Pengantin
Musim Puso
Cerpen
karya Ahmad Zaini*
Hamparan
sawah tak lagi hijau. Tanaman padi terlihat kekuning-kuningan. Tanah merekah
kering tak ada air. Rekah tanahnya sampai bisa dibuat ajang bermain ketam-ketam
yang hidup di tengah sawah. Ketam berselimut tanah liat. Kusam tak sempat
berenang karena tak ada air untuk menyeka tempurungnya. Binatang berkaki enam
dan bersepit dua serta bermata seperti pemancar radar itu pun hanya bisa
merayap ke sana kemari kebingungan mencari tempat berendam.
Wajah
Waluyo resah. Ia menatap tanaman padinya yang semakin lama semakin layu.
Ujung-ujung batangnya mulai menguning. Berbagai upaya telah dilakukan oleh
Waluyo agar tanaman padinya bisa membuahkan bulir padi yang berkualitas. Setiap
hari ia menghabiskan waktunya di sawah mengaliri sawah dengan air dari sumur
bor. Namun, kini Waluyo hanya bisa
berharap pada hujan karena sumur bor yang berada di pinggir pematang itu tak lagi mengeluarkan sumber air.
Pemuda
bertubuh gelap berdiri tegap di dekat sumur bor. Dahinya berkerut karena
khawatir jika tanaman
padinya gagal panen. Padahal, sebulan yang lalu dia sudah
berjanji kepada Sulikah akan menikahinya pada musim panen ini.
Panjang
pematang sawah terasa pendek. Waluyo mengelilingi sawahnya berulang-ulang.
Rumpun demi rumpun tanaman padi dari ujung barat hingga ujung timur dilihat
dengan jeli. Ia mengamati usia padi yang baru sebulan ini dalam kondisi
kekeringan seperti ini. Waluyo menebak-nebak dalam hati apakah musim tanam kali
ini bisa panen atau tidak. Kalau tidak bisa panen, maka rencana pernikahannya
dengan Sulikah bisa gagal.
Pagi-pagi
Waluyo memanggul mesin pemompa air. Ia berspekulasi sumur bor yang sudah
beberapa hari tidak mau mengeluarkan air, pagi ini mau memuntahkan air. Selang
plastik diraih Waluyo dari dalam karung. Kumparannya diurai memanjang ke tengah
sawah. Selang berbentuk spiral ditancapkan pada pipa sumur bor. Tanah lunak
dibalutkan pada pipa kemudian disambung dengan selang spiral. Tali yang dibuat
dari ban bekas diikatkan oleh Waluyo untuk menyatukan kedua benda itu. Kemudian
kedua tangannya yang kekar menarik ujungnya dengan sekuat tenaga agar tak ada
udara yang merembes dari selalu-sela sambungan.
Keringat
Waluyo mengucur deras membasahi kaos oblong yang ia kenakan. Kaos berwarna
putih kusam itu perlahan dilepas dari tubuhnya agar keringat yang meronta bisa
keluar lalu kering lagi tertiup angin pagi. Dia
menghela napas panjang untuk meredakan denyut jantung yang kerap menghentak
saat dia memandangi hamparan tanaman padi yang terancam gagal. Setetes air
putih dalam botol kemasan ia teguk. Dahaga pun lenyap disertai dengan sinar
matahari yang meredup.
Wajah
Waluyo mendongak. Ia melihat gumpalan awan bergulung di angkasa. Waluyo berharap
mendung kali ini benar-benar akan mencurahkan hujan yang lebat sehingga bisa
memberikan nafas kehidupan bagi tanaman padinya dan juga napas cintanya kepada
Sulikah. Akan tetapi, harapan itu perlahan sirna ketika angin bertiup kencang
mengusir mendung tersebut. Matahari muncul dari balik mendung memancarkan sinar
panas yang menyengat. Waluyo segera menyelamatkan kepalanya dengan sebuah
caping agar tidak terbakar pancaran matahari.
Di
kejauhan Waluyo melihat sepasang burung prenjak bertengger di ujung tanaman
padinya. Dia membiarkan burung pemangsa
bulir padi bercumbu dengan pasangannya. Waluyo membayangkan betapa indahnya
hidup ini andaikan dia bisa seperti itu dengan Sulikah.
Pompa
air sudah terpasang. Waluyo tinggal menyalakan mesinnya. Tumpah ruah air sumur
akan menyegarkan tanaman padi yang melayu.
“Mudah-mudahan
bisa airnya bisa keluar,” harap Waluo.
Satu,
dua kali starter, mesin pompa air tidak menyala. Pada usaha yang keempat Waluyo
akhirnya berhasil menghidupkan mesinnya.
Waluyo
memandangi mulut pompa air beberapa lama. Namun, air sumur yang
diharap-harapkan belum juga keluar. Suara mesin menderu beradu dengan cericit
burung prenjak yang bercumbu di ujung daun padi. Asap mesin pompa air mengepul
dari cerobong mesin mengganggu sepasang burung prenjak yang bercumbu. Hawa
panas akibat uap mesin juga terasa sekali di wajah Waluyo. Ia melangkah menjauh
dari mesin bermerk Kubota itu.
Waluyo
mendesis kecapekan. Ia sudah menyerah untuk memaksa sumur bor agar memuntahkan
sumber airnya. Waluyo kemudian mematikan mesin pompa air yang juga kecapekan
karena dipaksa beberapa lama untuk mengeluarkan air.
“Sulikah,
sepertinya kita akan gagal menikah karena panen kita akan gagal,” kata Waluyo
dalam hati.
***
Di
rumah, Waluyo bercerita kepada keluarganya perihal rencana pernikahannya dengan
Sulikah. Ia berjanji akan menikahinya jika tanaman padinya bisa dipanen. Dia
juga mengungkapkan semua isi hatinya
tentang kemungkinan rencana pernikahannya musim panen ini gagal karena tanaman
padinya puso. Harapan hidup membina keluarga bersama Sulikah sedang diuji oleh
penyakit potong leher yang mendera tanaman padinya di sawah. Asa itu terasa
sirna seiring dengan tanaman padinya mengering.
Seluruh
anggota keluarga Waluyo bersedih. Mereka ikut perihatin dengan cerita yang
disampaikan oleh Waluyo. Orang tuanya yang sudah renta sampai meneteskan air
mata karena tak tahan mendengarkan cerita anaknya. Mereka sangat iba dengan
peristiwa yang dialami Waluyo, anak yang paling mereka sayangi karena ia rajin
bertani meskipun usianya masih abege.
Cerita
Waluyo dan rasa sedih keluarga sejenak berhenti. Dari pintu depan terdengar ada
orang yang mengetuk pintu sambil mengucapkan salam. Ketika mereka melihat ke
arah pintu, ternyata di depan pintu rumah mereka berdiri kedua orang tua
Sulikah. Waluyo dan keluarga beranjak dari tempat duduknya kemudian menyambut
kedatangan kedua orang tua Sulikah.
“Mari,
masuk Pak, Bu!” Waluyo mempersilakan kedua orang tua Sulikah dengan gugup.
Kedua orang tua Sulikah masuk kemudian duduk di kursi yang terbuat dari bambu.
Kedua
keluarga bertemu dan saling bertanya kabar tentang keadaan masing-masing.
Mereka bercengkerama dalam suasana yang penuh keakraban dan kekeluargaan. Sampai
pada akhirnya, kedua orang tua Sulikah menyampaikan maksud kedatangannya ke
rumah keluarga Waluyo.
“Kedatangan
kami ke keluarga ini adalah untuk meminta keluarga agar merindhoi rencana kami
menjodohkan Nak Waluyo dengan anak kami Sulikah,” kata ayah Sulikah.
Keluarga
Waluyo tertegun sesaat setelah mendengar inti dari percakapan mereka dengan ayah Sulikah. Anggota keluarga Waluyo
saling memandang untuk mencari jawaban yang tepat.
“Maaf,
Bapak! Saya sebenarnya sangat setuju dengan rencana tersebut. Tapi..., tapi
....!” sahut Waluyo dengan rasa ragu.
“Tapi apa, Nak Waluyo?” tanya ayah Sulikah.
“Panen
kami terancam gagal karena terserang
penyakit potong leher sehingga kami tidak punya persiapan apa-apa,” alasan
Waluyo kepada orang tua Sulikah.
Waluyo
tahu diri. Ia tidak memaksakan pernikahannya dengan Sulikah dilaksanakan pada
musim panen ini. Ia tidak mempunyai persiapan yang cukup karena terkait dengan
kegagalan panennya.
“Terus
apa hubungan antara padi yang gagal panen dengan rencana pernikahan Nak Waluyo
dengan Sulikah?”
“Saya
pernah berjanji kepada putri Bapak. Saya akan menikahi Sulikah jika kami berhasil
panen raya.”
“Sulikah
sudah bercerita semua tentang itu dan dia tidak mempermasalahkan jika panen Nak
Waluyo gagal. Dia bersedia saya nikahkan dengan Nak Waluyo.”
“Jadi...?”
tanya Waluyo kaget.
“Ya,
Nak Waluyo. Sulikah bersedia melaksanakan pernikahan musim panen ini walaupun
padi Nak Waluyo gagal panen,” jawab ayah Sulikah dengan tegas.
Mendengar
keterangan dari orang tua Sulikah seperti itu, keluarga Waluyo diam semua.
“Bagaimana,
Pak, Bu dan Kakak?” tanya Waluyo kepada keluarganya. Mereka mengangguk pertanda
menyetujui rencana pernikahan Waluyo dengan Sulikah.
Waluyo
terharu dengan apa yang baru saja terjadi. Keyakinannya selama ini kalau
cintanya dan cinta Sulikah tak akan terpisahkan ternyata terbukti. Cinta abadi mereka
tak luntur oleh cobaan dan ujian yang
berupa gagal panen. Biarkan tanaman padi Waluyo puso, asalkan cinta mereka
tetap berisi dan penikahan mereka akan terjadi.
Kedua
orang tua Sulikah berpamitan kepada keluarga Waluyo setelah mereka menyepakati
hari dan tanggal pernikahan anak mereka.
***
Hari
yang ditunggu-tunggu telah tiba. Waluyo yang dirias bak sang raja lalu diarak
menuju rumah mempelai wanita dengan diiringi suara tabuhan rebana di sepanjang
jalan. Sesampai di rumah mempelai wanita, waluyo disambut oleh Sulikah yang
juga dirias seperti ratu. Waluyo mendekat kepada Sulikah sambil memberikan
seikat tanaman padi yang mengering kepada Sulikah.
“Cinta
kita tak akan mengering meskipun tanaman padiku kering seperti ini,” bisik
Waluyo kepada Sulikah yang dibalas tawa oleh para pengiring dan keluarga kedua
belah pihak.
Kedua
mempelai duduk seperti raja dan ratu di atas singgasana pelaminan. Para tamu
dan sanak keluarga ikut merayakan hari yang paling bersejarah dalam hidup mempelai
berdua. Mereka memberikan ucapan selamat kepada kedua mempelai atas
kesuksesannya membina cintanya sampai ke pelaminan. (*)
Lamongan, Juni
2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar