Bakiak Sakti Kiai
Badrun
Cerpen karya
Ahmad Zaini
Langgar kecil berdiri damai di tengah kebun. Semua pilar, dinding, dan
atapnya terbuat dari bambu. Agar lebih teduh, atapnya dilapisi anyaman ilalang.
Masyarakat sekitar semula tidak tahu siapa yang mendirikan langgar tersebut.
Mereka juga tidak tahu kalau bangunan itu adalah langgar sebagai tempat salat.
Mereka mengira itu gubuk, tempat Kiai Badrun istirahat saat menjaga tanamannya
dari serangan binatang liar.
Kebun Kiai Badrun ini jauh dari kampung. Orang lain jarang menginjakkan
kaki di tempat itu. Jika berjalan kaki, Kiai Badrun membutuhkan waktu satu jam
untuk bisa sampai di kebun. Dia harus melewati pematang sawah yang tidak rata, jalan
setapak yang dipenuhi semak belukar, serta tanah berbukit. Kalau tidak ada hal
penting, percuma orang-orang datang ke tempat itu.
Kebun itu satu-satunya peninggalan orang tua Kiai Badrun. Setiap hari dia
berkebun dengan menanam jagung, singkong, talas, dan jenis ubi-ubian lainnya.
Kiai Badrun menjadikan hasil tanaman itu sebagai makanan pokok sehari-hari. Dia
tidak bisa menanam padi karena berada di dataran tinggi.
Setiap sore Kiai Badrun baru pulang dari kebun. Dia memikul batang singkong
yang dibagian pangkal bergelantungan buahnya yang besar-besar dan panjang.
Sesampai di rumah Kiai Badrun memisahkan singkong dari batang. Dia
momotong-motong kemudian mengupas kulitnya dengan telaten. Setelah kulitnya
dikupas dan dibersihkan, Kiai Badrun merebus singkong itu selama satu jam.
Setelah matang, dia memakannya dengan lalapan daun singkong.
Seumur hidup, Kiai Badrun belum pernah menikah. Bukannya dia tidak laku.
Beberapa kali warga di kampung itu menemui Kiai Badrun. Mereka bermaksud
menjadikannya sebagai menantu. Entah apa alasanya, Kiai Badrun selalu menolak
tawaran itu. Kiai Badrun lebih memilih hidup sendiri daripada beristri.
Semenjak dia memutuskan pulang dari pesantren Kiai Salam, Kiai Badrun
langsung ditokohkan oleh masyarakat kampung. Dia sosok mumpuni yang mampu
menguasai berbagai bidang ilmu agama. Dia ahli ibadah dan fasih membaca
Alquran. Dia juga mampu mengatasi berbagai masalah yang dihadapi oleh
masyarakat seperti mengobati orang sakit, kesurupan, dan problem kehidupan
lainnya. Dia juga memiliki keistimewaan yang menjadi buah bibir di masyarakat.
Misalnya, Kiai Badrun bisa berada di tempat berbeda dalam waktu yang hampir
bersamaan.
”Ah, mana mungkin zaman gini
masih ada orang sakti. Itu dulu seperti di film-film,” ujar Komsin yang tidak
percaya dengan keistimewaan yang dimiliki oleh Kiai Badrun.
Keraguan Komsin terbantah saat dia ditunjukkan foto oleh salah satu warga
yang baru pulang dari umroh. Dia memperlihatkan fotonya bersama Kiai Badrun di
tanah suci. Orang tersebut sampai-sampai berani bersumpah bahwa dia bertemu
dengan Kiai Badrun dan sempat saling menyapa dan mengobrol di sana.
Tidak masuk akal tapi itu nyata. Kiai Badrun setiap hari di kebun menanam
dan memanen singkong. Dia tidak pernah ke tanah suci. Warga kampung juga
mengetahui bahwa Kiai Badrun setiap hari berada di rumah. Kalau tidak di rumah
kampung, pasti berada di gubuk kebunnya.
Komsin tidak percaya begitu saja. Diam-diam dia mendatangi Kiai Badrun di
gubuk. Dia mengorek keterangan tentang kebenaran kabar yang sedang santer
dibicarakan oleh masyarakat.
”Benarkah kabar itu, Yai?” selidik Komsin.
Kiai Badrun menggeleng-gelengkan kepala. Dia tidak pernah mengalami seperti
yang menjadi buah bibir masyarakat.
Manusia yang diberi keistimewaan oleh Allah, memang tidak tahu dan tidak
sadar dengan kelebihan yang dimilikinya. Nabi Ibrahim tidak menyangka tubuhnya
tidak mempan oleh api. Nabi musa juga demikian. Dia tidak mengira bahwa tongkat
yang dimilikinya bisa membelah lautan. Masih banyak contoh manusia pilihan
Allah yang tidak sadar dengan keistimewaan yang dimilikinya. Kiai Badrun juga
demikian. Sampai kapan pun Kiai Badrun tidak akan mengiyakan bila ada orang
yang bertanya tentang kabar itu.
Kiai Badrun tidak memedulikan pembicaraan orang-orang. Dia tetap pada
pendiriannya sebagai hamba Allah yang mendapat tugas sebagai kholifah di muka
bumi serta beribadah kepada-Nya. Kiai Badrun ingin menjadi manusia yang
bermanfaat bagi orang lain dengan menolong orang yang membutuhkan tenaga dan
pikirannya. Dia tidak berkoar-koar untuk menyombongkan keistimewaan yang ada
pada dirinya seperti yang dibahas orang-orang. Kalau ada orang datang meminta
doa untuk berbagai keperluan, dia doakan. Masalah diterima Allah atau tidak itu
bukan haknya. Yang penting dia telah mendoakannya.
Suatu ketika menjelang salat Idul Fitri pengeras suara di masjid mati. Para
pengurus masjid panik. Mereka mencari penyebab pengeras yang mati secara
tiba-tiba. Mereka mengecek satu persatu komponen yang biasanya menjadi biang
kerok pengeras suara tidak berfungsi. Namun, usaha mereka sia-sia. Tak satu pun
dari mereka yang dapat menemukan komponen yang rusak.
Warga mulai berbondong-bondong ke
masjid. Mereka meluber
sampai membentuk shof di luar bangunan masjid. Bahkan, ada yang kebagian
barisan di jalan kampung.
”Mereka tidak akan mendengarkan suara imam dan khotib apabila pengeras
suara belum berfungsi,” kata ketua takmir.
”Lantas bagaimana?” tanya salah satu jamaah yang biasanya membenahi
pengeras suara bila ada kerusakan.
”Kamu yang lebih tahu,” ujar ketua takmir.
”Tidak ada kerusakan. Semua komponen baik-baik saja. Tapi, tidak bisa
berbunyi,” kata orang tersebut.
”Pinjam ke penyewaan pengeras suara. Begini saja tidak becus,” kata ketua.
”Bukannya tidak becus. Sejak maghrib sampai ini tadi, pengeras suara tidak
ada masalah. Orang-orang menggunakannya untuk takbiran semalam suntuk. Ini
kejadian yang spontan yang tidak bisa diantisipasi. Kalau menyewa pengeras
suara tidak mungkin karena jamaah sudah kumpul semua,” bantahnya.
”Kalau begitu kita mulai salat Id tanpa pengeras suara.”
”Lantas mereka yang berada di luar bagaimana? Mereka tidak akan mendengar
suara imam dan khotib.”
”Biar mereka mengikuti suara dan gerakan imam melalui makmum-makmum di
depannya,” kata ketua takmir memberi solusi.
Saat mereka berdebat tentang pengeras suara yang tidak berfungsi, Kiai
Badrun tiba-tiba muncul. Dia menyodorkan bakiak kepada ketua takmir.
”Silakan lempar bakiak ini ke atas atap genting masjid.” pinta Kiai
Badrun.
”Buat apa?”
”Pokoknya lempar,” tandasnya.
”Kalau gentingnya pecah bagaimana, Kiai?” tanya ketua takmir penasaran.
”Tidak akan pecah. Silakan dilempar ke atas genting.”
”Baik, Kiai.”
Ketua takmir memberikan bakiak Kiai Badrun kepada Ipur-orang yang
biasanya memperbaiki pengeras suara masjid- untuk melemparkannya ke atas
genting. Lelaki berperawakan gempal itu mundur. Ia mengambil ancang-ancang agar
lemparannya bisa maksimal. Setelah dirasa cukup, bakiak Kiai Badrun
dilempar ke genting dan berhenti tepat di sebelah pengeras suara yang tidak
berungsi.
”Mari kita mulai salat Id karena waktunya telah tiba,” perintah Kiai Badrun
sambil melihat ke arah matahari yang muncul.
Kiai Badrun yang didapuk menjadi imam salat Idul Fitri bergegas menuju ke
depan. Dia berjalan tanpa terbebani masalah pengeras suara yang mati. Kiai
Badrun berdiri menghadap ke makmum untuk mengingatkan ulang tata cara salat
Idul Fitri. Hal ini biasa dilakukan imam karena ini salat sunnah tahunan.
Kemungkinan jamaah ada yang lupa.
Ratusan jamaah salat Id tertegun. Mereka kaget dan hampir tidak percaya
ketika suara Kiai Badrun terdengar lantang, keras, dan jelas. Bahkan menurut
jamaah, suara Kiai Badrun lebih jernih daripada suara pengeras suara biasanya.
Suara Kiai Badrun juga terdengar sampai ke telinga jamaah yang berada di luar
masjid.
Saat salat, lantunan suara takbir dan bacaan fatihah serta ayat Alquran
menggema. Suara Kiai Badrun terdengar sampai di sudut-sudut kampung. Para
makmum salat Id tertunduk khusuk menikmati alunan ayat Alquran yang menyentuh
hati dari imam. Mereka larut ke dalam ayat-ayat Alquran yang dibaca Kiai Badrun
dengan suara merdu.
Kenikmatan pelaksanaan salat Id tidak berhenti sampai di situ. Ketika
khotib ke mimbar dan membacakan khutbah, pun demikian. Suaranya menggelegar dan
enak didengar. Para jamaah salat Id mengikutinya dengan khusuk hingga selesai.
Para jamaah salat Id dan pengurus takmir masjid bingung. Mereka membicarakan
pengeras suara yang tiba-tiba bebunyi lebih enak daripada biasanya. Mereka tak
menyangka suaranya menjadi sejernih itu.
Orang-orang yang berkerumun di serambi masjid lebih bingung lagi ketika
melihat Kiai Badrun pulang dengan mengenakan sepasang bakiaknya.
Padahal, bakiak sebelah kanan tadi dilempar Ipur ke atas genting masjid.
Kapan dan siapa yang mengambilkan bakiak tersebut? Orang-orang bingung
dan tidak menemukan jawabannya.
Orang-orang baru sadar ternyata suara imam dan khotib salat Id yang keras
dan jernih tadi bukan berasal dari pengeras suara masjid, melainkan dari bakiak
sakti Kiai Badrun. Hal ini dibenarkan oleh Ipur lantaran saat ini juga,
pengeras suara masjid kembali bisu.
Sejak itulah warga kampung bisa menyaksikan langsung karomah atau
keistimewaan yang diberikan Allah kepada Kiai Badrun. Kiai karismatik yang
hidup dalam kesederhanaan dan jauh dari kegemerlapan duniawi. Dia tidak pernah
bersentuhan dengan barang-barang syubhat apalagi menikmatinya. Hidup
Kiai Badrun hanya digunakan untuk beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala dan
bermanfaat bagi manusia lain. (*)
Lamongan, 25 April 2025
Ahmad Zaini merupakan guru SMKN 1 Lamongan dan ketua
Lesbumi PCNU Babat. Beberapa karya sastranya-cerpen dan puisi-tersebar di
berbagai media cetak dan online. Saat ini tinggal di Wanar, Pucuk,
Lamongan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar