Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Senin, 19 Mei 2025

Bakiak Sakti Kiai Badrun, Cerpen Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, Sabtu, 3 Mei 2025

 



Bakiak Sakti Kiai Badrun

Cerpen karya Ahmad Zaini

 

Langgar kecil berdiri damai di tengah kebun. Semua pilar, dinding, dan atapnya terbuat dari bambu. Agar lebih teduh, atapnya dilapisi anyaman ilalang. Masyarakat sekitar semula tidak tahu siapa yang mendirikan langgar tersebut. Mereka juga tidak tahu kalau bangunan itu adalah langgar sebagai tempat salat. Mereka mengira itu gubuk, tempat Kiai Badrun istirahat saat menjaga tanamannya dari serangan binatang liar.

Kebun Kiai Badrun ini jauh dari kampung. Orang lain jarang menginjakkan kaki di tempat itu. Jika berjalan kaki, Kiai Badrun membutuhkan waktu satu jam untuk bisa sampai di kebun. Dia harus melewati pematang sawah yang tidak rata, jalan setapak yang dipenuhi semak belukar, serta tanah berbukit. Kalau tidak ada hal penting, percuma orang-orang datang ke tempat itu.

Kebun itu satu-satunya peninggalan orang tua Kiai Badrun. Setiap hari dia berkebun dengan menanam jagung, singkong, talas, dan jenis ubi-ubian lainnya. Kiai Badrun menjadikan hasil tanaman itu sebagai makanan pokok sehari-hari. Dia tidak bisa menanam padi karena berada di dataran tinggi.

Setiap sore Kiai Badrun baru pulang dari kebun. Dia memikul batang singkong yang dibagian pangkal bergelantungan buahnya yang besar-besar dan panjang. Sesampai di rumah Kiai Badrun memisahkan singkong dari batang. Dia momotong-motong kemudian mengupas kulitnya dengan telaten. Setelah kulitnya dikupas dan dibersihkan, Kiai Badrun merebus singkong itu selama satu jam. Setelah matang, dia memakannya dengan lalapan daun singkong.

Seumur hidup, Kiai Badrun belum pernah menikah. Bukannya dia tidak laku. Beberapa kali warga di kampung itu menemui Kiai Badrun. Mereka bermaksud menjadikannya sebagai menantu. Entah apa alasanya, Kiai Badrun selalu menolak tawaran itu. Kiai Badrun lebih memilih hidup sendiri daripada beristri.

Semenjak dia memutuskan pulang dari pesantren Kiai Salam, Kiai Badrun langsung ditokohkan oleh masyarakat kampung. Dia sosok mumpuni yang mampu menguasai berbagai bidang ilmu agama. Dia ahli ibadah dan fasih membaca Alquran. Dia juga mampu mengatasi berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat seperti mengobati orang sakit, kesurupan, dan problem kehidupan lainnya. Dia juga memiliki keistimewaan yang menjadi buah bibir di masyarakat. Misalnya, Kiai Badrun bisa berada di tempat berbeda dalam waktu yang hampir bersamaan.

 Ah, mana mungkin zaman gini masih ada orang sakti. Itu dulu seperti di film-film,” ujar Komsin yang tidak percaya dengan keistimewaan yang dimiliki oleh Kiai Badrun.

Keraguan Komsin terbantah saat dia ditunjukkan foto oleh salah satu warga yang baru pulang dari umroh. Dia memperlihatkan fotonya bersama Kiai Badrun di tanah suci. Orang tersebut sampai-sampai berani bersumpah bahwa dia bertemu dengan Kiai Badrun dan sempat saling menyapa dan mengobrol di sana.

Tidak masuk akal tapi itu nyata. Kiai Badrun setiap hari di kebun menanam dan memanen singkong. Dia tidak pernah ke tanah suci. Warga kampung juga mengetahui bahwa Kiai Badrun setiap hari berada di rumah. Kalau tidak di rumah kampung, pasti berada di gubuk kebunnya.

Komsin tidak percaya begitu saja. Diam-diam dia mendatangi Kiai Badrun di gubuk. Dia mengorek keterangan tentang kebenaran kabar yang sedang santer dibicarakan oleh masyarakat.

”Benarkah kabar itu, Yai?” selidik Komsin.

Kiai Badrun menggeleng-gelengkan kepala. Dia tidak pernah mengalami seperti yang menjadi buah bibir masyarakat.

Manusia yang diberi keistimewaan oleh Allah, memang tidak tahu dan tidak sadar dengan kelebihan yang dimilikinya. Nabi Ibrahim tidak menyangka tubuhnya tidak mempan oleh api. Nabi musa juga demikian. Dia tidak mengira bahwa tongkat yang dimilikinya bisa membelah lautan. Masih banyak contoh manusia pilihan Allah yang tidak sadar dengan keistimewaan yang dimilikinya. Kiai Badrun juga demikian. Sampai kapan pun Kiai Badrun tidak akan mengiyakan bila ada orang yang bertanya tentang kabar itu.

Kiai Badrun tidak memedulikan pembicaraan orang-orang. Dia tetap pada pendiriannya sebagai hamba Allah yang mendapat tugas sebagai kholifah di muka bumi serta beribadah kepada-Nya. Kiai Badrun ingin menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain dengan menolong orang yang membutuhkan tenaga dan pikirannya. Dia tidak berkoar-koar untuk menyombongkan keistimewaan yang ada pada dirinya seperti yang dibahas orang-orang. Kalau ada orang datang meminta doa untuk berbagai keperluan, dia doakan. Masalah diterima Allah atau tidak itu bukan haknya. Yang penting dia telah mendoakannya.

Suatu ketika menjelang salat Idul Fitri pengeras suara di masjid mati. Para pengurus masjid panik. Mereka mencari penyebab pengeras yang mati secara tiba-tiba. Mereka mengecek satu persatu komponen yang biasanya menjadi biang kerok pengeras suara tidak berfungsi. Namun, usaha mereka sia-sia. Tak satu pun dari mereka yang dapat menemukan komponen yang rusak.

Warga mulai berbondong-bondong ke masjid. Mereka meluber sampai membentuk shof di luar bangunan masjid. Bahkan, ada yang kebagian barisan di jalan kampung.

”Mereka tidak akan mendengarkan suara imam dan khotib apabila pengeras suara belum berfungsi,” kata ketua takmir.

”Lantas bagaimana?” tanya salah satu jamaah yang biasanya membenahi pengeras suara bila ada kerusakan.

”Kamu yang lebih tahu,” ujar ketua takmir.

”Tidak ada kerusakan. Semua komponen baik-baik saja. Tapi, tidak bisa berbunyi,” kata orang tersebut.

”Pinjam ke penyewaan pengeras suara. Begini saja tidak becus,” kata ketua.

”Bukannya tidak becus. Sejak maghrib sampai ini tadi, pengeras suara tidak ada masalah. Orang-orang menggunakannya untuk takbiran semalam suntuk. Ini kejadian yang spontan yang tidak bisa diantisipasi. Kalau menyewa pengeras suara tidak mungkin karena jamaah sudah kumpul semua,” bantahnya.

”Kalau begitu kita mulai salat Id tanpa pengeras suara.”

”Lantas mereka yang berada di luar bagaimana? Mereka tidak akan mendengar suara imam dan khotib.”

”Biar mereka mengikuti suara dan gerakan imam melalui makmum-makmum di depannya,” kata ketua takmir memberi solusi.

Saat mereka berdebat tentang pengeras suara yang tidak berfungsi, Kiai Badrun tiba-tiba muncul. Dia menyodorkan bakiak kepada ketua takmir.

”Silakan lempar bakiak ini ke atas atap genting masjid.” pinta Kiai Badrun.

”Buat apa?”

”Pokoknya lempar,” tandasnya.

”Kalau gentingnya pecah bagaimana, Kiai?” tanya ketua takmir penasaran.

”Tidak akan pecah. Silakan dilempar ke atas genting.”

”Baik, Kiai.”

Ketua takmir memberikan bakiak Kiai Badrun kepada Ipur-orang yang biasanya memperbaiki pengeras suara masjid- untuk melemparkannya ke atas genting. Lelaki berperawakan gempal itu mundur. Ia mengambil ancang-ancang agar lemparannya bisa maksimal. Setelah dirasa cukup, bakiak Kiai Badrun dilempar ke genting dan berhenti tepat di sebelah pengeras suara yang tidak berungsi.

”Mari kita mulai salat Id karena waktunya telah tiba,” perintah Kiai Badrun sambil melihat ke arah matahari yang muncul.

Kiai Badrun yang didapuk menjadi imam salat Idul Fitri bergegas menuju ke depan. Dia berjalan tanpa terbebani masalah pengeras suara yang mati. Kiai Badrun berdiri menghadap ke makmum untuk mengingatkan ulang tata cara salat Idul Fitri. Hal ini biasa dilakukan imam karena ini salat sunnah tahunan. Kemungkinan jamaah ada yang lupa.

Ratusan jamaah salat Id tertegun. Mereka kaget dan hampir tidak percaya ketika suara Kiai Badrun terdengar lantang, keras, dan jelas. Bahkan menurut jamaah, suara Kiai Badrun lebih jernih daripada suara pengeras suara biasanya. Suara Kiai Badrun juga terdengar sampai ke telinga jamaah yang berada di luar masjid.

Saat salat, lantunan suara takbir dan bacaan fatihah serta ayat Alquran menggema. Suara Kiai Badrun terdengar sampai di sudut-sudut kampung. Para makmum salat Id tertunduk khusuk menikmati alunan ayat Alquran yang menyentuh hati dari imam. Mereka larut ke dalam ayat-ayat Alquran yang dibaca Kiai Badrun dengan suara merdu.

Kenikmatan pelaksanaan salat Id tidak berhenti sampai di situ. Ketika khotib ke mimbar dan membacakan khutbah, pun demikian. Suaranya menggelegar dan enak didengar. Para jamaah salat Id mengikutinya dengan khusuk hingga selesai.

Para jamaah salat Id dan pengurus takmir masjid bingung. Mereka membicarakan pengeras suara yang tiba-tiba bebunyi lebih enak daripada biasanya. Mereka tak menyangka suaranya menjadi sejernih itu.

Orang-orang yang berkerumun di serambi masjid lebih bingung lagi ketika melihat Kiai Badrun pulang dengan mengenakan sepasang bakiaknya. Padahal, bakiak sebelah kanan tadi dilempar Ipur ke atas genting masjid. Kapan dan siapa yang mengambilkan bakiak tersebut? Orang-orang bingung dan tidak menemukan jawabannya.

Orang-orang baru sadar ternyata suara imam dan khotib salat Id yang keras dan jernih tadi bukan berasal dari pengeras suara masjid, melainkan dari bakiak sakti Kiai Badrun. Hal ini dibenarkan oleh Ipur lantaran saat ini juga, pengeras suara masjid kembali bisu.

Sejak itulah warga kampung bisa menyaksikan langsung karomah atau keistimewaan yang diberikan Allah kepada Kiai Badrun. Kiai karismatik yang hidup dalam kesederhanaan dan jauh dari kegemerlapan duniawi. Dia tidak pernah bersentuhan dengan barang-barang syubhat apalagi menikmatinya. Hidup Kiai Badrun hanya digunakan untuk beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala dan bermanfaat bagi manusia lain. (*)

Lamongan, 25 April 2025

 

Ahmad Zaini merupakan guru SMKN 1 Lamongan dan ketua Lesbumi PCNU Babat. Beberapa karya sastranya-cerpen dan puisi-tersebar di berbagai media cetak dan online. Saat ini tinggal di Wanar, Pucuk, Lamongan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar