Gara-Gara Lubang
Cerpen karya Ahmad Zaini
Kampung ini sedang tidak baik-baik saja. Penduduknya banyak, namun kurang sejahtera. Setiap hari mereka bekerja di ladang. Menanam segala tanaman yang bisa dimanfaatkan buahnya buat bertahan hidup. Beberapa tahun terakhir ini hasil panen mereka menurun. Para petinggi kampung terkesan menutup mata. Mereka belum pernah memberi solusi untuk mengatasi permasalahan ini. Terkesan kepala kampung dan perangkatnya tidak pernah memerhatikan mereka. Terutama kepala kampung. Kasak-kusuk banyak warga yang menduga semua itu gegara lubang.
Warga kampung mendadak geger. Mereka tiba-tiba berdebat tentang lubang. Ada kelompok yang mengatakan lubang itu penting. Ada pula yang berpendapat lubang berbahaya. Sisanya abstain alias tidak mempermasalahkan lubang.
Setiap hari dari pagi sampai sore, di rumah atau di tempat keramaian, bahkan di tempat ibadah mereka berdebat tentang lubang. Sebegitu kuatnya daya tarik lubang buat mereka sampai-sampai mendebatkannya tanpa memedulikan waktu dan tempat.
“Andai tubuh kita tidak ada lubang, kita akan mati,” kata perempuan bertubuh gembrot sambil setengah berdiri dengan bertumpu pada lutut.
“Namun banyak pula orang mati karena lubang,” sanggah lelaki kurus dengan rambut tak terurus.
“Selain kita bisa hidup, lubang juga bermanfaat buat manusia. Tanpa lubang, kita seperti di penjara,” sambung perempuan gembrot.
“Faktanya banyak orang dipenjara juga karena lubang,” respon lelaki kurus mementahkan setiap pendapat si perempuan.
Tiba-tiba perempuan gembrot berdiri. Dia berjalan terhuyung-huyung mendekati lelaki kurus. Serta merta perempuan itu menghempaskan tubuhnya menindih lelaki kurus. Lelaki itu meronta meminta tolong warga lainnya. Dia hampir mati lantaran sulit bernapas. Lubang hidung, mulut, dan lubang lainnya hampir tersumbat tubuh besar perempuan itu. Untung saja para warga sigap. Mereka beramai-ramai mengangkat tubuh perempuan yang menindih lelaki kurus berambut tak terurus.
“Ini sebagai bukti bahwa lubang itu sangat penting. Tanpa lubang, pasti tidak ada kehidupan. Semua manusia akan mati tanpa lubang,” suara lantang perempuan gembrot dengan jumawa.
“Aku hampir mati, juga karena tertindih lubang,” kata si lelaki dengan napas terengah-engah.
“Apa katamu?” perempuan itu berdiri dan hendak menindih lelaki kurus itu lagi.
Lelaki ini berdiri lantas berlari menjauh untuk mencari tempat yang aman. Dia menyusup ke tengah kerumunan warga lainnya.
Dari kejauhan terdengat gemuruh suara orang-orang berdemontrasi. Mereka bergerak akan menunju balai kampung. Mereka menuntut permasalahan lubang. Peserta demo ini mayoritas korban lubang.
“Tutup lubang, tutup lubang, tutup lubang!” teriak mereka sambil membentang spanduk bertuliskan Komunitas Korban Lubang.
Para pendemo antilubang ini rata-rata pernah celaka gegara lubang. Ada yang kepalanya miring, tangan patah, kaki pengkar, tulang hidung remuk, bahkan sampai ada yang tulang ekor retak hampir lumpuh.
Semua pendemo menganggap lubanglah biang keladi semua itu hingga menjadi cacat. Mereka sepakat, lubang segera dilenyapkan dari kampung ini.
Perempuan gembrot spontan berdiri. Dengan suara menggelegar, dia membantah kata-kata para pendemo.
“Kalian jangan menyalahkan lubang. Kalian lahir ini juga karena lubang. Kalian mati juga butuh lubang,” kata perempuan gembrot itu dengan lantang.
“Pokoknya hari ini lubang-lubang itu harus ditutup. Karena lubang, negara kita punya hutang banyak. Karena lubang juga, dana kampung kita semrawut. Gara-gara lubang di jalan juga, banyak kecelakaan. Banyak korban yang mati.
“O, itu yang kalian maksud. Benar juga,” perempuan itu baru memahami maksud para pendemo.
“Huuuu,” warga sekampung dan para pendemo menyoraki perempuan gembrot.
“Sekarang aku ikut gabung kalian. Ayo, bersama-sama menggeruduk balai kampung. Mari kita tutup lubang-lubang di sana agar hidup kita aman dan sejahtera,” ajak perempuan tersebut.
Permasalahan demi permasalahan banyak bersumber dari lubang. Lubang itu menyamar. Banyak orang terkelabui lubang. Banyak juga orang terjebak lubang. Pengakuan mereka yang pernah menjadi korban lubang, katanya lubang itu kelihatan datar. Tidak ada tanda gundukan atau semacamnya. Apalagi jika lubang itu tertutup air. Terlihat halus dan mulus. Mereka tidak menyangka kalau mereka akan celaka. Makanya orang-orang itu tidak pernah menyadari bahwa mereka akan terperosok dalam lubang. Mereka pasti sial atau celaka. Mereka akan benar-benar sadar saat sudah masuk dalam lubang. Mereka terjungkal, terjebak, dan tercabut harga diri bahkan nyawanya.
