Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Sabtu, 30 November 2019

Cerpen Jawa Pos grup RADAR BANYUWANGI, 1 Desember 2019

Guru Sobri
Cerpen karya Ahmad Zaini

Tubuhnya kerempeng. Dia berkulit putih. Rambutnya klimis. Dia tidak berkumis Kakinya ringan seringan kapas bila berjalan. Ia melesat bagai kilat. Pada jam ini di sini, lima menit kemudian sudah di sana. Orang-orang bingung mencarinya. Setiap ditanya, ia bisa saja menjawabnya. Dia memunyai sejuta alasan untuk menutupi kekurangannya yang selalu meninggalkan kantor tempat kerjanya sebagai kepala sekolah.
Namanya Muluk. Setiap berbicara selalu muluk-muluk. Keinginannya selangit. Muluk selalu membuat rencana besar, namun tidak pernah terlaksana. Rencana itu mangkrak. Bukan Muluk kalau tidak bisa berkilah. Dia selalu bisa berkelit dari tanggung jawab apabila ada pihak lain yang menuntut ketidakberesan kerjanya.
Kakinya yang hanya sebesar kaki kursi diangkat di atas meja. Ia buru-buru menurunkannya saat Sobri masuk ke ruangannya.
”Pak Sobri, ketuk pintu dulu sebelum masuk,” tegurnya pada Sobri yang datang tanpa mengetuk pintu ruang kerjanya.
”Maaf, Pak khilaf!” pintanya sambil menyodorkan berkas ke meja kepala sekolah itu.
”Ada perlu apa?” suara sumbang Muluk menanyakan keperluan Sobri menghadap kepadanya.
”Minta tanga tangan untuk pemberkasan besok pagi,” timpalnya.
”Mendadak sekali! Tidak bisa. Saya tidak bisa menandatangani berkas sembarangan sebelum tahu isinya. Paling tidak tiga hari sebelumnya berkas ini sudah kausodorkan sehingga saya bisa menelitinya,” alasan Muluk.
”Tapi ini mendesak. Pemberitahuannya baru kemarin sore. Semalam saya kerjakan, hari ini tanda tangan, besok pagi dikumpulkan,” kilah Sobri.
”Tidak bisa. Kamu taruh di meja situ. Besok lusa baru bisa kauambil,” kata jumawa Muluk membuat Sobri semakin gusar.
”Maaf, Bapak! Besok pagi sudah batas terakhir pengumpulan berkas ini,” desak Sobri.
”Pokoknya tidak bisa. Jangan memaksa saya. Bila kamu tidak mau mendengarkan omonganku, bawa kembali berkasmu keluar,” pungkas Muluk bernada tinggi.
Sobri hanya bisa diam. Dia tidak mampu membantah putusan Muluk. Sobri keluar dari ruang kerja Muluk dengan hati yang sangat mendongkol.
Begitulah Muluk. Dia raja tega. Kepala sekolah yang tidak tahu kebutuhan gurunya. Dia terlalu idealis, prosedural, namun tidak bisa kondisional. Dia lurus pada sesuatu yang diurus. Namun, sekali lagi dia tidak bisa membuat kebijakan yang berskala prioritas. Ia tidak pernah memedulikan urusan sangat penting, penting, agak penting, dan tidak penting dari gurunya. Meskipun berkas Sobri besok sudah batas terakhir penyerahan ke dinas atasannya, Muluk tetap tidak mau menandatanganinya saat itu juga.
Kejelian kepala sekolah memang diperlukan agar bisa memahami keperluan yang dibutuhkan guru. Dia juga harus meneliti secara rinci isi yang tertuang dalam berkas sebelum menandatanganinya. Namun, kepala sekolah semestinya juga harus bisa membuat keputusan ekstrem dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi. Yang penting berkas yang disodorkan itu sudah dijamin kebenarannya oleh sang guru. Kebutuhan bawahan juga harus diperhatikan lebih-lebih menyangkut nasib karier bawahannya. Apalagi bawahannya itu sudah menjamin kevalidan berkas tersebut. Kepala sekolah sudah semestinya harus segera menandatanginya.
Era teknologi komunikasi modern seperti sekarang ini sering ada isntruksi atau pemberitahuan secara mendadak dari dinas pendidikan. Hal semacam ini sangat menyengsarakan guru seperti Sobri. Perintah kedinasan tidak lagi menggunakan kertas yang dikirimkan kurir ke guru. Tak pernah terlihat lagi ada kurir menyodorkan buku ekspedisi untuk ditandatangani guru sebagai bukti telah menerima surat. Perintah hanya disampaikan lewat media sosial. Hal seperti inilah yang membuat Sobri kalang kabut. Dia baru menerima pesan menjelang maghrib. Malam langsung ia kerjakan. Pagi harinya dimintakan tanda tangan ke kepala sekolahnya. Keesokan harinya harus dikirim ke kantor dinas.
”Bagaimana, Pak?” tanya Sobri kepada Muluk pada keesokan harinya.
”Ke ruangan sebentar!” pinta Muluk. Sobri bergegas mengikuti Muluk masuk ke ruang kerjanya. Dia berharap berkas sudah ditandatangani tinggal mengirimkan ke kantor dinas pendidikan.
Muluk menyodorkan stop map bewarna merah pada Sobri. Sobri menerimanya dengan lega. Namun, senyum harapan itu hanya beberapa detik saja. Setelah membuka stop map dan melihat isinya, Sobri terperangah. Dia melihat kolom tanda tangan masih bersih. Tak ada goresan tanda tangan di atas nama Muluk yang tak ber-NIP itu.
”Belum Bapak tanda tangani?” tanya Sobri dengan suara penuh penasaran
”Memang belum. Saya tidak mau menantanganinya. Semestinya berkas ini harus dilengkapi dengan bukti fisik. Kau lengkapi dulu. Besok bawa ke sini lagi,” kata Muluk dengan kening berkerut.
”Hari ini batas terakhir pengiriman berkas ke kantor dinas, Pak. Bukti fisik yang Bapak maksud itu disertakan pada saat pengajuan kenaikan pangkat. Untuk pengurusan berkas ini, tidak perlu.”
”Tidak. Saya tidak mau disalahkan kepala dinas. Saya bekerja sesuai prosedur,” jawabnya dengan kaku.
”Berkas milik guru-guru yang lain juga tanpa bukti fisik, Pak,” sanggah Sobri.
”Biarkan mereka tanpa bukti fisik. Tapi, saya tidak mau seperti itu. Segera dilengkapi,” pungkasnya.
Sobri menghela napas panjang. Dia mendesah sesak. Pori-porinya mengeluarkan kubikan keringat. Sobri tidak berdaya. Dia tidak kuasa melawan keputusan kepala sekolahnya. Dia terpaksa mengikuti permintaan Muluk yang selalu muluk-muluk.
Guru  yang lugu ini tak menyangka pada kenyataan yang ada. Dia tidak mengira akan dipersulit kepala sekolahnya seperti ini. Dia sangat tega. Raja tega pada bawahannya. Pada gurunya sendiri yang sudah mengabdi puluhan tahun di sekolah ini. Gigi-gigi Sobri terdengar berkerut-kerut. Kedua tangannya gemetar menerima stop map merah dari Muluk, kepala sekolahnya. Berkas itu terasa lebih berat daripada sebelumnya. Namun, apa boleh buat. Sobri harus bersabar. Dia menerima dengan pasrah berkas yang dikembalikan kepala sekolahnya itu.
Setengah hari Sobri berusaha melengkapi permintaan Muluk. Dia bekerja keras agar bisa memenuhi target waktu pengiriman berkas ke dinas pendidikan kabupaten. Telepon genggam yang tergeletak di samping monitor komputer berdering. Dia mengabaikan meski dia tahu bahwa yang menelepon itu adalah staf tata usaha kantor dinas pendidkan. Sobri cemas. Dia takut. Ia yakin bahwa staf kantor dinas itu akan menagih berkas yang semestinya harus dikirim sebelum pukul sebelas.
Karena telepon itu berdering terus, terpaksa Sobri meraih telepon genggamnya dengan tangan gemetar.
”Pak Sobri, bagaimana ini? Mana berkasmu? Tepat pukul 12 mestinya berkas sudah saya terima. Bila melebihi batas waktu tersebut, terpaksa berkas Pak Sobri saya tinggal,” suara staf kantor dinas melalui telepon genggamnya.
 Pikiran Sobri semakin kacau. Dia tidak fokus lagi menuntaskan berkas-berkas itu. Tubuhnya lemas. Dia putus asa sambil menyandarkan punggungnya di tembok ruang guru. Setumpuk berkas yang berada di depannya ditatap dengan pandangan hampa. Dia merasa bahwa peluang untuk menyelesaikan berkas sudah hilang. Sobri hanya bisa menggerutu menyesali sikap kepala sekolahnya yang tidak mau menandatangani berkas yang dia ajukan.
Sementara itu, guru-guru di sekolah lain telah menyetorkan berkas ke dinas pendidikan. Berkas-berkas mereka sama dengan milik Sobri tanpa disertai dengan bukti fisik. Kepala sekolah di lembaga lain sudah paham bahwa berkas guru tersebut tak perlu bukti fisik. Bukti fisik baru disertakan jika guru tersebut hendak mengajukan angka kredit untuk kenaikan pangkat.
Mendengar bahwa guru-guru di sekolah lain sudah menyetorkan berkas ke dinas pendidikan, Sobri semakin tersiksa. Dia tidak bisa merasakan kemudahan seperti yang mereka alami. Dia merasa disiksa dan dipermainkan oleh kepala sekolahnya yang bersikap seperti baja. Prinsipnya seperti batu karang yang tak mudah goyang oleh gelombang meskipun permasalahan ini sangat penting bagi karier gurunya.
”Berkas Pak Sobri ini belum mendapat tanda tangan dari kepala sekolah. Padahal ini sudah batas akhir pengumpulannya. Dengan sangat terpaksa berkas Pak Sobri tidak bisa saya terima dan Pak Sobri bisa mangajukan usulan ini lagi pada bulan atau tahun berikutnya,” ujar staf tata usaha dinas pendidikan ketika Sobri menghadap staf dinas pendidikan untuk meminta keringanan menyetorkan berkas tanpa tanda tangan kepala sekolah. Padahal, Sobri tahu kalau itu tidak mungkin.
Sobri mendengarkan penjelasan pegawai tersebut dengan penuh rasa sesal. Dia menyesalkan sikap kepala sekolahnya yang tidak mengerti kebutuhan gurunya. Sobri menerima pasrah nasib yang menimpanya. Dia tertinggal dengan guru-guru seangkatannya dalam menapaki karier kepegawaiannya.
Hari-hari setelah kejadian itu, Sobri tak bertegur sapa dengan kepala sekolahnya. Dia tidak pernah mengajukan berkas apapun lagi kepadanya. Setiap ada perintah pemberkasan dari dinas pendidikan, dia tidak pernah lagi mengurusnya. Yang dia lakukan hanyalah melaksanakan tugas sebagai guru yaitu mengajar. Dia trauma dipermainkan kepala sekolahnya untuk kesekian kalinya.
Suatu pagi Sobri membaca surat yang difoto melalui media sosial. Surat itu berisi teguran keras dari dinas pendidikan bidang kepegawaian lantaran Sobri tak pernah memenuhi permintaan administrasi. Dia bergeming serta pasrah pada teguran tersebut. Dia siap menerima sanksi atas ketidaksiplinannya sebagai abdi negara. Bahkan, dia lebih senang dimutasi ke sekolah lain daripada tetap bertugas di sekolah yang dipimpin oleh Muluk. (*)

Lamongan, 23 November 2019

Ahmad Zaini, cerpenis tinggal di Wanar, Pucuk, Lamongan, Jawa Timur



Tidak ada komentar:

Posting Komentar