Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Sabtu, 09 November 2019

Lorong Kenangan, Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, 10 November 2019

Lorong Kenangan
Karya Ahmad Zaini

Hotel bintang dua. Bahkan mungkin tidak berlabel bintang sama sekali. Bayangkan, hotel tempat kumenginap ini tidak punya genset. Tidak punya energi listrik cadangan sebagai antisipasi jika listrik padam. Tidak ada shower. Mandi pakai gayung. Apalagi kamar ber-AC. Hotelku tidak ada fasilitas  mesin pengatur suhu itu. Bila udara gerah, kupakai selembar koran sebagai kipas. Kalau sudah terlalu parah gerahnya, jendela kubuka semua agar angin bisa masuk ke kamar. Meskipun malam hari.
Dari kamar hotel aku keluar mencari angin segar pagi hari. Kupakai sandal hotel putih tak berdaging. Aku menyusuri lorong hotel. Di kanan kiri kueja angka di setiap daun pintu kamar yang berjajar. Sesampai di ujung lorong tampak dua kursi tak berpenghuni. Kursi itu kosong meski terdapat meja kaca membujur di depannya.
Ada yang melintas dalam bayangku saat melihat dua kursi  yang kosong itu. Aku mengingat dirimu setahun yang lalu ketika kita berdua duduk di kursi yang berada di ujung lorong hotel. Kau bercerita tentang kegagalan keluargamu.
Saat itu aku tak berusaha bertanya kenapa keluargamu buyar. Namun, kau tetap bersemangat bercerita kepadaku tentang perilaku mantan suamimu yang suka semena-mena terhadapmu. Kau sering dipukul, disuruh tidur di luar kamar, bahkan kau pernah diturunkan di jalan tol saat terlibat percekcokan dalam mobil.
”Dia itu pecundang. Dia hanya menguras hartaku dan merenggut keperawananku. Setelah itu, rasa cinta dan kasih yang dulu digunakan untuk merayuku, lenyap begitu saja,” ucapmu dengan wajah terbakar amarah.
Aku menghela napas panjang. Secangkir kopi yang menemani percakapan kusruput. Aroma wanginya sudah tak terasa setelah mendengar kisah pilumu. Langit-langit hotel serasa tak meneduhkan lagi. Lorong hotel menjadi panas karena terbakar oleh ceritamu itu.
Aku melihat sorot matamu masih ada api amarah menyala-nyala. Bulat matamu memercikkan bara kebencian pada mantan suamimu. Kata-katamu mengepulkan asap. Kepulannya menyesakkan dadamu. Kau menyandarkan punggungmu di kursi yang kini sudah kusam. Kau menghela napas panjang untuk mengatur pernapasanmu. Desah kekesalan keluar-masuk dari tenggorokanmu. Kau seakan ingin menumpahkan semua gumpalan cerita kelam kepadaku. Kau hendak merogoh hatiku agar iba kepadamu.
”Semoga pengalaman pahitmu itu tidak terulang di masa mendatang,” kataku menimpali ceritamu.
Kau tertegun. Kau seperti kaget mendengar ucapanku. Kau sepertinya tak hanya ingin mendengar ucapan harapan dariku. Kau menghendaki aku mengucapkan sesuatu yang lebih dari itu. Buktinya bola matamu berputar kencang. Wajahmu mendongak ke langit-langit hotel. Kau mengarahkan pandanganmu pada lukisan bunga yang tergantung di dinding lorong.
”Aku ke kamar dulu,” pamitmu padaku.
”Silakan! Selamat beristirahat!” sahutku yang kaubalas dengan ketidaksiapan mendengar kata-kataku. Kau seperti berharap aku menahan pamitmu untuk melanjutkan kisah pilumu.
Kau membiarkan rambut lurusmu terurai sebahu. Ujung bawah bajumu kusut karena terjepit bokong dan kursi tak kau urus. Kau berdiri lalu berjalan begitu begitu saja tanpa menoleh sejenak pun kepadaku. Kau kecewa lantaran curhatmu tak terbalas ibaku.
Aku meninggalkan kursi di ujung lorong hotel. Aku masuk kamar sambil membawa secangkir kopi yang telah dingin. Aku menggeleng-gelengkan kepala setelah mendengar ceritamu. Aku heran kenapa kau dengan mudah mengobral cerita kegagalan keluargamu padaku.
Pintu kamar hotelku diketuk-ketuk dari luar. Mungkin itu petugas hotel yang hendak mengantar pesanan sarapan pagiku. Aku beringsut lantas membuka pintu kamar.
”Kau? Ada yang bisa kubantu?” tanyaku setelah tahu bahwa orang yang mengetuk pintu adalah dirimu.
”Buat sarapan pagimu,” katamu sembari menyodorkan sekotak nasi bebek kepadaku.
”Maaf, saya tidak berani mengonsumsi nasi bebek. Khawatir kolestrolku naik,” tolakku.
Kau membalikkan badan begitu saja tanpa sepatah kata pun. Kau seperti kecewa. Kau mendongkol karena sarapan pagi yang kau kirimkan kutolak.
Aku tidak bermaksud menolak pemberianmu. Aku menolak sarapan itu karena label nasi bebek di kemasannya. Aku beberapa bulan ini tidak berani mengonsumsi daging bebek setelah dokter yang memeriksaku waktu itu berpesan begitu padaku. Daging bebek mengandung kolestrol tinggi.
Aku membayangkan betapa kesalnya dirimu padaku. Dua kali kau kukecewakan. Cerita panjangmu hanya berbalas harapan serta penolakan sarapan pagi yang kauantarkan. Aku jadi tidak enak. Aku jadi kepikiran. Bagaimana rasanya hati perempuan yang kecewa karena keinginannya belum tercapai.
Kuhempaskan tubuhku di kasur yang membujur di kamar hotelku. Mataku terbayang-bayang wajahmu yang cemberut. Gigimu yang rapi tertutup rapat kedua bibir saat cerita panjangmu kubiarkan berlalu dari balasan yang kauharapkan dariku. Aku tak membayangkan betapa semakin remuk hatimu.
Pelayan hotel belum mengantar pesanan sarapan pagi. Perutku semakin keroncongan. Aku keluar hendak membeli sari roti buat pengganti pesananku.
”Tunggu, Mas! Akan ke mana?” tanyamu tiba-tiba dari belakangku.
”Akan membeli sari roti buat sarapan pagi,” jawabku.
Kau berhenti mengikutiku. Kedua kakimu tiba-tiba terpaku di lantai lorong hotel setelah kau dengar jawabanku. Aku menoleh ke arahmu. Kau sudah lenyap di balik pintu kamarmu. Aku merasa berat melanjutkan langkah kakiku. Tiba-tiba aku meresa tidak enak terhadapmu. Aku berhenti lalu kembali ke arah kamarmu yang kebetulan berdekatan dengan kamarku. Aku mematung di depan pintu kamarmu. Punggung jemari tangan kananku hendak mengetuk pintu kamarmu. Namun, niat itu tertahan. Aku tak berani mengetuk pintu nomor 313. Ternyata kau sudah muncul lebih dahulu di balik pintu dengan membawa sebungkus sari roti kepadaku.
”Buat sarapanmu,” katamu singkat. Aku terkejut. Kau sudah punya sari roti.
“Dari mana kau dapat Sari roti?”
”Saya membelinya kemarin sore. Kebetulan saya membeli dua. Yang satu sudah kumakan semalam,” jelasmu.
Aku tak mampu berkata-kata lagi. Aku berdiri mematung di depan pintu kamarmu sambil menimang sari roti yang kauberi. Aku tidak menyangka kau begitu perhatian kepa
daku.
Kedua kaki kuangkat. Aku beranjak dari depan pintu kamarmu. Kau menatapku dengan pandangan teduh mengikuti gerak langkah kakiku. Sorot matamu selalu mengikat ke mana diriku bergerak.
Sari roti kugeletakkan begitu saja di atas meja kamar hotelku. Roti itu kubiarkan membisu bersama botol-botol air minum yang isinya tinggal separoh. Pikiranku menerawang tinggi menyapu langit-langit kamar hotel. Wajahmu terbayang di antara gantungan lampu yang sinarnya tergeser oleh cahaya matahari. Aku mengusir bayang itu dengan mematikan saklar lampu. Bayang wajahmu buyar lalu menyelinap di balik lukisan pemandangan alam yang tergantung di dinding kamar hotel.
***
Aku berdiri memandangi dua kursi kosong di ujung lorong hotel. Aku tak memedulikan para pesera diklat yang berlalu di belakang punggungku. Mereka berbelok dan menuruni tangga lantai dua menuju ruang pertemuan di lantai dasar untuk menerima materi pagi itu. Dari beberapa peserta yang mengantre menuruni tangga, kusempat melihat dirimu di antara himpitan peserta yang lain. Kau menoleh ke arahku. Kau tersenyum sambil menyelinap di sela-sela peserta. Rambut sebahumu masih seperti yang dulu. Kau menyibak dua helai rambut yang sempat mengganggu penglihatanmu dengan tangan kananmu.
”Hermin, Hermin, tunggu!” seruku sambil berlari mengejarmu.
Kau hilang. Wajah ayumu tak terlihat. Rambut yang terurai sebahu tak berkelebat. Aku meneliti satu persatu peserta yang menuruni tangga itu dari belakang. Dirimu tidak terlihat dalam kerumunan para peserta. Aku menuruni tangga mendahului mereka. Aku berhenti lalu mengecek wajah-wajah mereka yang masih tersisa. Aku berharap dirimu ada di bagian belakang mereka. Namun, sampai orang terakhir yang menuruni tangga itu dirimu tidak juga kutemukan.
”Mbak, Mbak, maaf, kau lihat Hermin?” tanyaku pada seorang wanita yang bejalan paling belakang.
”Hermin siapa? Apakah Hermin yang kau maksud adalah guru yang berasal dari Sampang?” wanita itu balik bertanya. Wanita itu rupanya berasal dari daerah yang sama dengan dirimu. Sama-sama dari Sampang, Madura.
”Betul. Betul sekali. Hermin dari Sampang. Di mana dia? Tadi  saya melihatnya bersama-sama kalian,” sahutku dengan tergopoh-gopoh.
”Kau temannya?”
”Iya. Saya temannya sewaktu mengikuti pelatihan yang sama setahun yang lalu di tempat ini.”
”Mas, apakah tidak tahu kalau Mbak Hermin sudah meninggal empat bulan yang lalu?”
”Apa? Meninggal? Tidak. Tidak. Dia tadi berada di sini bersama-sama dengan kalian. Saya melihatnya. Dia sempat melihatku sambil tersenyum.”
”Mas salah orang. Mbak Hermin itu sudah meninggal. Dia dibunuh oleh mantan suaminya. Mantan suaminya cemburu karena Mbak Hermin sudah hidup bahagia bersama suami barunya.”
Setelah mendengar kisah yang lebih memilukan dari wanita itu, jiwaku terpukul. Aku tak mampu berkata apa-apa lagi. Aku hanya meremas-remas rambutku sambil melihat bayang-bayang wajahmu yang mengharap perhatian dariku setahun yang lalu. Aku menyesal karena waktu itu tak menggubris cerita ibamu.
Suasana di bawah tangga ujung lorong hotel telah sepi. Aku meninggalkan tangga itu menyusul mereka yang sudah menerima materi pelatihan di ruang pertemuan. Di setiap langkah kakiku seperti terdengar detak-detak sepatumu mengejarku untuk memberiku sari roti buat sarapan pagiku. Namun, semua itu hanyalah sisa-sisa bayangan masa laluku yang merasa bersalah padamu. Aku hanya berdoa semoga kau dapat hidup damai di alam barumu. (*)

Lamongan, Oktober 2019

*Ahmad Zaini merupakan guru SMK Negeri 1 Lamongan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar