Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Sabtu, 04 Agustus 2012

Pengantin Musim Puso


Pengantin Musim Puso
Cerpen karya Ahmad Zaini*

Hamparan sawah tak lagi hijau. Tanaman padi terlihat kekuning-kuningan. Tanah merekah kering tak ada air. Rekah tanahnya sampai bisa dibuat ajang bermain ketam-ketam yang hidup di tengah sawah. Ketam berselimut tanah liat. Kusam tak sempat berenang karena tak ada air untuk menyeka tempurungnya. Binatang berkaki enam dan bersepit dua serta bermata seperti pemancar radar itu pun hanya bisa merayap ke sana kemari kebingungan mencari tempat berendam.
Wajah Waluyo resah. Ia menatap tanaman padinya yang semakin lama semakin layu. Ujung-ujung batangnya mulai menguning. Berbagai upaya telah dilakukan oleh Waluyo agar tanaman padinya bisa membuahkan bulir padi yang berkualitas. Setiap hari ia menghabiskan waktunya di sawah mengaliri sawah dengan air dari sumur bor. Namun, kini  Waluyo hanya bisa berharap pada hujan karena sumur bor yang berada di pinggir pematang itu  tak lagi mengeluarkan sumber air.
Pemuda bertubuh gelap berdiri tegap di dekat sumur bor. Dahinya berkerut karena khawatir jika tanaman
padinya gagal panen. Padahal, sebulan yang lalu dia sudah berjanji kepada Sulikah akan menikahinya pada musim panen ini.
Panjang pematang sawah terasa pendek. Waluyo mengelilingi sawahnya berulang-ulang. Rumpun demi rumpun tanaman padi dari ujung barat hingga ujung timur dilihat dengan jeli. Ia mengamati usia padi yang baru sebulan ini dalam kondisi kekeringan seperti ini. Waluyo menebak-nebak dalam hati apakah musim tanam kali ini bisa panen atau tidak. Kalau tidak bisa panen, maka rencana pernikahannya dengan Sulikah bisa gagal.
Pagi-pagi Waluyo memanggul mesin pemompa air. Ia berspekulasi sumur bor yang sudah beberapa hari tidak mau mengeluarkan air, pagi ini mau memuntahkan air. Selang plastik diraih Waluyo dari dalam karung. Kumparannya diurai memanjang ke tengah sawah. Selang berbentuk spiral ditancapkan pada pipa sumur bor. Tanah lunak dibalutkan pada pipa kemudian disambung dengan selang spiral. Tali yang dibuat dari ban bekas diikatkan oleh Waluyo untuk menyatukan kedua benda itu. Kemudian kedua tangannya yang kekar menarik ujungnya dengan sekuat tenaga agar tak ada udara yang merembes dari selalu-sela sambungan.
Keringat Waluyo mengucur deras membasahi kaos oblong yang ia kenakan. Kaos berwarna putih kusam itu perlahan dilepas dari tubuhnya agar keringat yang meronta bisa keluar lalu kering lagi tertiup angin pagi. Dia  menghela napas panjang untuk meredakan denyut jantung yang kerap menghentak saat dia memandangi hamparan tanaman padi yang terancam gagal. Setetes air putih dalam botol kemasan ia teguk. Dahaga pun lenyap disertai dengan sinar matahari yang meredup.
Wajah Waluyo mendongak. Ia melihat gumpalan awan bergulung di angkasa. Waluyo berharap mendung kali ini benar-benar akan mencurahkan hujan yang lebat sehingga bisa memberikan nafas kehidupan bagi tanaman padinya dan juga napas cintanya kepada Sulikah. Akan tetapi, harapan itu perlahan sirna ketika angin bertiup kencang mengusir mendung tersebut. Matahari muncul dari balik mendung memancarkan sinar panas yang menyengat. Waluyo segera menyelamatkan kepalanya dengan sebuah caping agar tidak terbakar pancaran matahari.
Di kejauhan Waluyo melihat sepasang burung prenjak bertengger di ujung tanaman padinya. Dia membiarkan burung  pemangsa bulir padi bercumbu dengan pasangannya. Waluyo membayangkan betapa indahnya hidup ini andaikan dia bisa seperti itu dengan Sulikah.
Pompa air sudah terpasang. Waluyo tinggal menyalakan mesinnya. Tumpah ruah air sumur akan menyegarkan tanaman padi yang melayu.
“Mudah-mudahan bisa airnya bisa keluar,” harap Waluo.
Satu, dua kali starter, mesin pompa air tidak menyala. Pada usaha yang keempat Waluyo akhirnya berhasil menghidupkan mesinnya.
Waluyo memandangi mulut pompa air beberapa lama. Namun, air sumur yang diharap-harapkan belum juga keluar. Suara mesin menderu beradu dengan cericit burung prenjak yang bercumbu di ujung daun padi. Asap mesin pompa air mengepul dari cerobong mesin mengganggu sepasang burung prenjak yang bercumbu. Hawa panas akibat uap mesin juga terasa sekali di wajah Waluyo. Ia melangkah menjauh dari mesin bermerk Kubota itu.
Waluyo mendesis kecapekan. Ia sudah menyerah untuk memaksa sumur bor agar memuntahkan sumber airnya. Waluyo kemudian mematikan mesin pompa air yang juga kecapekan karena dipaksa beberapa lama untuk mengeluarkan air.
“Sulikah, sepertinya kita akan gagal menikah karena panen kita akan gagal,” kata Waluyo dalam hati.
***
Di rumah, Waluyo bercerita kepada keluarganya perihal rencana pernikahannya dengan Sulikah. Ia berjanji akan menikahinya jika tanaman padinya bisa dipanen. Dia juga  mengungkapkan semua isi hatinya tentang kemungkinan rencana pernikahannya musim panen ini gagal karena tanaman padinya puso. Harapan hidup membina keluarga bersama Sulikah sedang diuji oleh penyakit potong leher yang mendera tanaman padinya di sawah. Asa itu terasa sirna seiring dengan tanaman padinya mengering.
Seluruh anggota keluarga Waluyo bersedih. Mereka ikut perihatin dengan cerita yang disampaikan oleh Waluyo. Orang tuanya yang sudah renta sampai meneteskan air mata karena tak tahan mendengarkan cerita anaknya. Mereka sangat iba dengan peristiwa yang dialami Waluyo, anak yang paling mereka sayangi karena ia rajin bertani meskipun usianya masih abege.
Cerita Waluyo dan rasa sedih keluarga sejenak berhenti. Dari pintu depan terdengar ada orang yang mengetuk pintu sambil mengucapkan salam. Ketika mereka melihat ke arah pintu, ternyata di depan pintu rumah mereka berdiri kedua orang tua Sulikah. Waluyo dan keluarga beranjak dari tempat duduknya kemudian menyambut kedatangan kedua orang tua Sulikah.
“Mari, masuk Pak, Bu!” Waluyo mempersilakan kedua orang tua Sulikah dengan gugup. Kedua orang tua Sulikah masuk kemudian duduk di kursi yang terbuat dari bambu.
Kedua keluarga bertemu dan saling bertanya kabar tentang keadaan masing-masing. Mereka bercengkerama dalam suasana yang penuh keakraban dan kekeluargaan. Sampai pada akhirnya, kedua orang tua Sulikah menyampaikan maksud kedatangannya ke rumah keluarga Waluyo.
“Kedatangan kami ke keluarga ini adalah untuk meminta keluarga agar merindhoi rencana kami menjodohkan Nak Waluyo dengan anak kami Sulikah,” kata ayah Sulikah.
Keluarga Waluyo tertegun sesaat setelah mendengar inti dari percakapan mereka  dengan ayah Sulikah. Anggota keluarga Waluyo saling memandang untuk mencari jawaban yang tepat.
“Maaf, Bapak! Saya sebenarnya sangat setuju dengan rencana tersebut. Tapi..., tapi ....!” sahut Waluyo dengan rasa ragu.
 “Tapi apa, Nak Waluyo?” tanya ayah Sulikah.
“Panen kami terancam gagal karena terserang  penyakit potong leher sehingga kami tidak punya persiapan apa-apa,” alasan Waluyo kepada orang tua Sulikah.
Waluyo tahu diri. Ia tidak memaksakan pernikahannya dengan Sulikah dilaksanakan pada musim panen ini. Ia tidak mempunyai persiapan yang cukup karena terkait dengan kegagalan panennya.
“Terus apa hubungan antara padi yang gagal panen dengan rencana pernikahan Nak Waluyo dengan Sulikah?”
“Saya pernah berjanji kepada putri Bapak. Saya akan menikahi Sulikah jika kami berhasil panen raya.”
“Sulikah sudah bercerita semua tentang itu dan dia tidak mempermasalahkan jika panen Nak Waluyo gagal. Dia bersedia saya nikahkan dengan Nak Waluyo.”
“Jadi...?” tanya Waluyo kaget.
“Ya, Nak Waluyo. Sulikah bersedia melaksanakan pernikahan musim panen ini walaupun padi Nak Waluyo gagal panen,” jawab ayah Sulikah dengan tegas.
Mendengar keterangan dari orang tua Sulikah seperti itu, keluarga Waluyo diam semua.
“Bagaimana, Pak, Bu dan Kakak?” tanya Waluyo kepada keluarganya. Mereka mengangguk pertanda menyetujui rencana pernikahan Waluyo dengan Sulikah.
Waluyo terharu dengan apa yang baru saja terjadi. Keyakinannya selama ini kalau cintanya dan cinta Sulikah tak akan terpisahkan ternyata terbukti. Cinta abadi mereka tak  luntur oleh cobaan dan ujian yang berupa gagal panen. Biarkan tanaman padi Waluyo puso, asalkan cinta mereka tetap berisi dan penikahan mereka akan terjadi.
Kedua orang tua Sulikah berpamitan kepada keluarga Waluyo setelah mereka menyepakati hari dan tanggal  pernikahan anak mereka.
***
Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Waluyo yang dirias bak sang raja lalu diarak menuju rumah mempelai wanita dengan diiringi suara tabuhan rebana di sepanjang jalan. Sesampai di rumah mempelai wanita, waluyo disambut oleh Sulikah yang juga dirias seperti ratu. Waluyo mendekat kepada Sulikah sambil memberikan seikat tanaman padi yang mengering kepada Sulikah.
“Cinta kita tak akan mengering meskipun tanaman padiku kering seperti ini,” bisik Waluyo kepada Sulikah yang dibalas tawa oleh para pengiring dan keluarga kedua belah pihak.
Kedua mempelai duduk seperti raja dan ratu di atas singgasana pelaminan. Para tamu dan sanak keluarga ikut merayakan hari yang paling bersejarah dalam hidup mempelai berdua. Mereka memberikan ucapan selamat kepada kedua mempelai atas kesuksesannya membina cintanya sampai ke pelaminan. (*)
Lamongan, Juni 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar