Domba-Domba Surga
Cerpen karya Ahmad Zaini
Jelang senja iring-iringan domba dituntun pemiliknya ke
halaman masjid. Sinar matahari sore menerpa bulu-bulu domba hingga menjadi
seperti kilauan emas. Domba-domba itu diikat pada patok. Domba yang telah
dihias dengan selembar kain di punggung dan untaian bunga kenanga terlihat
pasrah. Domba-domba surga dibariskan rapi dan diberi tanda nama pengurbannya.
Anak-anak berkerumun mendekati domba-domba. Mereka
antusias melihat hewan kurban yang akan dipotong atau disembelih besok pagi
setelas salat Iduladha. Anak-anak penasaran pada rupa domba pengganti Ismail
dalam kisah yang sering disampaikan oleh para gurunya. Mereka ingin tahu jelas
bentuk domba surga.
Rasa penasaran anak-anak memang beralasan. Perasaan
mereka selalu hanyut dalam kisah perjuangan Ibrahim alaihi salam. Mereka
menangis haru bercampur takut ketika gurunya di madrasah menceritakan ujian
kesabaran yang ditimpakan Allah kepada kholilullah Ibrahim.
”Andai Allah tidak menggantinya dengan domba dari surga,
maka Ismail akan disembelih oleh Ibrahim, ayah sendiri,” kata Ustadz Azwar di
depan anak-anak dalam pembelajaran di madrasah.
Mereka diam dan menahan napas. Anak-anak membayangkan
andai Ismail jadi disembelih ayahnya, tentu setiap Iduladha mereka yang akan
dikurbankan orang tuanya. Betapa sedihnya anak-anak bila mengetahui waktu
kematiannya karena dijadikan kurban orang tuanya.
“Alhadulillah Allah menggantinya dengan domba
sehingga Nabi Ismail dan Nabi Ibrahim
selamat dan lulus dari ujian kesabaran,” sambung ustadz idola anak-anak
ini.
”Alhamdulillah, kita selamat! Kita tidak tidak
dijadikan kurban orang tua kita,” ucap mereka dengan senyum mengembang.
Anak-anak mengamati domba-domba dengan teliti. Mereka
memegang bulu, kuku, dan tanduknya. Kain putih dan untaian bunga di punggung
tidak lepas dari pengamatannya. Salah satu dari mereka terkejut karena mengenal
domba yang dipegangnya.
”Lho, ini dombaku. Kenapa di sini? Katanya ini
domba-domba dari surga?” kata Dendy kaget.
”Benar sekali. Ini domba kurban ayahmu. Kamu keberatan
domba kesayanganmu dikurbankan oleh ayahmu? Kalau tidak boleh, berarti kamu penggantinya,”
goda salah seorang panitia kurban kepada anak tersebut.
”Tidak, tidak. Aku ikhlas dombaku dikurbankan ayah,”
sahut Dendy dengan cekatan.
Anak-anak lainnya menertawakan Dendy. Mereka merasa geli
dan lucu melihat ekspresi temannya yang ketakutan saat digoda salah seorang
panitia.
Magrib telah tiba. Azan berkumandang dari corong masjid. Anak-anak
berlarian pulang untuk mandi dan ganti pakaian. Sesampai di rumah mereka
dimarahi orang tuanya karena sejak sore capek mencari-cari mereka.
”Dari mana saja maghrib baru pulang?” tanya ayah Dendy
dengan kesal
”Melihat domba kurban di masjid,” jawab Dendy.
”Cepat mandi kemudian kembali ke masjid untuk salat
maghrib kemudian takbiran,” seru ayahnya.
Dendy langsung menuruti perintah ayahnya dengan segera.
Dia tidak berani menunda-nunda perintah ayahnya. Hal ini dilakukan sebagai
ungkapan syukur karena tidak jadi dijadikan kurban orang tuanya. Cukup domba
kesayangannya yang dikurbankan oleh sang ayah.
Tak sampai lima menit Dendy mandi lalu memakai baju,
sarung, dan kopyah. Dia berlari ke masjid mumpung Mbah Salim belum iqomah.
Dia berkumpul dengan teman-temannya lagi melihat-lihat domba yang berbaris rapi
dan pasrah diikat pada tiang atau patok.
”Kasihan, ya, domba-domba itu,” kata Dendy pada
teman-temannya.
”Kalau kamu kasihan, ganti kamu saja yang dikurbankan,”
tiba-tiba suara ayah Dendy muncul dari belakang anak-anak. Dia membubarkan
mereka dari kerumunan agar segera masuk dan salat jamaah maghrib dalam masjid.
”Kabur...,” katanya serentak sambil berlari menuju masjid
bergabung orang tua mereka melaksanakan salat maghrib berjamaah.
Setelah melaksanakan salat maghrib anak-anak tidak
langsung buyar seperti biasanya. Mereka tetap duduk meskipun sambil bergurau bersama
teman-temannya. Anak-anak mengumandangkan takbir mengikuti lantunan merdu
orang-orang dewasa yang duduk bersila di dekat mihrab masjid. Mereka saling
bersahutan dengan suara lantang agar suaranya sampai di corong masjid.
Anak-anak ingin orang tuanya bangga mendengar suara takbiran mereka di
masjid.
Suasana malam di kampung sangat istimewa. Berbeda dengan
malam-malam biasanya. Malam ini lantunan takbir terdengar di setiap sudut
kampung. Dari surau-surau tiap lingkungan, masjid, dan warga yang takbir
keliling, mereka memuji dan mengagung-agungkan asma Allah. Mereka secara
bergantian melantukan takbir dengan khusuk hingga tak terasa fajar telah tiba.
Dendy dan teman-teman tidak mau ketinggalan. Bocil-bocil
ini betah begadang semalam suntuk bersama orang-orang dewasa bertakbiran.
Mereka tidak mau melepas malam istimewa ini begitu saja. Mereka ingin menjadi
bagian dari cerita Mbah Modin saat hendak memimpin salat Iduladha. Biasanya
sebelum salat, Mbah Modin berdiri di depan jamaah memberi nasihat dan mengingatkan
tata cara salat Id. Mbah Modin dalam sambutannya selalu memuji mereka yang bertakbiran semalam suntuk. Nah, Dendy
dan kawan-kawan ingin menjadi bagian yang dipuji Mbah Modin.
Mbah Modin selesai memimpin salat Iduladha. Beliau
menghimbau kepada para jamaah agar pulang berganti pakaian dan segera kembali
ke masjid dengan membawa senjata tajam: kapak, golok, pisau dan sejenisnya.
Mereka diimbau membantu panitia dalam pemotongan hewan kurban di halaman
masjid. Semakin banyak yang membantu semakin cepat membagikan kepada warga
yang membutuhkan daging kurban.
Anak-anak berkerumun. Mereka menyaksikan penyembelihan
hewan kurban. Satu per satu domba surga dituntun oleh panitia lalu diarahkan
dan dirobohkan ke lubang penyembelihan. Anak-anak diam. Mereka menutup mulut
rapat-rapat agar giginya tidak terlihat. Padahal, Mbah Modin setiap kali akan
memotong domba selalu membaca takbir dan harus ditirukan oleh orang-orang yang
berada di sekelilingnya.
”Anak-anak, kenapa kalian diam? Ayo, ikut takbiran,”
ajak Ustadz Azwar.
Anak-anak bergeming. Mereka menggeleng-gelengkan kepala.
Mereka tetap menutup mulut rapat-rapat sambil memelototi kilauan pedang Mbah
Modin yang menempel di leher domba. Anak-anak takut kelihatan giginya. Pedang
tajam Mbah Modin ditekan dan digerak-gerakkan di leher domba. Darah segar muncrat
dari urat lehernya yang putus lalu mengalir ke lubang lewat ujung pedang Mbah
Modin.
Setelah Mbah Modin benar-benar selesai memotong domba,
anak-anak mulai lega. Dia membuka mulutnya sambil melepas napas yang sempat terhambat.
Anak-anak bergumul dengan kesan masing-masing saat mata pedang Mbah Modin
memenggal leher domba. Ada yang takut, kaget, dan haru. Adapula yang sampai
menangis seperti yang dialami Dendy. Dia
membayangkan andai Nabi Ismail jadi disembelih ayahnya, pasti saat ini dia di
posisi domba itu.
”Anak-anak, kenapa kalian tadi menutup mulut semua?”
tanya Ustadz Azwar kepada anak-anak.
”Takut gigi kami terlihat. Kata orang-orang kalau gigi
terlihat saat penyembelihan kurban, apabila tanggal, maka gigi tidak bisa
tumbuh lagi,” kata Dendy menjelaskan kepada ustadznya dengan polos.
”Hahaha. Tidak apa-apa. Nanti diganti gigi domba. Semua itu
hanyalah mitos belaka. Sekarang kita takbiran bersama mengikuti Mbah Modin,”
pinta Ustadz Azwar.
”Baik, Ustadz!” jawab mereka serempak.
Satu demi satu domba dipotong oleh Mbak Modin dengan
iringan takbir. Setelah menyembelih kurban, mereka menguliti, memotong-motong
tulang, dan mengiris-iris daging menjadi beberapa bagian. Beberapa petugas
pendistribusian daging siap menunggu perintah. Petugas-petugas ini akan
membagikan daging kurban kapada yang berhak menerimanya terutama fakir miskin.
”Ustadz, domba-domba ini apakah pada hari kiamat bisa
hidup lagi?” tanya Dendy kepada Ustadz Azwar.
”Bisa. Domba-domba ini akan hidup dan menjadi tunggangan
para pengurbannya masuk ke surga.”
”Jadi, dombanya juga masuk surga?”
”Benar. Dombanya akan masuk surga bersama pengurbannya.”
”Wah, enak, ya, jadi domba kurban. Bisa masuk
surga.”
”Dendy, kamu mau jadi domba?” goda Ustadz Azwar.
”Tidak, tidak. Saya tidak mau jadi domba.”
”Jadi manusia juga bisa masuk surga. Syaratnya harus mau berkorban
dengan ikhlas dalam beribadah dan menegakkan ajaran Allah,” pungkas ustadz
bercambang ini.
Matahari hampir
mencapai tengah langit. Sengatannya juga sudah terasa. Para panitia kurban
membersihkan kotoran dan sisa-sisa perabot kurban lainnya. Para lelaki berotot
kekar juga telah merampungkan tugas mendistribusikan daging kurban kepada yang
berhak menerimanya.
Dendy dan teman-teman membubarkan diri. Mereka kembali ke
rumah masing-masing dengan membawa bungkusan kalak yang diberi oleh
panitia. Mereka mendapat hikmah dan pelajaran sangat banyak dari pelaksanakan
kurban Iduladha. Anak-anak bercita-cita saat dewasa nanti akan berkurban
sebagaimana yang dilakukan oleh para orang tuanya. (*)
Wanar, 1 Juli 2023
Penulis merupakan guru di SMKN 1 Lamongan. Dia aktif
sebagai anggota Komunistas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) serta Forum
Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L). Beberapa karyanya beredar di berbagai
media cetak dan online.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar