Telaga
Lanang
Cerpen
karya Ahmad Zaini*
Siang
itu air jernih bekilau memantulkan bayangan sampai tanggul telaga. Bias
cahayanya melekat pada daun pepohonan mangga yang mengitarinya. Rindang dahan
meneduhkan para penduduk yang duduk santai di bawahnya. Lelaki tua becermin di
permukaan telaga. Bayangan wajahnya terlihat kusam, keriput di permukaan air
telaga yang jernih.
Telaga
lanang, penduduk kampung menyebutnya. Konon, telaga yang ada di desa
Wanar sejak zaman penjajah, menjadi markas dari para lelanang atau orang
laki-laki yang sedang berperang melawan para penjajah. Sehingga mereka memberi
nama telaga tersebut dengan telaga lanang. Ada juga yang mengatakan penyematan
nama tersebut dengan alasan karena di tengah telaga terlihat gundukan tanah
yang menyerupai pulau di tengah lautan. Para penduduk menyimpulkan bahwa
gundukan tanah itu adalah kelaminnya yang berarti telaga itu adalah telaga
laki-laki atau telaga lanang.
Puluhan
tahun silam, telaga tersebut banyak memberikan manfaat kepada para penduduk.
Air jernih
yang tidak pernah surut meskipun musim kemarau panjang bisa dijadikan
sebagai sumber kehidupan para penduduk. Airnya dapat digunakan minum, mencuci
pakaian dan mandi. Namun seiring perputaran waktu, kejernihan airnya sudah
mulai berubah. Permukaan airnya sudah agak kehijau-hijauan. Ini tak lepas dari
ulah sebagaian para penduduk yang membuang limbah rumah tangga ke telaga.
“Hai,
jangan membuang kotoran di telaga!” tegur lelaki tua kepada ibu-ibu yang
membuang sampah ke wajah telaga.
Lelaki
tua itu berkeyakinan bahwa telaga lanang itu ada yang mbaurekso atau
penjaganya. Jika ada warga yang membuang sampah atau kotoran ke telaga,
dikhawatirkan penjaganya akan murka.
Namun
demikian, sejak telaga ini ada hingga sekarang belum pernah ada warga yang mati
karena tenggelam di telaga ini walau sekelilingnya tidak dipagari. Anak-anak
dengan asyik bermain di pinggirnya. Mereka bergurau, bermain kejar-kejaran, berkelereng
dan lain-lain. Menurut lelaki tua itu bahwa penjaga telaga lanang ini sangat
sabar dan mau melindungi para penduduk dari ancaman kedalaman telaga yang
mencapai 7 meter.
Pohon-pohon
mangga yang berdaun lebat bergoyang. Angin sore itu mengajaknya berjoget ria.
Mungkin alam berbahagia menyambut kedatangan senja. Lelaki tua yang setiap hari
duduk di pinggir telaga kaget melihat kepulan asap dari tanggul telaga sebelah
utara. Lelaki yang sudah renta menengok ke arah kepulan asap. Ia melihat ada
beberapa warga yang membakar daun-daun pohon mangga yang bertumpuk di pinggir
telaga. Lelaki tua itu semakin kaget karena ia melihat ada batang-batang pohon
mangga yang bergelimpangan. Dia bangkit dari duduknya kemudian menghampiri
empat laki-laki yang sedang memotongi batang pohon mangga.
“Siapa
yang menebang pohon mangga ini?”
“Kami,
Mbah,” jawab empat lelaki secara serempak.
“Siapa
yang menyuruh?”
“Tidak
ada, Mbah. Kami hanya butuh kayunya untuk memasak.”
Si
lelaki tua agak berang saat mendengar jawaban mereka. Ia memberi tahu mereka
bahwa telaga dan pohon mangga ini sudah berdampingan sejak dahulu kala.
Keduanya saling memberikan manfaat. Air yang ada di dalam telaga dapat
dijadikan sebagai sumber kehidupan pohon mangga. Sedangkan rindang pepohonan
mangga yang ada dapat meneduhi telaga dan para penunggunya. Kalau salah satu
pohon mangga ada yang ditebang, lelaki tua itu khawatir penunggu telaga itu
akan murka.
“Mengerti,
kalian?”
“Ah,
itu tahayyul, Mbah. Sekarang ini zaman modern. Tidak ada hal-hal seperti
itu,” sangkal salah satu dari mereka.
Mendengar
sangkalan lelaki yang bertubuh tegap dan berkulit legam itu, lelaki tua menjadi
lebih berang. Ia memarahi keempatnya dengan kata-kata keras perihal apa yang
telah dilakukannya. Dia marah karena mereka tidak percaya dengan apa yang telah
disampaikannya. Lelaki tua itu mengangkat tangan kanannya yang menggenggam
sebatang dahan dan ingin mengayunkannya kepada lelaki yang telah berani
membantah peringatannya. Namun, baru saja akan mengayunkan dahan di
genggamannya, tubuh lelaki itu terhuyung-huyung dan hampir jatuh. Ia kehilangan
keseimbangan. Lelaki penebang pohon mangga itu dengan sigap merangkul tubuh
yang sudah ringkih. Mata lelaki tua melotot tajam pada wajah lelaki yang telah
menolongnya.
“Makanya
hati-hati Mbah!”
Lelaki
tua meronta melepaskan tubuhnya dari dekapan lelaki pencari kayu. Ia kemudian
pergi meninggalkan mereka berempat yang memotongi kemudian membelah
batang-batang pohon mangga serta membakar daun-daunnya yang berserak di pinggir
telaga.
Kepulan
asap tebal membumbung ke angkasa. Warna putihnya telah membungkus jernih air
telaga. Si lelaki tua yang setiap hari berjalan mengelilingi telaga menangis
sesenggukan sambil duduk di sudut telaga. Ia geram dan kecewa kepada empat
laki-laki yang telah menebang dan membakar pohon mangga di tepi telaga. Si
kakek sangat menyesal karena tidak mampu mencegah perbuatan mereka yang
diyakini dapat menyebabkan penghuni telaga lanang murka. Air matanya mengalir
deras di relung-relung keriput pipinya. Sesekali manik-manik air matanya
menetes di permukaan telaga yang dipenuhi asap pembakaran.
“Keterlaluan
mereka!” gerutu lelaki tua.
Saat
lelaki tua duduk menangis di sudut telaga, ia terkejut melihat ada yang ganjil
di telaga ini. Permukaan air telaga lanang yang kehijau-hijauan seperti
bergerak. Si kakek tidak yakin dengan apa yang dilihatnya. Mata lelaki tua yang
masih sembab air mata memperhatikan lagi gerakan-gerakan air telaga dengan
lebih jeli. Ternyata benar air telaga lanang telah bergerak. Riak-riak kecil
yang diperhatikannya semakin lama seperti semakin besar. Bahkan sampah-sampah
yang mengapung di permukaannya terombang-ambing tak tentu arah karena sodokan
riaknya.
“Mbah
Telaga Lanang murka!” teriak lelaki tua sambil berdiri terperanjat dengan
perubahan air telaga yang dilihatnya.
Para
lelaki yang asyik menghimpun dahan, ranting dan batang pohon mangga kaget lalu
melihat ke arah lelaki tua yang seperti kesurupan. Mereka melihat si kakek yang
histeris menunjuk ke arah telaga sambil
berteriak “Mbah Telaga Lanang murka, Mbah Telaga Lanang murka.” Mereka
baru sadar saat mukanya terkena percikan gelombang air telaga.
“Waduh!”
lelaki itu kaget sambil menghindari percikan gelombang air telaga yang akan
mengenai mukanya lagi.
Ombak
air di telaga semakin membesar sampai menimbulkan debur yang menggema. Suaranya
terdengar hingga telinga para penduduk yang tinggal di sekitar telaga. Warga
kampung berduyun-duyun mendatangi telaga ingin mengetahui apa yang sedang
terjadi di tengah telaga.
Mereka
heran melihat telaga yang selama ini bersahabat kini berubah menjadi menakutkan
sekali. Gelombang besar terlihat seperti tangan kekar harimau yang ingin
menerkam mangsanya. Para warga kampung mundur menjauh karena takut terbawa
ombak yang menjulur ke darat.
“Awas,
Mbah Mun!” teriak salah satu warga ketika melihat lelaki tua itu hampir saja
disambar gelombang telaga. Lelaki tua itu tetap menangis histeris di atas
tanggul sudut telaga. Jeritannya berbaur dengan debur ombak yang semakin
menggila.
“Ini
karena kalian!” katanya lantang sambil menangis.
Lelaki
tua berusaha menenangkan diri. Ia berusaha mengendalaikan emosi. Sesuatu telah
telah terjadi di telaga lanang. Kalau dibiarkan dapat membahayakan warga
kampung. Perlahan lelaki tua menghadap kiblat. Tangan kanannya dibeber
kemudian ditutupkan ke telinga kanannya. Lelaki tua itu mengumandangkan adzan.
Alunannya terdengar timbul tenggelam karena beradu dengan suara debur ombak.
Suara parau lelaki tua telah merayap di permukaan telaga hingga sampai di
telinga para warga. Warga kampung mengikuti lelaki tua itu mengumandangkan adzan.
Suara mereka berpadu melafalkan kebesaran, keesaan Allah. Suara ombak
bergemuruh di sela-sela lantuan membuat nyali para warga kampung semakin
menyiut. Mereka merasa seperti semut, makhluk kecil, yang tak berdaya di tengah
hempasan ombak telaga. Air mata para warga kampung berderai membasahi pipi.
Mereka takut setengah mati pada peristiwa yang dilihatnya.
Sambaran
ujung ombak telaga lanang yang menyalak ke daratan sedikit berkurang. Debur
ombak pun mereda. Perlahan-lahan ombak yang membahana mulai tenang. Kini telaga
lanang benar-benar telah diam seperti sebelumnya.
Ada
yang tersisa. Para warga kampung sibuk mencari seseorang yang lenyap dari
pandangan mereka. Lelaki tua yang berdiri di sudut telaga sambil
mengumandangkan adzan kini tidak ada. Entah ke mana ia pergi. Warga kampung
telah mencari di sekeliling telaga namun mereka belum juga menemukan lelaki
renta itu.
“Mbah
Mun! Mbah Mun!” teriak para warga bersama-sama.
Lelaki
yang setiap hari berada di telaga lanang belum juga muncul. Ia benar-benar
lenyap. Tak ada tanda-tanda mengenai keberadaannya Para warga mengira dia telah
hanyut ditelan keganasan ombak telaga lanang.
Lelaki
tua dan telaga lanang telah menyatu. Ia berpadu menjaga keseimbangan agar
telaga lanang bisa memberikan manfaat bagi warga sekitar. Airnya berkilau
diterpa cahaya matahari senja kuning keemasan. Airnya tenang. Tenang sekali.
Lelaki tua dan telaga lanang telah larut dalam lelap. Lelap menjelang malam. Para
warga pun bubar meninggalkan keharuan di telaga lanang. Suasana telaga lanang
kini menjadi sunyi senyap. Hanya terdengar kecipak ikan-ikan kecil bermain
riang di tengah telaga lanag. (*)
Wanar,
13 April 2012
*Ahmad Zaini beralamat di Wanar Pucuk Lamongan. Setiap hari
beraktivitas sebagai pengajar Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA/MA Raudlatul
Muta’allimin Babat serta di SMA Mambaul Ulum Wanar Pucuk Lamongan Jawa Timur.
Cerpen dan puisi-puisinya pernah dimuat di beberapa media cetak. Email: ilazen@yahoo.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar