Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Sabtu, 28 April 2012

Cerpen


Telaga Lanang
Cerpen karya Ahmad Zaini*

Siang itu air jernih bekilau memantulkan bayangan sampai tanggul telaga. Bias cahayanya melekat pada daun pepohonan mangga yang mengitarinya. Rindang dahan meneduhkan para penduduk yang duduk santai di bawahnya. Lelaki tua becermin di permukaan telaga. Bayangan wajahnya terlihat kusam, keriput di permukaan air telaga yang jernih.
Telaga lanang, penduduk kampung menyebutnya. Konon, telaga yang ada di desa Wanar sejak zaman penjajah, menjadi markas dari para lelanang atau orang laki-laki yang sedang berperang melawan para penjajah. Sehingga mereka memberi nama telaga tersebut dengan telaga lanang. Ada juga yang mengatakan penyematan nama tersebut dengan alasan karena di tengah telaga terlihat gundukan tanah yang menyerupai pulau di tengah lautan. Para penduduk menyimpulkan bahwa gundukan tanah itu adalah kelaminnya yang berarti telaga itu adalah telaga laki-laki atau telaga lanang.
Puluhan tahun silam, telaga tersebut banyak memberikan manfaat kepada para penduduk. Air jernih
yang tidak pernah surut meskipun musim kemarau panjang bisa dijadikan sebagai sumber kehidupan para penduduk. Airnya dapat digunakan minum, mencuci pakaian dan mandi. Namun seiring perputaran waktu, kejernihan airnya sudah mulai berubah. Permukaan airnya sudah agak kehijau-hijauan. Ini tak lepas dari ulah sebagaian para penduduk yang membuang limbah rumah tangga ke telaga.
“Hai, jangan membuang kotoran di telaga!” tegur lelaki tua kepada ibu-ibu yang membuang sampah ke wajah telaga.
Lelaki tua itu berkeyakinan bahwa telaga lanang itu ada yang mbaurekso atau penjaganya. Jika ada warga yang membuang sampah atau kotoran ke telaga, dikhawatirkan penjaganya akan murka.
Namun demikian, sejak telaga ini ada hingga sekarang belum pernah ada warga yang mati karena tenggelam di telaga ini walau sekelilingnya tidak dipagari. Anak-anak dengan asyik bermain di pinggirnya. Mereka bergurau, bermain kejar-kejaran, berkelereng dan lain-lain. Menurut lelaki tua itu bahwa penjaga telaga lanang ini sangat sabar dan mau melindungi para penduduk dari ancaman kedalaman telaga yang mencapai 7 meter.
Pohon-pohon mangga yang berdaun lebat bergoyang. Angin sore itu mengajaknya berjoget ria. Mungkin alam berbahagia menyambut kedatangan senja. Lelaki tua yang setiap hari duduk di pinggir telaga kaget melihat kepulan asap dari tanggul telaga sebelah utara. Lelaki yang sudah renta menengok ke arah kepulan asap. Ia melihat ada beberapa warga yang membakar daun-daun pohon mangga yang bertumpuk di pinggir telaga. Lelaki tua itu semakin kaget karena ia melihat ada batang-batang pohon mangga yang bergelimpangan. Dia bangkit dari duduknya kemudian menghampiri empat laki-laki yang sedang memotongi batang pohon mangga.
“Siapa yang menebang pohon mangga ini?”
“Kami, Mbah,” jawab empat lelaki secara serempak.
“Siapa yang menyuruh?”
“Tidak ada, Mbah. Kami hanya butuh kayunya untuk memasak.”
Si lelaki tua agak berang saat mendengar jawaban mereka. Ia memberi tahu mereka bahwa telaga dan pohon mangga ini sudah berdampingan sejak dahulu kala. Keduanya saling memberikan manfaat. Air yang ada di dalam telaga dapat dijadikan sebagai sumber kehidupan pohon mangga. Sedangkan rindang pepohonan mangga yang ada dapat meneduhi telaga dan para penunggunya. Kalau salah satu pohon mangga ada yang ditebang, lelaki tua itu khawatir penunggu telaga itu akan murka.
“Mengerti, kalian?”
“Ah, itu tahayyul, Mbah. Sekarang ini zaman modern. Tidak ada hal-hal seperti itu,” sangkal salah satu dari mereka.
Mendengar sangkalan lelaki yang bertubuh tegap dan berkulit legam itu, lelaki tua menjadi lebih berang. Ia memarahi keempatnya dengan kata-kata keras perihal apa yang telah dilakukannya. Dia marah karena mereka tidak percaya dengan apa yang telah disampaikannya. Lelaki tua itu mengangkat tangan kanannya yang menggenggam sebatang dahan dan ingin mengayunkannya kepada lelaki yang telah berani membantah peringatannya. Namun, baru saja akan mengayunkan dahan di genggamannya, tubuh lelaki itu terhuyung-huyung dan hampir jatuh. Ia kehilangan keseimbangan. Lelaki penebang pohon mangga itu dengan sigap merangkul tubuh yang sudah ringkih. Mata lelaki tua melotot tajam pada wajah lelaki yang telah menolongnya.
“Makanya hati-hati Mbah!”
Lelaki tua meronta melepaskan tubuhnya dari dekapan lelaki pencari kayu. Ia kemudian pergi meninggalkan mereka berempat yang memotongi kemudian membelah batang-batang pohon mangga serta membakar daun-daunnya yang berserak di pinggir telaga.
Kepulan asap tebal membumbung ke angkasa. Warna putihnya telah membungkus jernih air telaga. Si lelaki tua yang setiap hari berjalan mengelilingi telaga menangis sesenggukan sambil duduk di sudut telaga. Ia geram dan kecewa kepada empat laki-laki yang telah menebang dan membakar pohon mangga di tepi telaga. Si kakek sangat menyesal karena tidak mampu mencegah perbuatan mereka yang diyakini dapat menyebabkan penghuni telaga lanang murka. Air matanya mengalir deras di relung-relung keriput pipinya. Sesekali manik-manik air matanya menetes di permukaan telaga yang dipenuhi asap pembakaran.
“Keterlaluan mereka!” gerutu lelaki tua.
Saat lelaki tua duduk menangis di sudut telaga, ia terkejut melihat ada yang ganjil di telaga ini. Permukaan air telaga lanang yang kehijau-hijauan seperti bergerak. Si kakek tidak yakin dengan apa yang dilihatnya. Mata lelaki tua yang masih sembab air mata memperhatikan lagi gerakan-gerakan air telaga dengan lebih jeli. Ternyata benar air telaga lanang telah bergerak. Riak-riak kecil yang diperhatikannya semakin lama seperti semakin besar. Bahkan sampah-sampah yang mengapung di permukaannya terombang-ambing tak tentu arah karena sodokan riaknya.
“Mbah Telaga Lanang murka!” teriak lelaki tua sambil berdiri terperanjat dengan perubahan air telaga yang dilihatnya.
Para lelaki yang asyik menghimpun dahan, ranting dan batang pohon mangga kaget lalu melihat ke arah lelaki tua yang seperti kesurupan. Mereka melihat si kakek yang histeris  menunjuk ke arah telaga sambil berteriak “Mbah Telaga Lanang murka, Mbah Telaga Lanang murka.” Mereka baru sadar saat mukanya terkena percikan gelombang air telaga.
“Waduh!” lelaki itu kaget sambil menghindari percikan gelombang air telaga yang akan mengenai mukanya lagi.
Ombak air di telaga semakin membesar sampai menimbulkan debur yang menggema. Suaranya terdengar hingga telinga para penduduk yang tinggal di sekitar telaga. Warga kampung berduyun-duyun mendatangi telaga ingin mengetahui apa yang sedang terjadi di tengah telaga.
Mereka heran melihat telaga yang selama ini bersahabat kini berubah menjadi menakutkan sekali. Gelombang besar terlihat seperti tangan kekar harimau yang ingin menerkam mangsanya. Para warga kampung mundur menjauh karena takut terbawa ombak yang menjulur ke darat.
“Awas, Mbah Mun!” teriak salah satu warga ketika melihat lelaki tua itu hampir saja disambar gelombang telaga. Lelaki tua itu tetap menangis histeris di atas tanggul sudut telaga. Jeritannya berbaur dengan debur ombak yang semakin menggila.
“Ini karena kalian!” katanya lantang sambil menangis.
Lelaki tua berusaha menenangkan diri. Ia berusaha mengendalaikan emosi. Sesuatu telah telah terjadi di telaga lanang. Kalau dibiarkan dapat membahayakan warga kampung. Perlahan lelaki tua menghadap kiblat. Tangan kanannya dibeber kemudian ditutupkan ke telinga kanannya. Lelaki tua itu mengumandangkan adzan. Alunannya terdengar timbul tenggelam karena beradu dengan suara debur ombak. Suara parau lelaki tua telah merayap di permukaan telaga hingga sampai di telinga para warga. Warga kampung mengikuti lelaki tua itu mengumandangkan adzan. Suara mereka berpadu melafalkan kebesaran, keesaan Allah. Suara ombak bergemuruh di sela-sela lantuan membuat nyali para warga kampung semakin menyiut. Mereka merasa seperti semut, makhluk kecil, yang tak berdaya di tengah hempasan ombak telaga. Air mata para warga kampung berderai membasahi pipi. Mereka takut setengah mati pada peristiwa yang dilihatnya.
Sambaran ujung ombak telaga lanang yang menyalak ke daratan sedikit berkurang. Debur ombak pun mereda. Perlahan-lahan ombak yang membahana mulai tenang. Kini telaga lanang benar-benar telah diam seperti sebelumnya.
Ada yang tersisa. Para warga kampung sibuk mencari seseorang yang lenyap dari pandangan mereka. Lelaki tua yang berdiri di sudut telaga sambil mengumandangkan adzan kini tidak ada. Entah ke mana ia pergi. Warga kampung telah mencari di sekeliling telaga namun mereka belum juga menemukan lelaki renta itu.
“Mbah Mun! Mbah Mun!” teriak para warga bersama-sama.
Lelaki yang setiap hari berada di telaga lanang belum juga muncul. Ia benar-benar lenyap. Tak ada tanda-tanda mengenai keberadaannya Para warga mengira dia telah hanyut ditelan keganasan ombak telaga lanang.
Lelaki tua dan telaga lanang telah menyatu. Ia berpadu menjaga keseimbangan agar telaga lanang bisa memberikan manfaat bagi warga sekitar. Airnya berkilau diterpa cahaya matahari senja kuning keemasan. Airnya tenang. Tenang sekali. Lelaki tua dan telaga lanang telah larut dalam lelap. Lelap menjelang malam. Para warga pun bubar meninggalkan keharuan di telaga lanang. Suasana telaga lanang kini menjadi sunyi senyap. Hanya terdengar kecipak ikan-ikan kecil bermain riang di tengah telaga lanag. (*)
Wanar, 13 April 2012


*Ahmad Zaini beralamat di Wanar Pucuk Lamongan. Setiap hari beraktivitas sebagai pengajar Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA/MA Raudlatul Muta’allimin Babat serta di SMA Mambaul Ulum Wanar Pucuk Lamongan Jawa Timur. Cerpen dan puisi-puisinya pernah dimuat di beberapa media cetak. Email: ilazen@yahoo.co.id








Tidak ada komentar:

Posting Komentar