“Barang siapa menggali lubang, maka dia akan terperosok ke dalamnya,” kata lelaki kurus menirukan peribahasa.
“Tutup lubang, tutup lubang, tutup lubang,” teriak para pendemo yang berduyun-duyun menuju halaman balai kampun.
Sekarang seluruh warga berkumpul di halaman balai kampung. Mereka menyampaikan aspirasi dan menuntut kepala kampung agar menutup lubang.
“Di kampung ini banyak lubang menganga. Makanya kehidupan warganya tidak aman dan sengsara. Kami menuntut lubang-lubang di semua lini kampung ini segera ditutup agar kami bisa hidup aman, nyaman, dan sejahtera,” salah satu pendemo menyampaikan orasinya.
“Betul sekali. Anggaran kampung berlubang. Dana banyak yang masuk lubang. Mari kita tutup lubang agar tidak terjadi kebocoran lagi,” sambung perempuan gembrot.
“Hidup kita masih berlubang. Belum sempurna. Jauh dari kata sejahtera. Mulai hari ini, lubang-lubang itu harus kita tutup agar kita bisa hidup aman,” sambung si lelaki kurus.
“Jalan berlubang berbahaya. Apalagi lubang berjalan, malah sangat berbahaya,” celetuk salah satu pendemo.
“Betul. Betul sekali. Ibu-ibu menjadi korbannya. Suaminya banyak yang tidak pulang karena lubang berjalan,” sahut pendemo lainnya yang paham dengan istilah itu.
Suasana semakin panas karena kepala kampung tidak segera muncul menemui mereka. Si gembrot berdiri, lalu merangsek, mendorong para hansip yang membentuk pagar betis mengamankan kepala desa. Mereka merasa diabaikan oleh kepala kampung. Merasa pendapatnya tidak dihargai.
“Jangan-jangan…, kepala kampung bersembunyi dalam lubang di ruang kerjanya?” lelaki kurus curiga.
“Benar juga,” sahut salah satu pendemo.
Karena hampir setengah hari kepala kampung tidak segera keluar, para pendemo tidak sabar. Mereka serempak memaksa masuk ke ruang kerja kepala kampung. Pendemo dan hansip saling dorong hingga pagar betis yang mereka bentuk berlubang. Para pendemo menerobos lubang-lubang itu, kemudian masuk ke ruang kerja kepala desa.
Mereka bengong lantaran tidak menemukan kepala kampung di ruangan. Mata mereka menjelajah di setiap titik ruang. Mereka belum juga melihat batang hidung kepala kampung. Perempuan gembrot beraksi. Tangan berototnya mengangkat meja kerja kepala kampung. Dia yakin dan seyakin-yakinnya, kepala kampung pasti bersembunyi di bawah meja kerjanya.
Perempuan gembrot, lelaki kurus, dan para pendemo yang ikut masuk ke ruang kerja kepala kampung terkejut. Mata mereka terbelalak. Mereka menemukan lubang di bawah meja kerja kepala kampung. Lubang yang sangat dalam. Lubang berdiameter seukuran tubuh manusia. Lubang itu gelap. Tidak tahu apa atau siapa yang ada di dalamnya. Tidak tahu lubang itu memiliki terusan atau tidak.
Mereka menerka-nerka kegunaan lubang ini. Apakah berfungsi sebagai bunker, tempat kepala kampung menyelamatkan diri dari serangan rudal para warganya? Atau jalur rahasia kepala kampung pulang ke rumah istri mudanya? Jangan-jangan, lubang ini digunakan oleh kepala kampung menyimpan penghasilan yang tidak halal? Atau berfungsi sebagai lumbung pangan yang disiapkan buat warga sebagai antisipasi bila terjadi bencana kelaparan? Semua itu hanya usaha menebak-nebak para pendemo mengenai lubang yang mereka temukan ini.
Ternyata. oh, tenyata! Lubang di bawah meja kerja kepala kampung itu multifungsi. Ada beberapa cabang lorong dalam lubang. Lorong pertama digunakan sebagai penadah kebocoran anggaran kampung. Lorong kedua sebagai terusan kepala kampung melarikan diri dari kejaran warga dan KPK. Lorong yang terakhir, sebagai tempat persiapan bunuh diri apabila kejahatannya terkuak oleh aparat penegak hukum.
Warga kampung baru mengerti sebab-musabab infrastruktur di kampung ini tertinggal dari kampung lainnya. Jalan-jalan berlubang. Irigasi persawahan mangkrak serta proyek-proyek lain banyak yang terbengkalai. Ternyata gara-gara lubang.
Warga kampung yang berdemo itu lantas keluar ruang kerja kepala kampung. Mereka mengambil pasir dan pedel. Mereka bahu-membahu membereskan persoalan yang melilit kehidupan warga kampung. Mereka menutup semua lubang dan lorong-lorong yang ada di dalamnya. Para warga tidak mau hidupnya menderita gegara lubang itu.
Setelah melampiaskan kekesalannya dengan menutup lubang dan lorong-lorong tersebut, para pendemo kembali ke rumah masing-masing. Mereka yakin hidup mereka akan sejahtera seperti yang mereka dambakan selama ini. Mereka akan hidup damai dan rukun bersama keluarga dan warga lainnya. (*)
Wanar, 18 Juli 2025
Ahmad Zaini merupakan sastrawan asal Lamongan. Beberapa karyanya baik puisi dan cerpen telah beredar di berbagai media cetak dan online.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar