mas tidak mau. Saya berangkat sendiri," jawab istri dengan nada mendongkol.

Permintaan tiba-tiba karena menginginkan sesuatu. Salah satu tanda istri sedang mengidam. Menurut orang-orang, entah fakta atau mitos, jika istri mengidam kemudian tidak terpenuhi, kelak anaknya suka ngiler.

Hatiku tersentak. Menurut istri aku juga sering ngiler atau keluar liur tanpa sengaja. Tidak hanya kata istri, tetapi aku juga menyadarinya. Tapi, bukan karena itu aku ngiler. Cerita ayah sewaktu ibu mengidam tersebab janinku, semua keinginan ibu terpenuhi.

Ah, itu hanya gurauan istriku saja. Aku tidak pernah ngiler, kecuali saat sariawan atau sakit gigi. Saat-saat khusus seperti itu tidak bisa dijadikan dasar orang ngiler karena semasa ibunya mengidam, tidak terpenuhi keinginannya.

Daripada nanti, kalau benar istriku mengidam, anakku jadi ngiler, lebih baik aku berangkat ke warung tempat jualan serabih balan.

"Di rumah saja, ya?"

"Ikut," sahutnya manja.

Meski malam hari waktunya istirahat, istri kubonceng dengan motor butut ke sebuah desa yang berjarak tiga kilometer dari tempat tinggalku.

"Tahu posisi warung tempat jualan serabih permintaanmu?"

"Tidak tahu."

Aku tercengang. Aku kaget. Aku rasa istriku sudah mengetahui letak warung serabih itu.

"Lantas kamu tahu serabih balan dari mana?"

"Dulu pernah diberi Katam. Rasanya enak sekali.”

"Coba telepon Katam. Tanyakan di mana posisi warungnya."

Istriku merogoh hape di saku bajuku untuk menghubungi Katam.

Alhamdulillah, dari informasi Katam, aku sudah tahu ke arah warung serabih itu. Dulu aku juga pernah ke situ diajak teman. Tapi, lima belas tahun silam. Menurutku serabih balan kala itu rasanya biasa-biasa saja. Sekarang entah dimodel seperti apa sehingga istriku memaksa membelikan jajan tradisonal tersebut meski malam hari.

Tidak sampai setengah jam kami sampai di warung serabih balan. Suasana ramai sekali. Bertolak belakang di desaku jam segini sudah sepi. Puluhan sepeda motor parkir di samping warung. Beberapa orang yang mayoritas laki-laki mengantre demi mendapatkan giliran sajian serabih balan.

Di area belakang, tempat memproduksi serabih, terlihat wanita tua dibantu anaknya mengadoni bahan serabih. Ibu dan anak saling membantu membuat bahan serabih agar para konsumen yang sudah menahan liur ini segera dapat menikmatinya.

Suasana malam kala itu mendung. Udara terasa dingin. Di ujung langit selatan terlihat cahaya kilat bersahutan. Aku mendekat ke warung melihat istriku. Ternyata dia masih duduk menunggu dua pembeli lagi. Aku tak beranjak tempat. Kakiku kupaku di tempat dekat Mak Yah membuat serabih. Lidah api menjilat ngaron atau belanga pemanggang serabih. Cahaya dan panas apinya sesekali menampar wajah Mak Yah. Raut Mak yah terlihat lelah. Namun, ia tak menghiraukan sama sekali. Dia tetap membuat serabih pesanan dari para pembeli. Termasuk istriku.

“Pesan berapa?” tanya Mak Yah kepada istriku.

“Empat bungkus, Mak,” istriku menjawab.

“Sepertinya tidak cukup. Ini hanya bisa membuatkan dua bungkus saja.”

Istriku tertegun. Lama mengantre, tetapi tinggal kebagian dua bungkus. Sementara di rumah ibu dan bapaknya menunggunya.

“Tidak apa-apa, Dik. Sebungkus kita makan berdua, yang satu bungkus lainnya biar dimakan ayah dan ibu.”

Setelah hampir satu jam mengantre demi dua bungkus serabih balan, istri lekas mengajak pulang. Melewati jalan sepi, istri mempererat pegangan. Istriku cemas lantaran gerimis lembut mulai menyapa. Aku melajukan motor dengan tenang. Pandangan mataku, fokus pada jalan yang mulai terhalang gerimis. Jalan semakin licin setelah permukaannya diguyur hujan.

“Berteduh dulu, Dik,” kataku sambil menuju sebuah lapak penjual bakso yang kosong.

“Ayo, terus saja!”

“Jangan. Sangat berbahaya,” timpalku.

Di lapak penjual bakso tidak ada penerang. Wajah istri yang basah ditampar hujan tidak jelas terlihat. Sesekali sinar lampu mobil yang melintas menunjukkan padaku kalau wajah istriku tak menampakkan rasa kesal.

Di sebalah lapak ada kursi panjang yang posisinya dibalik di atas meja. Aku mengambilnya sebagai tempat duduk sementara. Aku kasihan sekali pada istri. Dia dalam masa mengidam ingin serabih balan, sampai rela berhujan-hujan. Ini demi menghindari mitos anak ngileran jika keinginannya tidak terpenuhi.

Perlahan hujan mulai mereda. Tinggal satu dua saja jemari hujan yang belum tega tanah ini mengering. Aku menuruti istri melanjutkan perjalanan pulang. Dia tidak sabar menikmati serabih balan yang selama ini diidam-idamkan. Knalpot motor yang kukendarai meraung memecah kesunyian jalan menuju kampung. Sedangkan, lampu depannya menatap tajam jalanan basah menuju rumah.

Istriku berlari-lari kecil. Dia tidak ingin tetesan hujan yang sempat mampir di dedaunan perdu menetes menerba kepalanya. Melihat istriku seperti itu, aku sempat mengkhawatirkannya. Maklumlah dia sedang hamil muda.

Belum sempat kujagang motorku, tiba-tiba istriku keluar lagi.

“Ada apa, Dik?”

“Serabihnya ketinggalan di tempat kita berteduh tadi,” katanya dengan penuh sesal.

“Tidak apa-apa. Saya ambil,” sanggupku.

Aku langsung memutar balik sepeda motorku yang sudah berada di ambang teras dengan perasaan yang sebenarnya berat. Bagaimana tidak berat, cuaca gerimis malam hari yang belum reda sempurna, harus kuterabas lagi demi serabih balan yang ketinggalan.

Di tengah perjalanan menuju tempatku berteduh bersama istri, gas pacu motor terasa berat. Motor tidak bisa melaju kencang seperti ada yang menarik dari belakang. Aku menoleh embali belakang. Ternyata tidak ada apa-apa. Ah, mungkin lantaran banyak genangan air yang menghambat laju motor, kataku dalam hati. Lampu utama semakin meredup. Gerak motor juga melambat. Tak berselang lama, mesin sepeda motor mati.

Posisi sendirian di tengah jalan pada malam hari ketika hujan belum reda sempurna. Ada perasaan griming-griming atau cemas karena takut. Bulu kudukku berdiri. Mataku menyasar ke segala penjuru. Gelap semua. Kedua tanganku meraba-raba ke arah busi. Kondisi busi masih sempurna. Kabel-kabelnya pun tidak ada yang putus. Aku mencoba menggoyang-goyangkan motor untuk mengecek bahan bakar. Di tangkinya ternyata tidak ada suara gemericik bensin. Asem! Bensin habis, umpatku dalam benak.Terpaksa sepeda motor kutuntun hampir satu kilometer untuk bisa sampai pada sebuah kios penjual bensin eceran.

Tuhan Maha Penolong hambaNya. Pemilik kios berada di teras rumahnya. Aku pesan bensin satu botol. Dia mengambil lalu menuangkan ke tangka motor. Sekali hentak, mesin menyala. Motor kupacu menerobos gerimis lembut di malam hari. Sesampai di tempat berteduh, bungkusan serabih telah raib.

Aku tidak berpikir lama. Aku langsung kembali ke Balan dengan harapan Mak Yah masih di depan tungku sambil membuat adonan bahan serabih lagi. Tuhan Maha Mendengar. Makyah masih di tempat. Dia membuat adonan baru karena banyak pembeli yang baru datang. Kabarnya para pembeli itu berasal dari luar daerah. Karena kasihan pada mereka, Mak Yah terpaksa membuat adonan baru.

Aku rela berdiri untuk menunggu giliran. Pembeli dari luar daerah itu pesan serabih balan hingga beberapa bungkus. Aku tak ingin janin yang di kandung istri kelak jadi anak ngileran atau berliur.

“Tiga bungkus, Mak,” jawabku agak terkejut.

Aku bersyukur karena masih mendapatkan tiga bungkus serabih, meskipun semula aku hanya berspekulasi. Tuhan menyayangiku. Aku ditakdirkan mendapatkan serabih buat istriku yang mengidam.

Udara dingin malam tak kuhiraukan. Meski tanpa jaket, aku tetap memacu motorku menerobos kegelapan malam. Kecemasan wajah istriku terbayang selama perjalanan. Lentik jemarin gerimis menyambut kedatanganku. Kujagang sepeda mottorku di teras. Daun pintu kuketuk. Lama tidak ada ada jawaban dari dalam rumah. Pintu kudorong pelan. Ternyata pintu dikunci.

Aku merasa bersalah pada istri. Dia sangat lama mananti. Mungkin karena kecapekan dan tidak tahan menahan kantuk, istriku tidur.

“Dik, bukakan pintu?”

Tak berselang lama, kunci pintu bergerak-gerak. Daun pintu kubuka. Ternyata mertua yang membukakan pintu.

“Istrimu sudah tidur.”

Aku masuk ke kamar. Istriku sudah lelap. Aku bangunkan pelan-pelan. Matanya perlahan terbuka. Bungkusan serabih balan kudekatkan ke wajahnya. Aku terkejut melihat wajah istri. Dia cemberut dan tak berhasrat bangun untuk menikmati serabih balan.

“Ini serabihmu.”

“Tidak. Aku sudah tidak kepingin lagi. Silakan kamu makan bersama ayah dan ibu.”

Betapa soknya diriku. Istriku tidak mau makan serabih yang kudapatkan dengan penuh perjuangan. Bahkan, sekadar bangun, lalu duduk sembari membuka mata untuk melihat serabih saja istriku tidak mau. Aku tidak mereaksinya dengan berlebihan. Aku menanggapinya biasa-biasa saja. Orang yang mengidam ya, demikian itu. Aku mengingat kata ibuku waktu kakak perempuanku mengidam anak pertamanya.

Tiga bungkus serabih balan kuletakkan di meja. Siapa tahu kedua orang tuaku ingin memakannya malam itu. Setidaknya, pagi  hari menjelang mereka berangkaat ke sawah, serabih itu dimakan untuk mengganjal perut.

Istriku masih terlelap. Aku terpaksa membangunkannya karena waktunya salat subuh. Dia bangun, kemudian menanyakan serabih balan. Untung saja kusisakan satu bungkus buat dia. Tanpa basa-basi istriku memakan serabih balan itu dengan lahap, meski belum sempat ke kamar mandi. (*)

 

Ahmad Zaini merupakan guru di SMKN 1 Lamongan. Beberapa cerpen karyanya beredar di berbagai media dan terbukukan dalam antologi cerpen. Buku Antologi cerpen terbarunya berjudul Bingkai Jendela Tanpa Kaca.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar