Percakapan Siang di Kantin Sekolah
Cerpen karya Ahmad Zaini
Beberapa kipas angin di atas kerangka
atap kantin sekolah terdiam. Baling-balingnya membisu. Tak ada suara berisik
akibat putarannya. Rupanya kipas angin kantin bersedih. Turut merasakan
kesedihan para penyewa kantin sejak diberlakukan program makan gratis di
sekolah ini. Sukimin dan Tarmijan misalnya. Kedua orang ini sekarang banyak
santainya. Padahal, sebelum-sebelumnya mereka sosok yang sangat sibuk melayani
para murid yang membeli nasi atau gorengan. Namun, mereka sekarang sering
duduk-duduk di depan kantin sambil mengobrol ke sana kemari.
“Memang rezeki itu misteri. Tidak ada
yang bisa memastikan kapan, di mana, dan berapa yang kita dapatkan,” kata
Sukimin.
“Min, Min. Kamu ini sedang tausiyah,
keluhan, atau protes adanya program makan gratis ini?” goda Tarmijan.
“Tidak. Aku tidak mengeluh. Itu sudah
program pemerintah. Tujuannya baik agar orang tua murid tidak terbebani makan
biaya makan siang anak-anaknya di sekolah,” jawab Sukimin.
“Yang jujur! Pendapatanmu tiap hari
berkurang, to! Setiap pulang kamu
membawa nasi bungkus yang tidak laku, to?
Kamu dan aku sama. Penghasilan kita menurun. Terjun bebas,” sambung Tarmijan.
“Iya. Tapi bagaimana lagi. Kita ini
orang kecil. Hanya penyewa kantin di sini. Hanya pasrah menerima nasib. Tidak
bisa berbuat apa-apa selain mengeluh.”
“Nah,
semua penyewa kantin di sini mengalami hal yang sama,” pungkas Tarmijan.
Usaha mereka sangat terdampak oleh
program makan gratis. Penghailan mereka turun drastis. Mereka yang selalu
dibantu oleh istri masing-masing dalam mengelola kantin, kini memutar otak
mencari cara bagaimana agar kantinnya ramai seperti sebelumnya. Para penyewa
kantin berdiskusi. Mereka saling mendengar dan menyampaikan uneg-unegnya. Mereka beradu gagasan
tentang cara meramaikan kantin.
Memang serba salah. Pernah terbesit
dalam pikiran Tukimin dan Tarmijan untuk menambah kualitas menu yang mereka
jual. Akan menambah bumbu dan penyedap lainnya. Tapi, mereka sadar jika
menambah kulitas menu, tentu perlu tambahan
modal. Mereka juga ragu. Setelah menu mereka semakin enak dan gurih
apakah murid-murid langganannya akan kembali membeli nasi dan jajan ke kantin
mereka. Toh, di depan sudah
disediakan nasi yang dapat dinikmati dengan cuma-cuma.
Tarmijan mendekat ke telinga Sukimin.
Ada rencana yang dibisikkan ke telinga lelaki yang sebaya dengannya itu.
“Jangan, Jan! Bahaya. Jangan sampai
kaulakukan. Jika sampai terjadi, kita semua yang akan dituduh sebagai
pelakunya,” larang Sukimin.
“Lantas dengan cara apalagi agar
dagangan kita laku?”
“Sabar menjalaninya dulu. Kalau kita
sabar, pasti Allah akan memberi jalan keluar,” saran Sukimin.
“Iya, kamu bisa sabar. Anak-anakmu
sudah bekerja. Tapi, aku? Anak-anakku masih sekolah, bahkan kuliah. Mereka tiap
hari, tiap bulan membutuhkan uang. Mereka butuh biaya hidup dan pendidikan,”
kata Tarmijan.
“Bagaimana lagi. Kita ini orang
kecil. Rakyat jelata. Tidak mungkin bisa menolak program pemerintah. Meskipun
sebenarnya aku juga tidak setuju, kita jalani saja,” kata Sukimin dengan nada
yang berat sekali.
Kedua orang terdiam sambil sambil
membayangkan nasib usahanya. Matanya menerawang jauh ke depan. Lebih-lebih
Tarmijan. Dia tidak sekadar mengalami penurunan hasil berjualan nasi dikantin
sekolah, akan tetapi juga memikirkan nasib anak-anaknya yang belum tuntas
belajar di bangku sekolah.
Jam menunjukkan pukul sepuluh siang.
Sebentar lagi ribuan ompreng nasi
gratis akan datang. Sukimin dan Tarmijan bersiap-siap membantu menurunkan ompreng nasi dari mobil pengirim. Hari
ini jadwal mereka membantu pendistribusian nasi tersebut ke murid-murid.
Walaupun berat hati, mereka tetap melaksanakan tugas tersebut. Mereka tidak
bisa mungkir lantaran mereka juga mencari hidup di sekolah. Mereka harus tetap
tunduk dan patuh pada perintah.
Dada Tarmijan berdegub kencang saat
iring-iringan mobil box masuk ke area sekolah. Napasnya terasa sesak. Dalam
benaknya berkata, inilah program yang menyumbat penghasilannya. Dada Tarmijan
semakin bergemuruh ketika ratusan murid datang bergelombang mengambil jatah
nasi gratis. Sejenak Tarmijan terpaku. Dia menoleh ke kantin lalu menoleh ke
area pembagian nasi gratis. Di tempat ini sangat ramai, sedangkan di area
kantin sepi.
Krompyang,
terdengar suara ompreng
makan berbahan stenlis jatuh.
Suaranya menyerupai serpihan hati Tarmijan yang mengeras lantaran dia sangat
menentang program ini.
“Kenapa kaujatuhkan ompreng nasi ini?” tegur lelaki berkaos
warna silver kepada Tarmijan. Rupa lelaki itu penanggung jawab program di
wilayah sekolah ini.
“Aku tidak sengaja,” jawab singkat
Tarmijan.
Sukimin yang sejak tadi sudah
mengkhawatirkan kejadian ini, berlari-lari kecil mendekati Tarmijan. Posisi
tangan Tarmijan yang masih seperti memondong ompreng nasi, diseret Sukimin menjauh dari tempat itu. Sukimin
mendudukkan Tarmijan di kursi panjang di depan kantin mereka.
“Kenapa kamu nekat melakukannya?”
“Biar mereka rugi dan tidak
meneruskan program ini. Program makanan gratis ini hanya menguntungkan
orang-orang kaya dan mencekik yang miskin. Aku tetap akan menghentikan program
ini biar kantin-kantin kita ramai lagi. Biar dagangan kita laku semua,” jawab
Tarmijan.
“Konyol. Kelakuanmu ini bodoh. Mereka
tidak mungkin rugi hanya gara-gara lima ompreng nasi kamu jatuhkan. Andai semua
ompreng tempat akan kaubuang ke laut sekalipun, mereka akan membeli lagi lebih
banyak. Usaha dan barang-barang mereka itu sudah diasuransikan,” kata Sukimin
menjelaskan ulah Tarmijan yang konyol itu.
Darah Tarmijan mendidih. Keringat dan
peluhnya menguap. Matanya memerah. Gigi kuningnya menyeringai seperti singa.
Tarmijan berdiri hendak mengobrak-abrik tumpukan ompreng nasi gratis.
“Kamu akan ke mana? Ke situ lagi? Ngamuk lagi? Silakan! Tapi kalau kau
terkena masalah, jangan cari atau sebut namaku. Kamu akan terjerat pasal
pengrusakan inventaris pemerintah. Kamu juga akan dijerat pasal makar karena
menghalang-halangi program pemerintah.”
Tarmijan diam. Dia berdiri seperti
patung. Api amarah yang sempat menyala-nyala, perlahan padam setelah mendengar
risiko yang bakal dihadapinya. Dia lantas duduk kembali sambil menepuk-nepuk
dadanya. Dia putus asa lantaran belum menemukan jalan keluar dari permasalahan
yang dihadapinya.
Dua lelaki yang mulai menua ini
mendesah panjang. Mereka melepas dan memasrahkan beban ini kepada Allah. Mereka
hanya rakyat kecil yang hanya bisa mengeluh tanpa ada yang menampung
keluhannya. Tanpa ada perantara keluh kesahnya kepada pejabat yang punya kebijakan.
“Gusti Allah Mahakaya. Jangan takut
melarat. Yang penting sebagai hamba tetap berusaha. Rezeki diatur Allah,” kata
Sukimin menenangkan hati Tarmijan.
“Betul sekali. Kita sudah diberi
oleh-Nya kesempatan berusaha di kantin ini. Gusti Allah sudah banyak memberikan
nikmat yang tak terhitung jumlahnya,” kata Tarmijan.
“Pak, air dan es batunya habis,”
suara istri Tarmijan dari dalam kantin. Tarmijan menengok ke arah kantin. Dia
melihat beberapa murid sedang mengantre membeli es. Tarmijan lantas bediri. Dia
bergegas pergi untuk belanja es batu dan air galon.
Sukimin melihat urat-urat wajah
Tarmijan yang mulai mengendor. Tidak tegang dan merah menyala seperti
sebelumnya. Sukimin senang karena Tarmijan mulai sadar dan memahami posisi. Dia
mulai mengerti statusnya sebagai hamba Allah penjual nasi, gorengan, dan es di
kantin sekolah. Dia bukan pembuat kebijakan yang sewaktu-waktu bisa mengubah
atau membuat keputusan.
Suasana kantin menjadi tenang lagi.
Dua lelaki setengah tua beraktivitas dengan berbagi tugas bersama istrinya.
Tarmijan dan Sukimin bagian mengangkat beban yang berat-berat, sedangkan para
istrinya mengerjakan yang ringan-ringan di dalam stand kantin.
Hiruk-pikuk para murid mengembalikan ompreng atau wadah menu makanan gratis
kepada petugas piket. Para petugas
menerima dan menghitung ompreng
dengan teliti. Jumlah yang akan dikembalikan kepada pengelola, harus sesuai
dengan jumlah yang diterimanya. Apabila kurang, maka pihak sekolah harus
mengganti sesuai dengan harganya.
Saat itulah Sukimin dan Termijan
terlihat kedewasaannya. Dia ikhlas menerima kondisi yang ada. Meskipun hati
belum sepenuhnya puas, mereka tetap berjalan melenggang sambil memanggul air
galon dan beberapa es batu melintasi tumpukan ratusan ompreng di sebelahnya. Hatinya tetap dingin. Senyumnya pun mulai
tampak saat terjadi saling lihat dengan petugas.
Dalam benak Sukimin, Tarmijan, para
pelaku usaha kantin di sekolah berharap semoga ada kebiajakan baru dari
pemerintah. Program makan bergizi gratis ini dikelola oleh sekolah
masing-masing lalu diserahkan kepada pihak kantin sekolah.
Waktu semakin siang. Para murid mulai
masuk kelas melanjutkan pembelajaran. Kantin kembali lengang. Sukimin, Tarmijan
dan pengelola kantin lainnya mengemasi dagangan yang tersisa. Mereka membawa
pulang sisa dagangan bisa dinikmati anak, cucu, para kerabat, dan tetangga.
Waktunya mereka beristirahat setelah berjualan di kantin hampir seharian.
Mereka ingin berebahan di rumah sambil menikmati anugerah Allah yang telah
diberikan kepadanya.(*)
Wanar, 28 Agustus 2025

Tidak ada komentar:
Posting Komentar