https://www.nu.or.id/cerpen/ayah-dan-keteladanannya-fVVIG
Ayah dan Keteladanannya
Cerpen
karya Ahmad Zaini
Tubuh
kurus ayah terkulai di ranjang medis. Beberapa selang infus berjuntai untuk
menyuplai obat dan nutrisi ke dalam tubuh. Pada jam-jam tertentu, datang
perawat. Dia bertanya tentang perkembangan kesehatan ayah. Perawat itu pun
memberikan suntikan obat. Mulut kering ayah menyeringai menahan sakit. Air mata
cekung menerawang kosong ke langit-langit ruang peerawatan. Ayah cemas. Hal itu
terlihat tatapan kosong dari kornea mata yang tak putih sempurna.
“Mbah,
lekas sembuh, ya!” kata perawat sambil mengemasi peralatan medis ke dalam
sebuah kotak yang diletakkan di samping tubuh ayah.
“Terima
kasih,” sahut ayah dengan suara lirih.
Aku
tertegun berdiri menatap tubuh kurus ayah yang terkulai di ranjang. Bahu yang
dulu kekar, kini tinggal tulang yang terbalut kulit. Tangan kurus itu tak mampu
dibuat menyangga tubuhnya sekadar ingin berbaring. Aku sigap menyangga tubuh
ayah lalu membaringkannya pelan-pelan.
Ini
merupakan hari kelima ayah dirawat di rumah sakit. Ayah terdeteksi mengidap
paru-paru. Sebelum aku bawa ke rumah sakit, ayah sudah beberapa minggu
merasakan sesak napas dan batuk yang tiada henti. Menurut cerita adik-adikku
yang tinggal serumah dengan ayah, selama itu pula ayah tidak pernah tidur. Raut
wajah ayah memucat. Matanya memerah. Tulang-tulang pipinya semakin menonjol.
Sebagai
anak sulung, aku tak tega melihat kondisi ayah sedemikian itu. Aku membujuk
agar ayah mau berobat ke rumah sakit. Namun, ayah selalu menolak.
“Kenapa?”
tanyaku. Ayah diam. Dia tidak menjawab pertanyaanku. Ia Kembali berbaring di dipan berkasur kusam.
Berbagai
cara telah kutempuh untuk membujuknya. Tapi ayah bersikukuh menolaknya. Alasan
biaya? Kurasa tidak. Aku sejak awal berniat akan membiayai pengobatan ayah. Aku
bertanya lagi kepada ayah. Dia tetap menggeleng-gelengkan kepala. Aku bertanya,
bertanya, dan bertanya lagi. Lambat laun tembok kokoh yang merahasikan alasan
ayah tidak bersedia berobat ke rumah sakit akhirnya runtuh juga.
“Aku
tidak mau merepotkan kalian,” jawabnya.
Seperti
itulah ayah sejak dulu. Dia tidak mau merepotkan anak-anaknya. Padahal, sedikit
pun aku merasa tidak terbebani. Dia juga tidak mau merepotkan tetangga yang
apabila mendengar tetangga lain sakit langsung berbondong-bondong menjenguknya.
Tradisi
anjangsana, berlisaturrahmai di desa seperti menjenguk orang sakit sudah
mandarah daging. Ayah termasuk orang yang mejaga dan turut melestarikan tradisi
itu. Semua kelurga baik yang tinggal satu desa maupun lain desa pernah dikunjunginya.
Aku masih ingat betul ketika diajak ayah bersilaturrahmi ke rumah pakde. Rumah
pakde berjarak sekitar tiga kilometer dari tempat tinggalnya. Jarak tidak
menjadi pengalang ayah bersilaturrahmi. Ayah berjalan kaki sambil menggendongku
di punggung.
“Ayah,
capek,” kataku kala itu.
“Sini
naik ke punggug,” pintanya.
Aku
segera melompat ke punggung ayah dan merasakan betapa kuat niat dan tenaga ayah
untuk bersilaturrahmi. Dia mampu berjalan sambil menggendongku di belakang menyusuri
jalan becek dan berlumpur.
“Aku
tidak pernah merasa ayah merepotkanku. Aku siap dan ikhlas menjaga ayah di
rumah sakit sampai sembuh,” kataku.
Ayah
bergeming. Dia sedikit pun tak menunjukkan kesediaan berobat ke rumah sakit.
Dia memilih dirawat di rumah dengan obat-obatan yang dibeli di warung
kelontong. Padahal, obat tanpa resep dokter itu juga berbahaya. Bisa salah obat
dan menyebabkan sakit semakin parah.
“Aku
tidak enak sama tetangga,” jawabnya dengan jujur.
Nah,
rupanya ini yang menjadi penyebab kenapa ayah tidak mau berobat ke rumah sakit.
Dia malu menjadi beban tetangga yang menjenguknya ke rumah sakit.
“Ayah
sering menjenguk famili atau tetangga yang sakit, kan? Ayah selalu datang
dengan membawa oleh-oleh. Bahkan, kalau tidak ada barang bawaan saat menjenguk,
ayah ke pasar dulu membeli pisang atau pepaya. Apakah waktu itu ayah
terbebani?”
“Tidak.
Aku tidak terbebani sama sekali karena itu kewajiban kita sebagai manusia,
sebagai tetangga.”
“Nah,
para tetangga juga demikian. Mereka ingin berbuat baik kepada ayah. Kalau
ayah menolak karena merasa membebani mereka, berarti ayah menghalang-halangi
orang berbuat baik. Yang perlu ayah pikirkan saat ini adalah kesembuhan dan kesehatan
ayah. Tentang tetangga kita pikir belakangan. Bagaimana? Kita berangkat untuk
berobat ke rumah sakit?”
“Kalau
begitu, terserah kalian. Aku pasrah,” kata ayah yang membuat aku dan adik-adik
tersenyum lega.
***
Penjaga
rumah sakit menghampiri kami yang baru turun dari mobil sambil mendorong kursi
roda. Tubuh ayah yang kurus kupapah bersama adik lalu kududukkan pelan-pelan di
kursi roda. Kami berjalan menyusuri Lorong rumah sakit menuju tempat
pendaftaran pasien. Setelah semua data pasien kuberikan kepada petugas, kami
diarahkan ke ruang pemeriksaan.
Tubuh
ayah yang ringkih kubopong seorang diri lalu kurebahkan di ranjang pemeriksaan.
Seorang dokter memeriksa kondisi ayah dengan teliti. Tubuh kurus telentang di
ranjang itu terguncang-guncang karena batuk. Dokter mengangkat stetoskopnya
dari dada ayah agar bisa batuk tanpa penghalang. Dokter mengulangi pengecekan kesehatan
ayah dengan lebih teliti.
“Perwakilan
keluarga silakan ikut ke ruang saya,” kata dokter.
“Baik,
Dok,” sahutku sambil berjalan mengikuti dokter.
Raut
dokter tampak cemas. Dia seperti terbebani mengeluarkan kata-kata kepadaku.
Dalam benakku, ini pasti ada hubungannya dengan penyakit yang diderita ayah.
“Bapak
ini punya hubungan apa dengan pasien?”
“Anak
kandung, Dok,” jawabku tegas.
“Dari
hasil pemeriksaan, ayah Bapak mengidap TBC yang menyerang di paru-paru. Pasien
harus menjalani rawat inap beberapa hari ke depan,” kata dokter.
“Baik,
Dok. Kami sekeluarga siap mengikuti arahan dokter demi kesembuhan ayah.”
Aku
segera keluar dari ruangan untuk menyampaikan pesan dokter kepada adik-adikku
yang menunggu ayah di ruang observasi. Adik-adikku bisa menerima arahan dokter
yang baru kusampaikan. Mereka menyadari bahwa arahan dokter itu pasti yang
terbaik buat kesembuahan ayah.
“Ruang
rawat inap sudah siap. Mari kami bantu memindah pasien ruangan,” kata dua
perawat yang muncul dari balik kelambu ruang observasi.
Aku
melihat tubuh ayah yang tergolek lemas di atas brangkar yang didorong
dua perawat. Wajahnya pucat dan sayu. Sedangkan di tangan kirinya bergelantung
selang infus untuk menyuplai cairan melalui pembuluh darah.
Ayah
terdiam. Dia lemas hingga enggan berkata-kata. Dia pasrah kepada anak-anaknya
yang terpaksa membawanya ke rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan yang
maksimal. Guncangan brangkar melewati Lorong-lorong ruang rumah sakit
tak dihiraukannya. Tak ada suara mengaduh atau mengeluh saat roda brangkar
melindas kerikil atau lantai yang tidak rata. Air mata ayah tiba-tiba menetes.
Aku mendekat dan membisikinya.
“Ayah,
jangan menangis. Banyak berdoa memohon kesembuhan pada Allah. Anak-anakmu
Ikhlas menjagamu selama dalam perawatan di rumah sakit ini,” bisikku.
Ayahku
orang kuat. Kuat dalam pendirian, perjuangan dan pengabdian. Kuat menata
pendidikan anak-anaknya. Aku teringat saat akan berhenti sekolah setelah lulus SMP.
Aku menyadari ketika itu ekonomi keluarga benar-benar sulit. Aku pamit
kepadanya meminta izin bekerja untuk membantu ekonomi keluarga. Namun, orang
tuaku kukuh pendirian. Dia tetap memaksaku untuk melanjutkan sekolah ke jenjang
SMA. Ayah siap peras keringat banting tulang demi membiayai sekolahku.
Para
tetangga dan anggota masyarakat juga mengakui bahwa ayah merupakan tokoh
penting. Kiprah beliau tidak diragukan lagi. Meskipun hanya lulusan sekolah
rakyat, beliau punya jiwa pengabdian tinggi di masyarakat.
“Sebaik-baik
manusia adalah manusia yang berguna buat manusia lainnya,” tutur ayah.
Kini
ayah masih tergolek lemas. Guratan di keningnya menjadi bukti bahwa beliau
sering berpikir dan berbuat untuk kemaslahan umum. Otot-otot yang mulai timbul
di lengannya menandakan ayah juga pekerja keras untuk menghidupi keluarga.
Selain itu, ayah juga terkenal sebagai dermawan. Punya jiwa sosial yang tinggi.
“Ayah,
semoga lekas sembuh. Masyarakat masih sangat mengharapkan tenaga dan pikiranmu.
Ayah, anak-anakmu merindukan senyum dan nasihat-nasihatmu. Cepat sehat, ayah,”
bisikku di telinga ayah.
Ayah
tersenyum. Perlahan dia membuka kedua matanya. Bola matanya berputar mengamati
sekeliling. Dia menatap wajahku dan wajah adik-adikku. Ayah mengangkat kepala
kemudian duduk. Kedua tangannya tiba-tiba merangkul kami sembari membisikkan
ucapan terima kasih. Ayah juga berpesan agar kami selalu rukun dengan saudara
dan siapa pun. Satu lagi yang diapesankan agar kami selalu menjadi manusia yang
bermanfaat bagi manusia lainnya.
Lamongan,
19 Maret 2025
Ahmad
Zaini, ketua
Lesbumi PCNU Babat dan guru SMKN 1 Lamongan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar