Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Minggu, 02 November 2025

Cerpen Percakapan Siang di Kantin Sekolah, Sabtu, 6 September 2025

 


Percakapan Siang di Kantin Sekolah

Cerpen karya Ahmad Zaini

 Deretan kantin di pujasera sekolah tak seramai hari-hari sebelumnya. Tidak terlihat para murid berjubel lantaran mengantre ingin terlebih dahulu membeli nasi atau gorengan lain. Hanya beberapa murid yang kebetulan ingin  membeli es atau sekadar mengobrol bersama temannya. 

Beberapa kipas angin di atas kerangka atap kantin sekolah terdiam. Baling-balingnya membisu. Tak ada suara berisik akibat putarannya. Rupanya kipas angin kantin bersedih. Turut merasakan kesedihan para penyewa kantin sejak diberlakukan program makan gratis di sekolah ini. Sukimin dan Tarmijan misalnya. Kedua orang ini sekarang banyak santainya. Padahal, sebelum-sebelumnya mereka sosok yang sangat sibuk melayani para murid yang membeli nasi atau gorengan. Namun, mereka sekarang sering duduk-duduk di depan kantin sambil mengobrol ke sana kemari.

“Memang rezeki itu misteri. Tidak ada yang bisa memastikan kapan, di mana, dan berapa yang kita dapatkan,” kata Sukimin.

“Min, Min. Kamu ini sedang tausiyah, keluhan, atau protes adanya program makan gratis ini?” goda Tarmijan.

“Tidak. Aku tidak mengeluh. Itu sudah program pemerintah. Tujuannya baik agar orang tua murid tidak terbebani makan biaya makan siang anak-anaknya di sekolah,” jawab Sukimin.

“Yang jujur! Pendapatanmu tiap hari berkurang, to! Setiap pulang kamu membawa nasi bungkus yang tidak laku, to? Kamu dan aku sama. Penghasilan kita menurun. Terjun bebas,” sambung Tarmijan.

“Iya. Tapi bagaimana lagi. Kita ini orang kecil. Hanya penyewa kantin di sini. Hanya pasrah menerima nasib. Tidak bisa berbuat apa-apa selain mengeluh.”

Nah, semua penyewa kantin di sini mengalami hal yang sama,” pungkas Tarmijan.

Usaha mereka sangat terdampak oleh program makan gratis. Penghailan mereka turun drastis. Mereka yang selalu dibantu oleh istri masing-masing dalam mengelola kantin, kini memutar otak mencari cara bagaimana agar kantinnya ramai seperti sebelumnya. Para penyewa kantin berdiskusi. Mereka saling mendengar dan menyampaikan uneg-unegnya. Mereka beradu gagasan tentang cara meramaikan kantin.

Memang serba salah. Pernah terbesit dalam pikiran Tukimin dan Tarmijan untuk menambah kualitas menu yang mereka jual. Akan menambah bumbu dan penyedap lainnya. Tapi, mereka sadar jika menambah kulitas menu, tentu perlu tambahan  modal. Mereka juga ragu. Setelah menu mereka semakin enak dan gurih apakah murid-murid langganannya akan kembali membeli nasi dan jajan ke kantin mereka. Toh, di depan sudah disediakan nasi yang dapat dinikmati dengan cuma-cuma.

Tarmijan mendekat ke telinga Sukimin. Ada rencana yang dibisikkan ke telinga lelaki yang sebaya dengannya itu.

“Jangan, Jan! Bahaya. Jangan sampai kaulakukan. Jika sampai terjadi, kita semua yang akan dituduh sebagai pelakunya,” larang Sukimin.

“Lantas dengan cara apalagi agar dagangan kita laku?”

“Sabar menjalaninya dulu. Kalau kita sabar, pasti Allah akan memberi jalan keluar,” saran Sukimin.

“Iya, kamu bisa sabar. Anak-anakmu sudah bekerja. Tapi, aku? Anak-anakku masih sekolah, bahkan kuliah. Mereka tiap hari, tiap bulan membutuhkan uang. Mereka butuh biaya hidup dan pendidikan,” kata Tarmijan.

“Bagaimana lagi. Kita ini orang kecil. Rakyat jelata. Tidak mungkin bisa menolak program pemerintah. Meskipun sebenarnya aku juga tidak setuju, kita jalani saja,” kata Sukimin dengan nada yang berat sekali.

Kedua orang terdiam sambil sambil membayangkan nasib usahanya. Matanya menerawang jauh ke depan. Lebih-lebih Tarmijan. Dia tidak sekadar mengalami penurunan hasil berjualan nasi dikantin sekolah, akan tetapi juga memikirkan nasib anak-anaknya yang belum tuntas belajar di bangku sekolah.

Jam menunjukkan pukul sepuluh siang. Sebentar lagi ribuan ompreng nasi gratis akan datang. Sukimin dan Tarmijan bersiap-siap membantu menurunkan ompreng nasi dari mobil pengirim. Hari ini jadwal mereka membantu pendistribusian nasi tersebut ke murid-murid. Walaupun berat hati, mereka tetap melaksanakan tugas tersebut. Mereka tidak bisa mungkir lantaran mereka juga mencari hidup di sekolah. Mereka harus tetap tunduk dan patuh pada perintah.

Dada Tarmijan berdegub kencang saat iring-iringan mobil box masuk ke area sekolah. Napasnya terasa sesak. Dalam benaknya berkata, inilah program yang menyumbat penghasilannya. Dada Tarmijan semakin bergemuruh ketika ratusan murid datang bergelombang mengambil jatah nasi gratis. Sejenak Tarmijan terpaku. Dia menoleh ke kantin lalu menoleh ke area pembagian nasi gratis. Di tempat ini sangat ramai, sedangkan di area kantin sepi.

Krompyang, terdengar suara ompreng makan berbahan stenlis jatuh. Suaranya menyerupai serpihan hati Tarmijan yang mengeras lantaran dia sangat menentang program ini.

 

“Kenapa kaujatuhkan ompreng nasi ini?” tegur lelaki berkaos warna silver kepada Tarmijan. Rupa lelaki itu penanggung jawab program di wilayah sekolah ini.

“Aku tidak sengaja,” jawab singkat Tarmijan.

Sukimin yang sejak tadi sudah mengkhawatirkan kejadian ini, berlari-lari kecil mendekati Tarmijan. Posisi tangan Tarmijan yang masih seperti memondong ompreng nasi, diseret Sukimin menjauh dari tempat itu. Sukimin mendudukkan Tarmijan di kursi panjang di depan kantin mereka.

“Kenapa kamu nekat melakukannya?”

“Biar mereka rugi dan tidak meneruskan program ini. Program makanan gratis ini hanya menguntungkan orang-orang kaya dan mencekik yang miskin. Aku tetap akan menghentikan program ini biar kantin-kantin kita ramai lagi. Biar dagangan kita laku semua,” jawab Tarmijan.

“Konyol. Kelakuanmu ini bodoh. Mereka tidak mungkin rugi hanya gara-gara lima ompreng nasi kamu jatuhkan. Andai semua ompreng tempat akan kaubuang ke laut sekalipun, mereka akan membeli lagi lebih banyak. Usaha dan barang-barang mereka itu sudah diasuransikan,” kata Sukimin menjelaskan ulah Tarmijan yang konyol itu.

Darah Tarmijan mendidih. Keringat dan peluhnya menguap. Matanya memerah. Gigi kuningnya menyeringai seperti singa. Tarmijan berdiri hendak mengobrak-abrik tumpukan ompreng nasi gratis.

“Kamu akan ke mana? Ke situ lagi? Ngamuk lagi? Silakan! Tapi kalau kau terkena masalah, jangan cari atau sebut namaku. Kamu akan terjerat pasal pengrusakan inventaris pemerintah. Kamu juga akan dijerat pasal makar karena menghalang-halangi program pemerintah.”

Tarmijan diam. Dia berdiri seperti patung. Api amarah yang sempat menyala-nyala, perlahan padam setelah mendengar risiko yang bakal dihadapinya. Dia lantas duduk kembali sambil menepuk-nepuk dadanya. Dia putus asa lantaran belum menemukan jalan keluar dari permasalahan yang dihadapinya.

Dua lelaki yang mulai menua ini mendesah panjang. Mereka melepas dan memasrahkan beban ini kepada Allah. Mereka hanya rakyat kecil yang hanya bisa mengeluh tanpa ada yang menampung keluhannya. Tanpa ada perantara keluh kesahnya kepada pejabat yang punya kebijakan.

“Gusti Allah Mahakaya. Jangan takut melarat. Yang penting sebagai hamba tetap berusaha. Rezeki diatur Allah,” kata Sukimin menenangkan hati Tarmijan.

“Betul sekali. Kita sudah diberi oleh-Nya kesempatan berusaha di kantin ini. Gusti Allah sudah banyak memberikan nikmat yang tak terhitung jumlahnya,” kata Tarmijan.

“Pak, air dan es batunya habis,” suara istri Tarmijan dari dalam kantin. Tarmijan menengok ke arah kantin. Dia melihat beberapa murid sedang mengantre membeli es. Tarmijan lantas bediri. Dia bergegas pergi untuk belanja es batu dan air galon.

Sukimin melihat urat-urat wajah Tarmijan yang mulai mengendor. Tidak tegang dan merah menyala seperti sebelumnya. Sukimin senang karena Tarmijan mulai sadar dan memahami posisi. Dia mulai mengerti statusnya sebagai hamba Allah penjual nasi, gorengan, dan es di kantin sekolah. Dia bukan pembuat kebijakan yang sewaktu-waktu bisa mengubah atau membuat keputusan.

Suasana kantin menjadi tenang lagi. Dua lelaki setengah tua beraktivitas dengan berbagi tugas bersama istrinya. Tarmijan dan Sukimin bagian mengangkat beban yang berat-berat, sedangkan para istrinya mengerjakan yang ringan-ringan di dalam stand kantin.

Hiruk-pikuk para murid mengembalikan ompreng atau wadah menu makanan gratis kepada petugas piket. Para petugas  menerima dan menghitung ompreng dengan teliti. Jumlah yang akan dikembalikan kepada pengelola, harus sesuai dengan jumlah yang diterimanya. Apabila kurang, maka pihak sekolah harus mengganti sesuai dengan harganya.

Saat itulah Sukimin dan Termijan terlihat kedewasaannya. Dia ikhlas menerima kondisi yang ada. Meskipun hati belum sepenuhnya puas, mereka tetap berjalan melenggang sambil memanggul air galon dan beberapa es batu melintasi tumpukan ratusan ompreng di sebelahnya. Hatinya tetap dingin. Senyumnya pun mulai tampak saat terjadi saling lihat dengan petugas.

Dalam benak Sukimin, Tarmijan, para pelaku usaha kantin di sekolah berharap semoga ada kebiajakan baru dari pemerintah. Program makan bergizi gratis ini dikelola oleh sekolah masing-masing lalu diserahkan kepada pihak kantin sekolah.

Waktu semakin siang. Para murid mulai masuk kelas melanjutkan pembelajaran. Kantin kembali lengang. Sukimin, Tarmijan dan pengelola kantin lainnya mengemasi dagangan yang tersisa. Mereka membawa pulang sisa dagangan bisa dinikmati anak, cucu, para kerabat, dan tetangga. Waktunya mereka beristirahat setelah berjualan di kantin hampir seharian. Mereka ingin berebahan di rumah sambil menikmati anugerah Allah yang telah diberikan kepadanya.(*)

Wanar, 28 Agustus 2025

Tidak ada komentar:

Posting Komentar