Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Sabtu, 15 November 2025

Cerpen Gerilyawan Kampung Embongmiring, Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, Sabtu, 15 November 2025

 


Gerilyawan Kampung Embongmiring

Cerpen karya Ahmad Zaini

Kedamaian kampung Embongmiring tiba-tiba terusik lagi. Ratusan selebaran berserakan di jalan-jalan dan gang rumah warga. Banyak pula yang tersangkut di genting rumah dan di dahan-dahan pohon. Rupanya selebaran itu disebar dari pesawat yang melintas tadi. Selebaran itu berisi pesan warga kampung Embongmiring harap segera mengungsi. Siang sekitar pukul empat belas akan ada konvoi kompeni datang ke kampung ini. Menurut informasi yang tertulis dalam selebaran, mereka sedang mencari Mitro.

Mitro merupakan gerilyawan yang tinggal di kampung Embongmiring. Namun, beberapa hari ini dia bersama lima orang temannya tidak kelihatan di kampung. Pengakuan keluarganya, Mitro dan kawan-kawan bergabung dengan gerilyawan dari daerah lain. Kasak-kusuk dari seberang, di pinggir jalan kampung seberang ditemukan mayat kompeni. Antek kompeni yang juga orang pribumi melapor kepada komandan kompeni, Mitrolah pembunuhnya. Maka dari itu, komandan kompeni mengerahkan bala tentaranya akan datang ke kampung Embongmiring guna menangkap Mitro.

Warga kampung Embongmiring panik. Mereka tidak ingin menjadi bulan-bulanan tendangan sepatu tentara kompeni. Bisa-bisa kepala mereka juga terkena poporan senjata mereka. Wanita dan anak-anak terutama. Mereka harus segera diselamatkan. Segera mencari pengungsian yang aman.

Mitro pendekar kampung Embongmiring. Dia sangat disegani para kompeni dan antek-anteknya. Beberapa bulan lalu, pemuda kampung dibawah komando Mitro, mampu menghalau iring-iringan tentara Londo (istilah orang kampung menyebut Belanda) yang akan mengobok-obok kampung halamannya. Dengan gagah perkasa, semangat berjuang para pemuda kampung Embongmiring mampu mengusir gerombolan kompeni. Setelah kejadian itu, para tentara kompeni tidak berani memasuki kawasan Embongmiring.

Warga kampung selalu dihantui rasa was-was. Mereka selalu ketakutan jika ada pesawat melintas di atas kampung mereka. Para warga takut pesawat tersebut menjatuhkan bom di tengah kampung. Mereka takut menjadi korban. Pasukan udara Londo itu berjaga-jaga dan mengawasi pergerakan para gerilyawan dari atas udara.

Di tengah hutan kampung, penduduk setempat menyebutnya tegalan, para warga mengungsi. Para lelaki tua, wanita, dan anak-anak bahu-membahu mendirikan tenda di bawah pepohonan rindang. Mereka akan aman mengungsi di situ lantaran tempat tersebut sulit dilihat dari udara dan sulit ditempuh dengan kendaraan truk.

Mitro dan kawan-kawan mengetahui rencana kompeni datang ke kampungnya. Mereka bergegas kembali ke kampung guna memastikan keberadaan keluarga dan warga lainnya. Sesampai di kampung, mereka melihat suasananya sepi. Para warga sudah mengungsi. Salah satu warga yang kebetulan kembali ke rumah untuk mengambil bekal yang tertinggal memberi kabar kepada Mitro dan kawan-kawan bahwa warga kampung telah mengungsi di tegalan.

“Kompeni akan datang kemari menangkap kalian,” kata lelaki itu memberi tahu Mitro.

“Iya. Kami sudah tahu. Segeralah kembali ke pengungsian. Jaga mereka,” pesan Mitro.

“Baik. Saya kembali ke sana,” pungkas lelaki tersebut lalu berjalan cepat menuju tegalan.

Mitro dan kawan-kawan berunding di sebuah rumah yang ditinggal penghuninya. Mereka mengatur strategi untuk menyelematkan diri dan menyelamatkan seluruh isi kampung. Mumpung masih ada waktu, mereka berdiskusi panjang bangaimana cara menghalau para pengisap darah rakyat.

“Kita tidak mungkin melawan mereka berlima. Kita butuh teman lainnya,” usul Darso.

“Sudah. Teman-teman dari daerah lain sudah saya kondisikan. Mereka akan menjebak dan menyerang para kompeni dari balik embong,” sahut Mitro.

“Sip. Mari kita beraksi.”

Kelima gerilyawan kampung ini lantas beraksi sesuai pembagian tugas. Ada yang membuat benteng dari tumpukan karung pasir. Ada yang juga yang memasang ranjau alami dari bambu runcing. Ada pula yang membuat perangkap jaring dari atas pohon besar di ladang Pak Komari. Satu orang yang bernyali tinggi sebagai pemancing. Dialah nanti yang menggiring para kompeni menuju ke arah jebakan yang telah disiapkan. Tak lupa para gerilyawan ini mempersenjatai diri dengan senjata tajam, bambu runcing, dan ketapel beserta batu-batu kecil sebagai amunisi.

Lima pemuda kampung Embongmiring sudah tidak sabar lagi. Tangan-tangan mereka sudah gatal ingin segera menghabisi para penindas. Mereka bertekad menjaga marwah dan harga diri negeri. Tidak ingin kedaulatan negeri ini diobok-obok oleh orang asing, oleh para penjajah. Kampung Embongmiring akan dijadikan kuburan massal bagi anjing-anjing yang memangsa tulang anak negeri.

“Kita salat zuhur dulu secara bergantian. Yang lain berjaga-jaga jangan sampai mereka mengelabui kita dengan datang lebih awal dari waktu yang tertera di selebaran,” kata Mitro.

“Siap. Silakan kalian salat dulu. Biar saya dan Kasimo berjaga di sana ” sanggup Darso.

Mitro dan dua gerilyawan melaksanakan salat zuhur berjamaah. Mereka menggelar sarung dan jarik warga yang ditinggal di rumah itu sebagai sajadah. Sementara Darso dan Paimin menuju benteng pasir untuk mengawasi situasi di kampung.

Para gerilyawan kampung Embongmiring ini sangat taat beribadah. Meskipun siuasi sedang genting, mereka tetap melaksanakan salat lima waktu. Mereka sadar bahwa keselamatan dan kemenangan datang dari Allah. Tanpa campur tangan Allah, manusia tidak akan bisa berbuat apa-apa.

“Darso, giliran kalian salat. Biar kami ke situ,” teriak Mitro memberi aba-aba kepada Darso dan Paimin.

Matahari terik di atas kampung tak membuat mereka mengeluh kepanasan. Tekadnya menghabisi para kompeni semakin membara. Para gerilyawan kampung ini tidak mau berlama-lama hidup dalam cengkeraman penjajah. Mitro dan kawan-kawan ingin membabat kuku dan taring mereka. Ingin melihat mereka bertekuk lutut bahkan mati tertembus ujung bambu dan amunisi ketapelnya.

Dari kejauhan terlihat dua truk tentara kompeni. Mereka dikawal pengkhianat pribumi yang menjadi anjing piaraan Londo. Bising suara truk semakin memekak telinga. Mereka berhenti di ambang gerbang masuk kampung Embongmiring. Mata-mata kompeni beraksi. Bola matanya berputar mengamati seluruh isi kampung.

“Sepi. Tidak orang,” lapor pengkhianat bangsa kepada komandan kompeni.

“Kalian turun semua. Kita periksa semua rumah. Mitro pasti bersembunyi di sini. Tangkap dia hidup-hidup,” perintah komandan yang bertubuh tinggi besar dan bercambang lebat ini.

Derap kaki tentara kompeni menyisakan debu. Kepulnya seperti cawan yang biasa mereka pegang untuk menuangkan minum-minuman keras. Sepatu bot para penjajah mendobrak pintu rumah warga. Rumah-rumah kosong semua. Mereka tidak menemukan satu pun penghuninya. Orang yang mereka cari belum juga ditemukan.

“Lapor, Mitro tidak ada. Rumah kosong semua,”

“Kalian goblok. Bakar rumah-rumah itu biar orang bernama Mitro mampus terbakar. Cepat!” teriak komandan kompeni menyuruh pasukannya membakar rumah penduduk.

Puluhan tentara menjinjing jerigen berisi bensin. Mereka menyiram dinding bambu rumah penduduk. Ketika mereka hendak menyulutkan api, salah satu dari mereka tiba-tiba menjerit kesakitan. Dia terkapar karena kepalanya tertembus amunisi ketapel.

“Itu orangya,” kata seorang kompeni sambil menunjuk ke arah sosok lelaki yang berlari ke area yang telah dipasang jebakan. Sontak para tentara kompeni mengejarnya ke area itu.

Para tentara kompeni tidak menyadari kalau mereka telah memasuki kawasan yang berbahaya. Area tersebut telah dipasang berbagai jenis perangkap. Satu persatu dari mereka berjatuhan. Ada yang ususnya terburai keluar setelah tertusuk bambu runcing yang tiba-tiba meluncur sendiri ke arah perutnya. Ada pula yang kepalanya tertembus batu ketapel. Ada pula yang tersangkut jaring lalu terkerek ke atas pohon hingga bergelantungan seperti sarang lebah. Mitro dan kawan-kawan terus bergerak dengan berlari ke arah yang telah dipasang jebakan lain. Puluhan tentara kompeni mampus karena kecerdikan siasat yang dibuat para gerilyawan.

Sadar tentaranya habis, komandan kompeni yang bediri di samping truk mencari bantuan. Dia mengontak tentara kompeni lain di markasnya. Tak berselang lama, iring-iringan truk pengangkut tentara kompeni mendekat kampung Embongmiring.

Para gerilyawan tak tinggal diam. Mereka pun beraksi. Setelah iring-iringan truk itu benar-benar masuk di kampung Embongmiring, ratusan gerilyawan dari daerah lain mengurungnya dari segala penjuru.

“Serbu...!!!” suara aba-aba lantang memecah langit yang mulai menjingga.

Para gerilyawan dari arah luar dan dalam kampung Embongmiring bermunculan. Mereka menyerang dan membunuh para tentara kompeni. Kampung Embongmiring banjir darah. Mayat-mayat tentara Londo bergelimpangan. Termasuk komandannya. Tubuh tinggi besar dan bercambang lebat itu mati berdiri sambil bersandar di moncong truk lantaran kepalanya tertembus anak panah gerilyawan.

Truk-truk dan senjata perang mereka telah dikuasai para gerilyawan Embongmiring. Mereka membabat habis para penjajah. Tak satu pun dari mereka yang tersisa hidup. Kampung Embongmiring menjadi kuburan massal bagi penjajah. Mereka tinggal jasad berlumur darah yang tak bernyawa. Mereka mampus di tangan para gerilyawan yang telah lama haus kemerdekaan. Mereka yang menginginkan hidup tanpa paksaan dan siksaan para penjajah.

“Mitro...!!! Kita menang. Kita merdeka,” teriak salah satu orang dari arah tegalan tempat para warga mengungsi.

Ratusan penduduk kampung Embongmiring berduyun-duyun kembali ke rumah mereka. Para warga mengelu-elukan nama Mitro dan kawan-kawan. Karena perjuangan Mitro dan para gerilyawan lain, kampung mereka terbebas dan intimidasi dan kesemena-menaan penjajah. Mereka kini hidup merdeka. Mereka bebas beraktivitas. Mereka kembali berkumpul bersama keluarga untuk menyulam kehidupan yang bebas dari cengkraman penjajah. (*)

Lamongan, 3 Agustus 2025

Ahmad Zaini, guru SMKN 1 Lamongan. Dia tinggal di Wanar, Pucuk, Lamongan.


https://radarbojonegoro.jawapos.com/lembar-budaya/716833515/lembar-budaya-gerilyawan-kampung-embongmiring


Tidak ada komentar:

Posting Komentar