Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Kamis, 17 Agustus 2023

Pesan Selembar Daun




Pesan Selembar Daun

Cerpen karya Ahmad Zaini

 

Di ruang kerja berfasilitas lengkap Jarwito duduk berwibawa. Dia menyusun agenda kerja di jurnal harian. Jarwito orang yang disiplin. Dia tidak pernah menganggur. Tidak ada waktu yang terbuang sia-sia pada saat jam-jam kerja. Selalu ada yang dikerjakan Jarwito. Jangankan bermain game online, memegang gawai saja tidak pernah. Kecuali apabila ada panggilan kedinasan. Dia menjadi anutan para bawahan. Terutama kedisiplinan. Kedisplinannyalah yang telah mendudukkan Jarwito di zona nyaman sebuah jabatan. Yakni, sebagai kepala bagian.

Hampir sepuluh tahun Jarwito duduk di kursi nyaman. Setiap pagi dia memberikan instruksi pekerjaan kepada bawahannya. Dia membagi tugas kepada mereka yang setiap hari membantu menyelesaikan pekerjaan sebagaimana tertulis di jurnal harian.

”Hari ini kamu selesaikan laporan kegiatan bantuan sosial. Nanti ada supervisi dari atasan,” perintah Jarwito ke stafnya.

”Baik, Bapak. Hari ini akan saya selesaikan,” kata sanggup bawahannya.

”Saya tunggu pukul sepuluh,” sambung Jarwito dibalas anggukan oleh stafnya tersebut.

Jarwito menghampiri staf-staf lain untuk memberi tugas hari itu. Para staf Jarwito dengan cekatan dan ikhlas menerima tugas-tugas. Mereka mengerjakannya sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan oleh pemimpinnya. Setelah selesai melaksanakan tugas, mereka menyodorkan hasil pekerjaannya kepada Jarwito guna dikoreksi dan ditandatangani.

Begitulah aktivitas Jarwito sehari-hari. Datang ke kantor, menyusun jurnal harian, membagi tugas kepada bawahan, mengoreksi, lalu menandatanganinya. Dia berada di posisi nyaman dalam jabatan.

Beberapa hari ini Jarwito murung. Dia bekerja tidak secemerlang hari-hari sebelumnya. Dahinya berkerut. Wajahnya selalu ditekuk. Tangannya tidak seterampil kemarin saat menyusun jurnal kemudian membagi tugas kepada bawahan. Ada semacam penurunan kinerja. Hal seperti itu terbaca oleh atasannya. Jarwito dipanggil dan dimintai keterangan terkait beberapa pekerjaan Jarwito yang melebihi batas waktu atau deadline.

”Banyak perubahan terjadi dalam kinerjamu. Beberapa tugas terlambat kamu sodorkan padaku. Bahkan, ada beberapa tugas yang terbengkalai menumpuk di meja kerjamu. Kenapa?” tanya atasan Jarwito.

”Saya mengakui ada penurunan kinerja diri saya. Namun, hanya sebagaian kecil. Banyak tugas lain yang mampu saya kerjakan dengan baik.”

”Kerja itu harus sampai tuntas. Bagian-bagian kecil jika dibiarkan akan menjadikan beban kerja kamu semakin berat. Apabila setiap hari ada tugas yang tidak terselesaikan, maka besoknya tugas kamu akan semakin menumpuk.”

”Baik, Pak. Saya akan berusaha meningkatkan kinerja saya lagi,” janji Jarwito.

Jarwito mendengar kabar bahwa bulan depan ada mutasi jabatan. Salah satu posisi yang akan dimutasi adalah posisi Jarwito saat ini. Pemimpin Jarwito beralasan ada mutasi baru dari luar yang lebih berpengalaman dan beretos kerja lebih baik daripada Jarwito. Slentingan kabar tersebut terdengar oleh Jarwito. Tidak heran bila Jarwito beberapa hari terakhir ini selalu murung. Dia takut posisinya benar-benar digantikan oleh orang baru itu.

”Jarwito, Jarwito. Kamu ini seperti anak kecil. Mutasi jabatan itu hal biasa di instansi. Penempatan posisi pegawai itu hak pemimpin. Sebagai bawahan, ya, harus legowo bila atasan berkehendak seperti itu,” kata Sentanu, rekannya yang pernah mengalami hal serupa.

”Tapi, selama ini saya...”

”Kamu tinggal instruksi bawahanmu untuk mengerjakan tugasmu kemudian pascamutasi kamu dikembalikan di posisi bawahan lalu diperintah oleh atasan barumu?” potong Sentanu.

Jarwito diam. Sentanu seperti mengetahui gejolak dalam hatinnya. Sentanu bisa menebak masalah yang membuatnya jadi termenung akhir-akhir ini. Jarwito tidak berani menjawab pertanyaan menohok Sentanu. Akan dijawab ya, dia takut dikatakan gila jabatan. Akan dijawab tidak, dia takut membohongi isi hatinya.

Lelaki yang menjabat kebagai kepala bagian ini gelisah. Dia berdiri lalu duduk lagi di belakang meja kerjanya. Terkadang dia mondar-mandir di ruang kerjanya seperti orang kebingungan. Tumpukan tugas di meja dipandang, diambil, lalu diletakkan lagi. Dia duduk, mendesah, lalu menghela napas panjang.

”Permisi, Pak. Ini laporannya sudah selesai.” seorang bawahannya tiba-tiba masuk ruang kerja sambil menyodorkan laporan untuk ditandatanganinya.

”Letakkan situ,” ujarnya sambil menunjuk tumpukan kertas lain di atas mejanya.

”Baik, Pak,” simpulnya.

Jiwa Jarwito semakin berontak. Dia mengkhawatirkan posisinya benar-benar dimutasi menjadi bawahan lagi. Pastinya dia akan diperintah atasan dan hanya bisa berkata baik pak, permisi pak untuk menghargai posisi atasannya. Sesuatu yang sangat bertolak belakang dengan posisi Jarwito saat ini.

Di bawah beringin besar di belakang kantor Jarwito duduk. Dia membawa segelas kopi dan sebungkus rokok lalu diletakkan di kursi santai di bawah beringin. Dia menyandarkan punggung sembari menyuruput kopi pahit disela-selai dengan mengisap rokok. Kepul asap disemburkan dari mulutnya. Asap itu terbang tinggi lalu berpendar ke beberapa arah mata angin. Wajah Jarwito mendongak. Dia menatap daun-daun menempel di dahan beringin. Daun-daun itu bergoyang lemah gemulai seiring hembusan angin siang. Angan-angannya terbang melayang ke angkasa. Jarwito berandai-andai apabila benar-benar posisinya kembali menjadi bawahan. Dia tidak membayangkan dirinya yang semula hanya memerintah kemudian menjadi diperintah.

Lamunan Jarwito ambyar ketika tiba-tiba ada daun luruh mengecup wajahnya. Dia bangkit lalu mengibaskan tangan kanannya mengusir daun yang menempel di wajahnya. Jarwito takut jika yang baru saja menempel di wajahnya itu ulat gatal atau serangga. Eh, ternyata hanya daun, katanya dalam hati.

Selembar daun luruh itu dipungut. Dia memegangnya dengan tangan kanan. Daun tersebut diangkat lalu didekatkan wajahnya. Tiba-tiba dia mendengar bisikan hati tentang daun itu.

Daun luruh itu menggugah kesadaran Jarwito. Ternyata selembar daun yang menempel di dahan dan ranting pohon tak selamanya akan segar bertengger di posisinya. Daun itu akan mengalami perubahan wujud dari semula tunas, menjadi daun muda, daun tua, layu, kemudian rontok. Setelah itu, akan tumbuh tunas baru mengisi pori dahan kosong kemudian menjadi daun segar dan lebat tempat orang-orang berteduh di bawahnya.

Jarwito berbipikir bahwa jabatan juga akan demikian. Tidak selamanya pegawai itu berada di zona nyaman alias menjadi pemimpin atau kepala bagian. Seiring perjalanan waktu suatu saat juga akan pindah posisi. Bisa menjadi bawahan atau bahkan bisa menjadi orang sipil lagi.

Hati keras Jarwito atas kekhawatiran direposisi oleh atasan luluh seketika. Hanya melalui pesan selembar daun, Jarwito sadar bahwa jabatan bukanlah sesuatu yang abadi. Jabatan akan berubah sesuai dengan masanya. Tidak perlu jabatan dipertahankan mati-matian. Setinggi-tingginya daun apabila musim rontok, jatuhnya juga akan ke tanah. Senyaman-nyamannya jabatan pasti akan berakhir jua. Bersiap-siap menjadi orang biasa. Orang jelata lagi.

”Pak Jarwito, dipanggil kepala,” kata seorang stafnya.

”Baik. Saya ke sana,” sahutnya.

Hati Jarwito berdebar-debar, tapi tidak sedasyat sebelumnya. Debarannya landai seperti sebelum muncul wacana mutasi jabatan. Puntung rokok di buang. Cangkir kopi kosong dibawa masuk ruang kerja. Jarwito merapikan rambut dan pakaian sebelum menemui kepala kantornya.

  Jarwito berjalan menuju ruang kepala kantor dengan pasrah. Dia siap menerima apa pun keputusan kepala kantor. Dia siap diposisikan di mana saja oleh kepala. Dia juga sudah siap lahir batin jika benar-benar diposisikan sebagai bawahan.  Jarwito akan mengikuti kebijakan kepala kantor sebagaimana air mengalir.

”Tahu maksud pemanggilan saya ini,” tanya kepala kantor.

Jarwito membenamkan wajahnya. Kekhawatiran itu muncul lagi setelah mendengar pertanyaan kepala kantor. Bayang-bayang menjadi bawahan yang disuruh atasan berkecamuk lagi dalam dirinya.

”Tidak tahu, Pak,” jawab Jarwito dengan suara berat.

”Pak Jarwito, kenapa wajahmu pucat pasi. Ada apa?”

“Tidak ada apa-apa, Pak.”

”Tapi, wajah dan sorot matamu seperti menyembunyikan sesuatu.”

”Sungguh, Pak. Tidak ada yang saya sembunyikan.”

”Syukurlah kalau begitu.”

Hati Jarwito lega karena bisa mengelak dari terkaan kepala kantor. Namun, di dadanya masih ada sesuatu yang membebani. Sesuatu yang akan disampaikan oleh kepala kantor kepada dirinya.

Kepala kantor memulai pembicaraan terkait pemanggilan Jarwito. Dengan bahasa halus dan bernada datar serta raut wajah berwibawa, dia menyampaikan rencana mutasi jabatan. Jarwito mendengarkan dengan saksama. Dia menunggu kepala kantor menyebut namanya. Dia mengingat pesan selembar daun jatuh mengecup wajahnya. Dia menunggu keputusan kepala kantor dengan pasrah.

”Pak Jarwito sosok senior dan berintegritas tinggi dalam menjalankan tugas. Sosok anutan para bawahan. Dengan pertimbangan ini, saya tetapkan Pak Jarwito di posisi saat ini sebagai kepala bagian.”

”Tarima kasih atas kepecayaan Bapak,” ucap Jarwito.

Rasa penasaran Jarwito terjawab. Mutasi jabatan yang dilakukan kepala kantor hanya berlaku di tingkat bawahan. Dia masih dipercaya pemimpin di posisi yang sudah dipegang cukup lama. Padahal, semenjak peristiwa daun jatuh itu dia siap diposisikan di mana pun. Dia siap mengabdi untuk negeri sebagai apa pun.

Jabatan itu amanah Tuhan. Amanah harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Jarwito memegang prinsip bahwa apa pun yang diamanahkan Tuhan kepada manusia, kelak di akhirat akan dimintai pertanggungjawaban. Jarwito berjanji dalam hati akan melaksanakan amanah itu dengan sebaik-baiknya agar kelak dapat mempertanggungjawabannya kepada Tuhan. (*)

Lamongan, 5 Mei 2023

 

Ahmad Zaini, cerpenis juga sebagai guru di SMKN 1 Lamongan. Beberapa karyanya beredar di berbagai media cetak dan online serta telah menerbitkan beberapa buku kumpulan cerpen. Saat ini berdomisili di Wanar, Pucuk, Lamongan, Jawa Timur.

  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  

  

 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar