Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Kamis, 17 Agustus 2023

Domba-Domba Surga, Radar Bjn, 9 Juli 2023

 


Domba-Domba Surga

Cerpen karya Ahmad Zaini

 

Jelang senja iring-iringan domba dituntun pemiliknya ke halaman masjid. Sinar matahari sore menerpa bulu-bulu domba hingga menjadi seperti kilauan emas. Domba-domba itu diikat pada patok. Domba yang telah dihias dengan selembar kain di punggung dan untaian bunga kenanga terlihat pasrah. Domba-domba surga dibariskan rapi dan diberi tanda nama pengurbannya.

Anak-anak berkerumun mendekati domba-domba. Mereka antusias melihat hewan kurban yang akan dipotong atau disembelih besok pagi setelas salat Iduladha. Anak-anak penasaran pada rupa domba pengganti Ismail dalam kisah yang sering disampaikan oleh para gurunya. Mereka ingin tahu jelas bentuk domba surga.

Rasa penasaran anak-anak memang beralasan. Perasaan mereka selalu hanyut dalam kisah perjuangan Ibrahim alaihi salam. Mereka menangis haru bercampur takut ketika gurunya di madrasah menceritakan ujian kesabaran yang ditimpakan Allah kepada kholilullah Ibrahim.

”Andai Allah tidak menggantinya dengan domba dari surga, maka Ismail akan disembelih oleh Ibrahim, ayah sendiri,” kata Ustadz Azwar di depan anak-anak dalam pembelajaran di madrasah.

Mereka diam dan menahan napas. Anak-anak membayangkan andai Ismail jadi disembelih ayahnya, tentu setiap Iduladha mereka yang akan dikurbankan orang tuanya. Betapa sedihnya anak-anak bila mengetahui waktu kematiannya karena dijadikan kurban orang tuanya.

Alhadulillah Allah menggantinya dengan domba sehingga Nabi Ismail dan Nabi Ibrahim  selamat dan lulus dari ujian kesabaran,” sambung ustadz idola anak-anak ini.

Alhamdulillah, kita selamat! Kita tidak tidak dijadikan kurban orang tua kita,ucap mereka dengan senyum mengembang.

Anak-anak mengamati domba-domba dengan teliti. Mereka memegang bulu, kuku, dan tanduknya. Kain putih dan untaian bunga di punggung tidak lepas dari pengamatannya. Salah satu dari mereka terkejut karena mengenal domba yang dipegangnya.

Lho, ini dombaku. Kenapa di sini? Katanya ini domba-domba dari surga?” kata Dendy kaget.

”Benar sekali. Ini domba kurban ayahmu. Kamu keberatan domba kesayanganmu dikurbankan oleh ayahmu? Kalau tidak boleh, berarti kamu penggantinya,” goda salah seorang panitia kurban kepada anak tersebut.

”Tidak, tidak. Aku ikhlas dombaku dikurbankan ayah,” sahut Dendy dengan cekatan.

Anak-anak lainnya menertawakan Dendy. Mereka merasa geli dan lucu melihat ekspresi temannya yang ketakutan saat digoda salah seorang panitia.

Magrib telah tiba. Azan berkumandang dari corong masjid. Anak-anak berlarian pulang untuk mandi dan ganti pakaian. Sesampai di rumah mereka dimarahi orang tuanya karena sejak sore capek mencari-cari mereka.

”Dari mana saja maghrib baru pulang?” tanya ayah Dendy dengan kesal

”Melihat domba kurban di masjid,” jawab Dendy.

”Cepat mandi kemudian kembali ke masjid untuk salat maghrib kemudian takbiran,” seru ayahnya.

Dendy langsung menuruti perintah ayahnya dengan segera. Dia tidak berani menunda-nunda perintah ayahnya. Hal ini dilakukan sebagai ungkapan syukur karena tidak jadi dijadikan kurban orang tuanya. Cukup domba kesayangannya yang dikurbankan oleh sang ayah.

Tak sampai lima menit Dendy mandi lalu memakai baju, sarung, dan kopyah. Dia berlari ke masjid mumpung Mbah Salim belum iqomah. Dia berkumpul dengan teman-temannya lagi melihat-lihat domba yang berbaris rapi dan pasrah diikat pada tiang atau patok.

”Kasihan, ya,  domba-domba itu,” kata Dendy pada teman-temannya.

”Kalau kamu kasihan, ganti kamu saja yang dikurbankan,” tiba-tiba suara ayah Dendy muncul dari belakang anak-anak. Dia membubarkan mereka dari kerumunan agar segera masuk dan salat jamaah maghrib dalam masjid.

”Kabur...,” katanya serentak sambil berlari menuju masjid bergabung orang tua mereka melaksanakan salat maghrib berjamaah.

Setelah melaksanakan salat maghrib anak-anak tidak langsung buyar seperti biasanya. Mereka tetap duduk meskipun sambil bergurau bersama teman-temannya. Anak-anak mengumandangkan takbir mengikuti lantunan merdu orang-orang dewasa yang duduk bersila di dekat mihrab masjid. Mereka saling bersahutan dengan suara lantang agar suaranya sampai di corong masjid. Anak-anak ingin orang tuanya bangga mendengar suara takbiran mereka di masjid.

Suasana malam di kampung sangat istimewa. Berbeda dengan malam-malam biasanya. Malam ini lantunan takbir terdengar di setiap sudut kampung. Dari surau-surau tiap lingkungan, masjid, dan warga yang takbir keliling, mereka memuji dan mengagung-agungkan asma Allah. Mereka secara bergantian melantukan takbir dengan khusuk hingga tak terasa fajar telah tiba.

Dendy dan teman-teman tidak mau ketinggalan. Bocil-bocil ini betah begadang semalam suntuk bersama orang-orang dewasa bertakbiran. Mereka tidak mau melepas malam istimewa ini begitu saja. Mereka ingin menjadi bagian dari cerita Mbah Modin saat hendak memimpin salat Iduladha. Biasanya sebelum salat, Mbah Modin berdiri di depan jamaah memberi nasihat dan mengingatkan tata cara salat Id. Mbah Modin dalam sambutannya selalu memuji mereka yang  bertakbiran semalam suntuk. Nah, Dendy dan kawan-kawan ingin menjadi bagian yang dipuji Mbah Modin.

Mbah Modin selesai memimpin salat Iduladha. Beliau menghimbau kepada para jamaah agar pulang berganti pakaian dan segera kembali ke masjid dengan membawa senjata tajam: kapak, golok, pisau dan sejenisnya. Mereka diimbau membantu panitia dalam pemotongan hewan kurban di halaman masjid. Semakin banyak yang membantu semakin cepat membagikan kepada warga yang membutuhkan daging kurban.

Anak-anak berkerumun. Mereka menyaksikan penyembelihan hewan kurban. Satu per satu domba surga dituntun oleh panitia lalu diarahkan dan dirobohkan ke lubang penyembelihan. Anak-anak diam. Mereka menutup mulut rapat-rapat agar giginya tidak terlihat. Padahal, Mbah Modin setiap kali akan memotong domba selalu membaca takbir dan harus ditirukan oleh orang-orang yang berada di sekelilingnya.

”Anak-anak, kenapa kalian diam? Ayo, ikut takbiran,” ajak Ustadz Azwar.

Anak-anak bergeming. Mereka menggeleng-gelengkan kepala. Mereka tetap menutup mulut rapat-rapat sambil memelototi kilauan pedang Mbah Modin yang menempel di leher domba.  Anak-anak takut kelihatan giginya. Pedang tajam Mbah Modin ditekan dan digerak-gerakkan di leher domba. Darah segar muncrat dari urat lehernya yang putus lalu mengalir ke lubang lewat ujung pedang Mbah Modin.

Setelah Mbah Modin benar-benar selesai memotong domba, anak-anak mulai lega. Dia membuka mulutnya sambil melepas napas yang sempat terhambat. Anak-anak bergumul dengan kesan masing-masing saat mata pedang Mbah Modin memenggal leher domba. Ada yang takut, kaget, dan haru. Adapula yang sampai menangis seperti yang dialami Dendy.  Dia membayangkan andai Nabi Ismail jadi disembelih ayahnya, pasti saat ini dia di posisi domba itu.

”Anak-anak, kenapa kalian tadi menutup mulut semua?” tanya Ustadz Azwar kepada anak-anak.

”Takut gigi kami terlihat. Kata orang-orang kalau gigi terlihat saat penyembelihan kurban, apabila tanggal, maka gigi tidak bisa tumbuh lagi,” kata Dendy menjelaskan kepada ustadznya dengan polos.

”Hahaha. Tidak apa-apa. Nanti diganti gigi domba. Semua itu hanyalah mitos belaka. Sekarang kita takbiran bersama mengikuti Mbah Modin,” pinta Ustadz Azwar.

”Baik, Ustadz!” jawab mereka serempak.

Satu demi satu domba dipotong oleh Mbak Modin dengan iringan takbir. Setelah menyembelih kurban, mereka menguliti, memotong-motong tulang, dan mengiris-iris daging menjadi beberapa bagian. Beberapa petugas pendistribusian daging siap menunggu perintah. Petugas-petugas ini akan membagikan daging kurban kapada yang berhak menerimanya terutama fakir miskin.

”Ustadz, domba-domba ini apakah pada hari kiamat bisa hidup lagi?” tanya Dendy kepada Ustadz Azwar.

”Bisa. Domba-domba ini akan hidup dan menjadi tunggangan para pengurbannya masuk ke surga.”

”Jadi, dombanya juga masuk surga?”

”Benar. Dombanya akan masuk surga bersama pengurbannya.”

Wah, enak, ya, jadi domba kurban. Bisa masuk surga.”

”Dendy, kamu mau jadi domba?” goda Ustadz Azwar.

”Tidak, tidak. Saya tidak mau jadi domba.”

”Jadi manusia juga bisa masuk surga. Syaratnya harus mau berkorban dengan ikhlas dalam beribadah dan menegakkan ajaran Allah,” pungkas ustadz bercambang ini.

 Matahari hampir mencapai tengah langit. Sengatannya juga sudah terasa. Para panitia kurban membersihkan kotoran dan sisa-sisa perabot kurban lainnya. Para lelaki berotot kekar juga telah merampungkan tugas mendistribusikan daging kurban kepada yang berhak menerimanya.

Dendy dan teman-teman membubarkan diri. Mereka kembali ke rumah masing-masing dengan membawa bungkusan kalak yang diberi oleh panitia. Mereka mendapat hikmah dan pelajaran sangat banyak dari pelaksanakan kurban Iduladha. Anak-anak bercita-cita saat dewasa nanti akan berkurban sebagaimana yang dilakukan oleh para orang tuanya. (*)

 

Wanar, 1 Juli 2023

Penulis merupakan guru di SMKN 1 Lamongan. Dia aktif sebagai anggota Komunistas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) serta Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L). Beberapa karyanya beredar di berbagai media cetak dan online.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar