Cerpen karya
Ahmad Zaini
Di ruang kerja berfasilitas lengkap Jarwito duduk
berwibawa. Dia menyusun agenda kerja di jurnal harian. Jarwito orang yang
disiplin. Dia tidak pernah menganggur. Tidak ada waktu yang terbuang sia-sia
pada saat jam-jam kerja. Selalu ada yang dikerjakan Jarwito. Jangankan bermain game
online, memegang gawai saja tidak pernah. Kecuali apabila ada panggilan
kedinasan. Dia menjadi anutan para bawahan. Terutama kedisiplinan.
Kedisplinannyalah yang telah mendudukkan Jarwito di zona nyaman sebuah jabatan.
Yakni, sebagai kepala bagian.
Hampir sepuluh tahun Jarwito duduk di kursi nyaman.
Setiap pagi dia memberikan instruksi pekerjaan kepada bawahannya. Dia membagi
tugas kepada mereka yang setiap hari membantu menyelesaikan pekerjaan
sebagaimana tertulis di jurnal harian.
”Hari ini kamu selesaikan laporan kegiatan bantuan sosial.
Nanti ada supervisi dari atasan,” perintah Jarwito ke stafnya.
”Baik, Bapak. Hari ini akan saya selesaikan,” kata
sanggup bawahannya.
”Saya tunggu pukul sepuluh,” sambung Jarwito dibalas
anggukan oleh stafnya tersebut.
Jarwito menghampiri staf-staf lain untuk memberi tugas
hari itu. Para staf Jarwito dengan cekatan dan ikhlas menerima tugas-tugas.
Mereka mengerjakannya sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan oleh
pemimpinnya. Setelah selesai melaksanakan tugas, mereka menyodorkan hasil pekerjaannya
kepada Jarwito guna dikoreksi dan ditandatangani.
Begitulah aktivitas Jarwito sehari-hari. Datang ke
kantor, menyusun jurnal harian, membagi tugas kepada bawahan, mengoreksi, lalu
menandatanganinya. Dia berada di posisi nyaman dalam jabatan.
Beberapa hari ini Jarwito murung. Dia bekerja tidak
secemerlang hari-hari sebelumnya. Dahinya berkerut. Wajahnya selalu ditekuk.
Tangannya tidak seterampil kemarin saat menyusun jurnal kemudian membagi tugas
kepada bawahan. Ada semacam penurunan kinerja. Hal seperti itu terbaca oleh
atasannya. Jarwito dipanggil dan dimintai keterangan terkait beberapa pekerjaan
Jarwito yang melebihi batas waktu atau deadline.
”Banyak perubahan terjadi dalam kinerjamu. Beberapa tugas
terlambat kamu sodorkan padaku. Bahkan, ada beberapa tugas yang terbengkalai
menumpuk di meja kerjamu. Kenapa?” tanya atasan Jarwito.
”Saya mengakui ada penurunan kinerja diri saya. Namun,
hanya sebagaian kecil. Banyak tugas lain yang mampu saya kerjakan dengan baik.”
”Kerja itu harus sampai tuntas. Bagian-bagian kecil jika
dibiarkan akan menjadikan beban kerja kamu semakin berat. Apabila setiap hari
ada tugas yang tidak terselesaikan, maka besoknya tugas kamu akan semakin
menumpuk.”
”Baik, Pak. Saya akan berusaha meningkatkan kinerja saya
lagi,” janji Jarwito.
Jarwito mendengar kabar bahwa bulan depan ada mutasi
jabatan. Salah satu posisi yang akan dimutasi adalah posisi Jarwito saat ini.
Pemimpin Jarwito beralasan ada mutasi baru dari luar yang lebih berpengalaman
dan beretos kerja lebih baik daripada Jarwito. Slentingan kabar tersebut
terdengar oleh Jarwito. Tidak heran bila Jarwito beberapa hari terakhir ini
selalu murung. Dia takut posisinya benar-benar digantikan oleh orang baru itu.
”Jarwito, Jarwito. Kamu ini seperti anak kecil. Mutasi
jabatan itu hal biasa di instansi. Penempatan posisi pegawai itu hak pemimpin.
Sebagai bawahan, ya, harus legowo bila atasan berkehendak seperti itu,”
kata Sentanu, rekannya yang pernah mengalami hal serupa.
”Tapi, selama ini saya...”
”Kamu tinggal instruksi bawahanmu untuk mengerjakan
tugasmu kemudian pascamutasi kamu dikembalikan di posisi bawahan lalu
diperintah oleh atasan barumu?” potong Sentanu.
Jarwito diam. Sentanu seperti mengetahui gejolak dalam
hatinnya. Sentanu bisa menebak masalah yang membuatnya jadi termenung
akhir-akhir ini. Jarwito tidak berani menjawab pertanyaan menohok Sentanu. Akan
dijawab ya, dia takut dikatakan gila jabatan. Akan dijawab tidak, dia takut
membohongi isi hatinya.
Lelaki yang menjabat kebagai kepala bagian ini gelisah.
Dia berdiri lalu duduk lagi di belakang meja kerjanya. Terkadang dia
mondar-mandir di ruang kerjanya seperti orang kebingungan. Tumpukan tugas di
meja dipandang, diambil, lalu diletakkan lagi. Dia duduk, mendesah, lalu
menghela napas panjang.
”Permisi, Pak. Ini laporannya sudah selesai.” seorang
bawahannya tiba-tiba masuk ruang kerja sambil menyodorkan laporan untuk
ditandatanganinya.
”Letakkan situ,” ujarnya sambil menunjuk tumpukan kertas
lain di atas mejanya.
”Baik, Pak,” simpulnya.
Jiwa Jarwito semakin berontak. Dia mengkhawatirkan
posisinya benar-benar dimutasi menjadi bawahan lagi. Pastinya dia akan
diperintah atasan dan hanya bisa berkata baik pak, permisi pak untuk menghargai
posisi atasannya. Sesuatu yang sangat bertolak belakang dengan posisi Jarwito
saat ini.
Di bawah beringin besar di belakang kantor Jarwito duduk.
Dia membawa segelas kopi dan sebungkus rokok lalu diletakkan di kursi santai di
bawah beringin. Dia menyandarkan punggung sembari menyuruput kopi pahit
disela-selai dengan mengisap rokok. Kepul asap disemburkan dari mulutnya. Asap
itu terbang tinggi lalu berpendar ke beberapa arah mata angin. Wajah Jarwito
mendongak. Dia menatap daun-daun menempel di dahan beringin. Daun-daun itu
bergoyang lemah gemulai seiring hembusan angin siang. Angan-angannya terbang
melayang ke angkasa. Jarwito berandai-andai apabila benar-benar posisinya
kembali menjadi bawahan. Dia tidak membayangkan dirinya yang semula hanya
memerintah kemudian menjadi diperintah.
Lamunan Jarwito ambyar ketika tiba-tiba ada daun
luruh mengecup wajahnya. Dia bangkit lalu mengibaskan tangan kanannya mengusir
daun yang menempel di wajahnya. Jarwito takut jika yang baru saja menempel di
wajahnya itu ulat gatal atau serangga. Eh, ternyata hanya daun, katanya
dalam hati.
Selembar daun luruh itu dipungut. Dia memegangnya dengan
tangan kanan. Daun tersebut diangkat lalu didekatkan wajahnya. Tiba-tiba dia mendengar
bisikan hati tentang daun itu.
Daun luruh itu menggugah kesadaran Jarwito. Ternyata
selembar daun yang menempel di dahan dan ranting pohon tak selamanya akan segar
bertengger di posisinya. Daun itu akan mengalami perubahan wujud dari semula
tunas, menjadi daun muda, daun tua, layu, kemudian rontok. Setelah itu, akan
tumbuh tunas baru mengisi pori dahan kosong kemudian menjadi daun segar dan lebat
tempat orang-orang berteduh di bawahnya.
Jarwito berbipikir bahwa jabatan juga akan demikian.
Tidak selamanya pegawai itu berada di zona nyaman alias menjadi pemimpin atau
kepala bagian. Seiring perjalanan waktu suatu saat juga akan pindah posisi.
Bisa menjadi bawahan atau bahkan bisa menjadi orang sipil lagi.
Hati keras Jarwito atas kekhawatiran direposisi oleh
atasan luluh seketika. Hanya melalui pesan selembar daun, Jarwito sadar bahwa
jabatan bukanlah sesuatu yang abadi. Jabatan akan berubah sesuai dengan
masanya. Tidak perlu jabatan dipertahankan mati-matian. Setinggi-tingginya daun
apabila musim rontok, jatuhnya juga akan ke tanah. Senyaman-nyamannya jabatan
pasti akan berakhir jua. Bersiap-siap menjadi orang biasa. Orang jelata lagi.
”Pak Jarwito, dipanggil kepala,” kata seorang stafnya.
”Baik. Saya ke sana,” sahutnya.
Hati Jarwito berdebar-debar, tapi tidak sedasyat
sebelumnya. Debarannya landai seperti sebelum muncul wacana mutasi jabatan.
Puntung rokok di buang. Cangkir kopi kosong dibawa masuk ruang kerja. Jarwito
merapikan rambut dan pakaian sebelum menemui kepala kantornya.
Jarwito berjalan menuju
ruang kepala kantor dengan pasrah. Dia siap menerima apa pun keputusan kepala kantor.
Dia siap diposisikan di mana saja oleh kepala. Dia juga sudah siap lahir batin jika
benar-benar diposisikan sebagai bawahan. Jarwito akan mengikuti kebijakan kepala kantor
sebagaimana air mengalir.
”Tahu maksud pemanggilan saya ini,” tanya kepala kantor.
Jarwito membenamkan wajahnya. Kekhawatiran itu muncul
lagi setelah mendengar pertanyaan kepala kantor. Bayang-bayang menjadi bawahan
yang disuruh atasan berkecamuk lagi dalam dirinya.
”Tidak tahu, Pak,” jawab Jarwito dengan suara berat.
”Pak Jarwito, kenapa wajahmu pucat pasi. Ada apa?”
“Tidak ada apa-apa, Pak.”
”Tapi, wajah dan sorot matamu seperti menyembunyikan
sesuatu.”
”Sungguh, Pak. Tidak ada yang saya sembunyikan.”
”Syukurlah kalau begitu.”
Hati Jarwito lega karena bisa mengelak dari terkaan
kepala kantor. Namun, di dadanya masih ada sesuatu yang membebani. Sesuatu yang
akan disampaikan oleh kepala kantor kepada dirinya.
Kepala kantor memulai pembicaraan terkait pemanggilan
Jarwito. Dengan bahasa halus dan bernada datar serta raut wajah berwibawa, dia
menyampaikan rencana mutasi jabatan. Jarwito mendengarkan dengan saksama. Dia
menunggu kepala kantor menyebut namanya. Dia mengingat pesan selembar daun
jatuh mengecup wajahnya. Dia menunggu keputusan kepala kantor dengan pasrah.
”Pak Jarwito sosok senior dan berintegritas tinggi dalam
menjalankan tugas. Sosok anutan para bawahan. Dengan pertimbangan ini, saya
tetapkan Pak Jarwito di posisi saat ini sebagai kepala bagian.”
”Tarima kasih atas kepecayaan Bapak,” ucap Jarwito.
Rasa penasaran Jarwito terjawab. Mutasi jabatan yang
dilakukan kepala kantor hanya berlaku di tingkat bawahan. Dia masih dipercaya
pemimpin di posisi yang sudah dipegang cukup lama. Padahal, semenjak peristiwa
daun jatuh itu dia siap diposisikan di mana pun. Dia siap mengabdi untuk negeri
sebagai apa pun.
Jabatan itu amanah Tuhan. Amanah harus dilaksanakan
dengan penuh tanggung jawab. Jarwito memegang prinsip bahwa apa pun yang
diamanahkan Tuhan kepada manusia, kelak di akhirat akan dimintai
pertanggungjawaban. Jarwito berjanji dalam hati akan melaksanakan amanah itu
dengan sebaik-baiknya agar kelak dapat mempertanggungjawabannya kepada Tuhan.
(*)
Lamongan, 5 Mei 2023
Ahmad Zaini, cerpenis juga sebagai guru di SMKN 1 Lamongan. Beberapa
karyanya beredar di berbagai media cetak dan online serta telah
menerbitkan beberapa buku kumpulan cerpen. Saat ini berdomisili di Wanar,
Pucuk, Lamongan, Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar