Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Sabtu, 30 November 2019

Cerpen Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, 1 Desember 2019

Santri ‘Kesayangan’ Kiai
Cerpen Ahmad Zaini

“Jangan banyak-banyak makanmu. Ini wilayahku,” cegah Faisal pada Romli. Dia kalah cepat melahap nasi liwet. Padahal, sebelum memakannya, keduanya telah sepakat menghabiskan nasi liwet sesuai dengan kaplingannya. Mereka sudah membuat garis tengah sehingga nasi liwet itu menjadi dua area.
Romli tidak memedulikan Faisal. Dia tetap menyantap nasi liwet dengan lauk ikan asin dan sambal terong. Dia mengalahkan Faisal yang jari dan mulutnya tidak kuat menahan panas.
Setelah mereka menghabiskan satu talam nasi liwet, mereka minum air intip. Air yang dimasukkan dalam panci bersama kerak nasi liwet. Airnya bewarna kecocklatan. Namun, segar sekali. Bila airnya telah habis, keduanya juga secara bergantian memakan intipnya yang sudah melunak.
”Faisal, Romli, waktu makan selesai. Sekarang waktunya salat berjamaah zuhur lalu mengaji Imrithi,” tegur Faruq, kepala keamanan di pesantren itu.
Faisal dan Romli mengangguk. Mereka menurut teguran Faruq. Remaja yang berasal dari desa yang berbeda ini meninggalkan tempat makan. Mereka menuju gotakan masing-masing.
Faisal dan Romli mandi satu tempat. Mereka tidak sabar menunggu antrean. Mereka tergesa-gesa. Dua santri ini mandi sambil bergurau dalam satu kamar mandi. Mereka cekikikan. Riuh sekali.
”Siapa dalam kamar mandi itu? Jangan bergurau. Salat jamaah segera dimulai. Sudah ditungga kiai,” Faruq mengingatkan Faisal dan Romli yang masih bergurau dalam kamar mandi.
”Iya, Kak. Sudah selesai, kok,” sahut Faisal dari dalam. Mereka berdua muncul dari kamar mandi yang sama.
”Tadi kalian mandi berdua?” tanya Faruq.
”Iya. Kamar mandi yang lain penuh,” elak romli.
”Ini pelanggaran. Siapa pun tidak boleh mandi bersamaan dalam satu kamar. Kalian bisa saling melihat aurat. Melihat aurat orang lain itu haram. Berdosa,” kata Faruq dengan nada tinggi.
Kedua santri ini hanya berdiri mematung sambil membiarkan butir-butir air di tubuhnya mengalir. Dia terdiam tak berani menatap wajah Faruq.
”Kalian telah melakukan pelanggaran. Jadi, nanti setelah jamaah zuhur dan pengajian, kalian ditakzir,” pungkas Faruq.
Faisal dan Romli saling memandang. Wajah mereka cemberut seperti kemukus. Sorot mata mereka saling menyalahkan.
”Gara-gara kamu yang memaksa masuk,” ucap Romli.
”Salah kamu kenapa pintunya tidak kau kunci,” bantah Faisal.
”Bagaimana bisa mengunci pintu, grendelnya saja sudah lepas semua tinggal baut,” balas Faisal.
”Sudah, sudah. Jangan berdebat di sini. Segera ke musallla,” lerai Faruq.
Kedua santri ini tertawa geli. Masak mereka baru mandi dan hanya pakai sarung disuruh jamaah.
”Kenapa kalian senyum-senyum?” tanya Faruq.
”Masak salat jamaah hanya mengenakan sarung tanpa baju dan kopyah,” jawab Romli sambil berlalu meninggalkan Faruq yang masih bingung memikirkan ucapannya.
”O, santri semprul,” gerutunya setelah menyadari kata-katanya salah.

Para santri selesai melaksanakan jamaah zuhur. Mereka berdiri membentuk barisan untuk mendapat kesempatan berjabat tangan dengan kiai. Secara bergiliran mereka menjabat dan mencium tangan kiai yang penuh aroma minyak Misik. Tiba-tiba dari arah belakang muncul Faisal dan Romli. Mereka muncul dari celah-celah santri yang lain untuk mendapat giliran menjabat dan mencium tangan kiainya.
”Faisal, Romli dari mana kalian?” tanya Kiai.
”Dari berkumur, Pak Kiai. Mulutku masih berbau ikan asin,” jawabnya.
”Hmmm. Sebelum salat berkumurlah agar sisa-sisa makanan tidak tertelan sewaktu salat. Bila itu terjadi, maka salat kalian tidak sah,” pesan kiai sambil menyentuh pundak kedua santrinya yang sangat ’menonjol’ itu.
Setelah berjabatan tangan dengan para santrinya, Pak Kiai yang penuh karisma itu duduk di belakang dampar atau meja kecil. Tangan lembut beliau meraih kitab Imrithi yang sudah ditaruh sebelumnya di atas dampar. Beliau memulai pengajian ilmu alat ini.
”Faisal, silakan ke depan!” pinta kiai.
”Inggih kiai. Ada apa?” tanya Faisal yang berpura-pura tidak mengerti maksud kiai.
”Kamu kemarin belum tuntas menghafalkan bab i’rob. Sekarang kamu ulang lalu lanjutkan ke nadlom berikutnya!” pinta kiai.
Faisal menundukkan kepala dalam-dalam. Dia tidak berani melihat wajah kiai dan teman-temannya yang duduk melingkar di musalla. Keringat di keningnya mulai bermunculan. Tangannya yang memegang kitab Imrithi gemetar. Dia grogi karena belum mampu menghafalkannya.
”Ayo, mulai!” perintah kiai.
Kedua tangan Faisal yang gemetar itu perlahan membuka kitab yang dipangkunya. Dia melihat bab i’rob.
”Aqsamuhu arba’atun fal tu’tabah, rof’un wa nasbun wa kadza jazmun wa jar,” Faisal melafalkan bab i’rob dengan lantang.
Para santri tertawa semua. Mereka tak menduga kalau Faisal melafalkan nadlom itu dengan membaca. Selain itu, bagian awal bab tersebut tidak dilafalkan.
”Faisal, kamu belum hafal juga. Semalam belajar untuk menghafalkan atau tidak?” tanya kiai.
”Tidak, Pak Kiai,” jawabnya dengan pelan.
”Kalau begitu, kembali ke tempat dudukmu dulu sambil belajar menghafalkan bab tersebut,” saran Kiai dengan sabar.
”Romli, giliranmu!” seru Kiai.
Romli pun mendekat ke Kiai. Dia bergerak dengan mengesot dari tempat duduknya ke samping Kiai.
”Idzil fata hasba’ tiqodihi rufi’, wakullu man la ya’taqid lam yan tafi’,” suara hafalan Romli dengan tiba-tiba.
Santri-santri yang lain, terutama Faisal tertawa terpingkal-pingkal. Dia geli mendengar hafalan Romli yang tidak sesuai dengan bab yang dimaksud Kiai.
”Faisal, Faisal,” dua kali Kiai menyebut nama teman karib Romli hingga dia berhenti tertawa, ”apa yang kau tertawakan sampai seperti itu?” sambungnya.
”Romli, Pak Kiai. Dia lucu karena tidak hafal,” jawab Faisal sambil terpingkal-pingkal.
”Tidak baik menertawai temannya yang belum hafal. Belum tentu orang yang menertawai itu lebih hafal daripada yang ditertawai,” pesan Kiai.
Faisal langsung terdiam. Dia menutup mulutnya rapat-rapat. Dia merasa tersindir dengan pesan yang disampaikan oleh Kiai.
”Romli, yang kau hafalkan itu bab muqoddimah yang sudah kau hafalkan pada pertemuan sebelumnya. Kau hafalkan bab i’rob,” Pak Kiai mengingatkan Romli.
”Saya belum hafal Pak Kiai,” kata Romli dengan jujur.
”Kalau begitu, kembali ke tempat dudukmu lalu belajarlah menghafal bab i’rob,” perintah Kiai. Romli kembali ke tempat duduknya dengan mengesot.
Faisal dan Romli merupakan dua santri yang berbeda dengan santri-santri lainnya. Mereka selalu menguji kesabaran Kiai dan para pengurus pesantren. Para pengurus terutama bagian keamanan sering memergoki dua santri tersebut di warung kopi, kemudian mengajaknya kembali ke pesantren karena ada kegiatan peringatan maulid nabi Muhammad SAW.
”Anak-anak, silakan kalian kembali ke gotakan masing-masing. Kecuali, Faisal dan Romli. Kalian berdua tetap di sini,” kata Faruq yang didampingi Kiai.
”Kalian sudah sering melakukan pelanggaran di pesantren ini. Sebagai pembelajaran agar kalian jera dan tidak mengulanginya lagi, kalian kami takzir. Kalian harus membersihkan toilet di belakang. Segera laksanakan!” sambungnya.
Kedua santri tersebut langsung melaksanakan takzir atau hukuman yang diberikan oleh pengurus pesantren. Keduanya melaksanakan dengan ikhlas. Mereka sadar bahwa selama ini mereka telah melanggar peraturan yang telah ditentukan oleh pesantren.
”Sudah bersih toiletnya?” tanya Faruq.
”Sudah, Kak. Toiletnya sudah bersih,” jawab keduanya dengan rasa hormat kepada seniornya.
”Baiklah. Silakan bersihkan tubuh kalian lalu segeralah bersiap-siap mengikuti pengajian Imrithi,” pungkas Faruq.
Faisal dan Romli bergegas ke kamar mandi. Setelah itu mereka bergabung dengan para santri yang lain di musalla. Mereka bersama-sama menghafalkan nadlom imrithi dengan serempak. Gema hafalan nadlom-nadlom tersebut beriringan dengan suara deru angin sore yang mengiringi hujan pertama di musim ini. (*)

Wanar, November 2019

Ahmad Zaini, merupakan guru di SMK Negeri 1 Lamongan dan ketua PC Lesbumi NU Babat. Beberapa cerpen telah terpublikasikan dalam bentuk buku kumpulan cerpen. Buku kumcer terbarunya berjudul Tadarus Hujan.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar