Serabih Balan
Cerpen karya Ahmad
Zaini
Jarum jam
berlabuh di angka 9 malam. Di luar rumah sudah sepi. Para tetangga telah
menikmati mimpi berirama dengkur yang berisik. Istri yang semula tidur, bangun
tiba-tiba.
"Mas, ingin
serabih dan lopis, " katanya sambil mengucek-ucek mata.
"Kamu
mengigau?" tanyaku sembari mengistirahatkan jemariku yang sejak tadi
menari di keyboard laptop.
"Tidak. Aku
sadar, Mas. Aku ingin serabih balan," pungkas istriku yang kemudian
beranjak dari tempat tidur.
Apakah istriku hamil
muda? tanyaku dalam hati. Pengalaman kehamilan anak pertama juga demikian.
Bedanya waktu itu dia minta soto daging, sekarang minta serabih balan.
"Serius?"
tanyaku sekali lagi untuk memastikannya.
"Ya, sudah
kalau Mas tidak mau. Saya berangkat sendiri," jawab istri dengan nada
mendongkol.
Permintaan
tiba-tiba karena menginginkan sesuatu. Salah satu tanda istri sedang mengidam.
Menurut orang-orang, entah fakta atau mitos, jika istri mengidam kemudian tidak
terpenuhi, kelak anaknya suka ngiler.
Hatiku
tersentak. Menurut istri aku juga sering ngiler atau keluar liur tanpa
sengaja. Tidak hanya kata istri, tetapi aku juga menyadarinya. Tapi, bukan
karena itu aku ngiler. Cerita ayah sewaktu ibu mengidam tersebab
janinku, semua keinginan ibu terpenuhi.
Ah, itu hanya
gurauan istriku saja. Aku tidak pernah ngiler, kecuali saat sariawan
atau sakit gigi. Saat-saat khusus seperti itu tidak bisa dijadikan dasar orang ngiler
karena semasa ibunya mengidam, tidak terpenuhi keinginannya.
Daripada nanti,
kalau benar istriku mengidam, anakku jadi ngiler, lebih baik aku
berangkat ke warung tempat jualan serabih balan.
"Di rumah
saja, ya?"
"Ikut,"
sahutnya manja.
Meski malam hari
waktunya istirahat, istri kubonceng dengan motor butut ke sebuah desa yang
berjarak tiga kilometer dari tempat tinggalku.
"Tahu
posisi warung tempat jualan serabih permintaanmu?"
"Tidak
tahu."
Aku tercengang.
Aku kaget. Aku rasa istriku sudah mengetahui letak warung serabih itu.
"Lantas
kamu tahu serabih balan dari mana?"
"Dulu
pernah diberi Katam. Rasanya enak sekali.”
"Coba
telepon Katam. Tanyakan di mana posisi warungnya."
Istriku merogoh
hape di saku bajuku untuk menghubungi Katam.
Alhamdulillah,
dari informasi Katam, aku sudah tahu ke arah warung serabih itu. Dulu aku juga
pernah ke situ diajak teman. Tapi, lima belas tahun silam. Menurutku serabih
balan kala itu rasanya biasa-biasa saja. Sekarang entah dimodel seperti apa
sehingga istriku memaksa membelikan jajan tradisonal tersebut meski malam hari.
Tidak sampai
setengah jam kami sampai di warung serabih balan. Suasana ramai sekali.
Bertolak belakang di desaku jam segini sudah sepi. Puluhan sepeda motor parkir
di samping warung. Beberapa orang yang mayoritas laki-laki mengantre demi
mendapatkan giliran sajian serabih balan.
Di area
belakang, tempat memproduksi serabih, terlihat wanita tua dibantu anaknya
mengadoni bahan serabih. Ibu dan anak saling membantu membuat bahan serabih
agar para konsumen yang sudah menahan liur ini segera dapat menikmatinya.
Suasana malam
kala itu mendung. Udara terasa dingin. Di ujung langit selatan terlihat cahaya
kilat bersahutan. Aku mendekat ke warung melihat istriku. Ternyata dia masih
duduk menunggu dua pembeli lagi. Aku tak beranjak tempat. Kakiku kupaku di
tempat dekat Mak Yah membuat serabih. Lidah api menjilat ngaron atau
belanga pemanggang serabih. Cahaya dan panas apinya sesekali menampar wajah Mak
Yah. Raut Mak yah terlihat lelah. Namun, ia tak menghiraukan sama sekali. Dia
tetap membuat serabih pesanan dari para pembeli. Termasuk istriku.
“Pesan berapa?”
tanya Mak Yah kepada istriku.
“Empat bungkus,
Mak,” istriku menjawab.
“Sepertinya
tidak cukup. Ini hanya bisa membuatkan dua bungkus saja.”
Istriku
tertegun. Lama mengantre, tetapi tinggal kebagian dua bungkus. Sementara di
rumah ibu dan bapaknya menunggunya.
“Tidak apa-apa,
Dik. Sebungkus kita makan berdua, yang satu bungkus lainnya biar dimakan ayah
dan ibu.”
Setelah hampir
satu jam mengantre demi dua bungkus serabih balan, istri lekas mengajak pulang.
Melewati jalan sepi, istri mempererat pegangan. Istriku cemas lantaran gerimis
lembut mulai menyapa. Aku melajukan motor dengan tenang. Pandangan mataku,
fokus pada jalan yang mulai terhalang gerimis. Jalan semakin licin setelah
permukaannya diguyur hujan.
“Berteduh dulu,
Dik,” kataku sambil menuju sebuah lapak penjual bakso yang kosong.
“Ayo, terus
saja!”
“Jangan. Sangat
berbahaya,” timpalku.
Di lapak penjual
bakso tidak ada penerang. Wajah istri yang basah ditampar hujan tidak jelas
terlihat. Sesekali sinar lampu mobil yang melintas menunjukkan padaku kalau
wajah istriku tak menampakkan rasa kesal.
Di sebalah lapak
ada kursi panjang yang posisinya dibalik di atas meja. Aku mengambilnya sebagai
tempat duduk sementara. Aku kasihan sekali pada istri. Dia dalam masa mengidam
ingin serabih balan, sampai rela berhujan-hujan. Ini demi menghindari mitos
anak ngileran jika keinginannya tidak terpenuhi.
Perlahan hujan
mulai mereda. Tinggal satu dua saja jemari hujan yang belum tega tanah ini mengering.
Aku menuruti istri melanjutkan perjalanan pulang. Dia tidak sabar menikmati
serabih balan yang selama ini diidam-idamkan. Knalpot motor yang kukendarai
meraung memecah kesunyian jalan menuju kampung. Sedangkan, lampu depannya
menatap tajam jalanan basah menuju rumah.
Istriku
berlari-lari kecil. Dia tidak ingin tetesan hujan yang sempat mampir di
dedaunan perdu menetes menerba kepalanya. Melihat istriku seperti itu, aku
sempat mengkhawatirkannya. Maklumlah dia sedang hamil muda.
Belum sempat
kujagang motorku, tiba-tiba istriku keluar lagi.
“Ada apa, Dik?”
“Serabihnya
ketinggalan di tempat kita berteduh tadi,” katanya dengan penuh sesal.
“Tidak apa-apa.
Saya ambil,” sanggupku.
Aku langsung
memutar balik sepeda motorku yang sudah berada di ambang teras dengan perasaan
yang sebenarnya berat. Bagaimana tidak berat, cuaca gerimis malam hari yang
belum reda sempurna, harus kuterabas lagi demi serabih balan yang ketinggalan.
Di tengah
perjalanan menuju tempatku berteduh bersama istri, gas pacu motor terasa berat.
Motor tidak bisa melaju kencang seperti ada yang menarik dari belakang. Aku
menoleh embali belakang. Ternyata tidak ada apa-apa. Ah, mungkin
lantaran banyak genangan air yang menghambat laju motor, kataku dalam hati.
Lampu utama semakin meredup. Gerak motor juga melambat. Tak berselang lama,
mesin sepeda motor mati.
Posisi sendirian
di tengah jalan pada malam hari ketika hujan belum reda sempurna. Ada perasaan griming-griming
atau cemas karena takut. Bulu kudukku berdiri. Mataku menyasar ke segala
penjuru. Gelap semua. Kedua tanganku meraba-raba ke arah busi. Kondisi busi
masih sempurna. Kabel-kabelnya pun tidak ada yang putus. Aku mencoba
menggoyang-goyangkan motor untuk mengecek bahan bakar. Di tangkinya ternyata
tidak ada suara gemericik bensin. Asem! Bensin habis, umpatku dalam
benak.Terpaksa sepeda motor kutuntun hampir satu kilometer untuk bisa sampai
pada sebuah kios penjual bensin eceran.
Tuhan Maha
Penolong hambaNya. Pemilik kios berada di teras rumahnya. Aku pesan bensin satu
botol. Dia mengambil lalu menuangkan ke tangka motor. Sekali hentak, mesin
menyala. Motor kupacu menerobos gerimis lembut di malam hari. Sesampai di
tempat berteduh, bungkusan serabih telah raib.
Aku tidak
berpikir lama. Aku langsung kembali ke Balan dengan harapan Mak Yah masih di
depan tungku sambil membuat adonan bahan serabih lagi. Tuhan Maha Mendengar.
Makyah masih di tempat. Dia membuat adonan baru karena banyak pembeli yang baru
datang. Kabarnya para pembeli itu berasal dari luar daerah. Karena kasihan pada
mereka, Mak Yah terpaksa membuat adonan baru.
Aku rela berdiri
untuk menunggu giliran. Pembeli dari luar daerah itu pesan serabih balan hingga
beberapa bungkus. Aku tak ingin janin yang di kandung istri kelak jadi anak ngileran
atau berliur.
“Tiga bungkus,
Mak,” jawabku agak terkejut.
Aku bersyukur
karena masih mendapatkan tiga bungkus serabih, meskipun semula aku hanya
berspekulasi. Tuhan menyayangiku. Aku ditakdirkan mendapatkan serabih buat
istriku yang mengidam.
Udara dingin
malam tak kuhiraukan. Meski tanpa jaket, aku tetap memacu motorku menerobos
kegelapan malam. Kecemasan wajah istriku terbayang selama perjalanan. Lentik
jemarin gerimis menyambut kedatanganku. Kujagang sepeda mottorku di teras. Daun
pintu kuketuk. Lama tidak ada ada jawaban dari dalam rumah. Pintu kudorong
pelan. Ternyata pintu dikunci.
Aku merasa
bersalah pada istri. Dia sangat lama mananti. Mungkin karena kecapekan dan
tidak tahan menahan kantuk, istriku tidur.
“Dik, bukakan
pintu?”
Tak berselang
lama, kunci pintu bergerak-gerak. Daun pintu kubuka. Ternyata mertua yang
membukakan pintu.
“Istrimu sudah
tidur.”
Aku masuk ke
kamar. Istriku sudah lelap. Aku bangunkan pelan-pelan. Matanya perlahan
terbuka. Bungkusan serabih balan kudekatkan ke wajahnya. Aku terkejut melihat
wajah istri. Dia cemberut dan tak berhasrat bangun untuk menikmati serabih
balan.
“Ini serabihmu.”
“Tidak. Aku
sudah tidak kepingin lagi. Silakan kamu makan bersama ayah dan ibu.”
Betapa soknya
diriku. Istriku tidak mau makan serabih yang kudapatkan dengan penuh
perjuangan. Bahkan, sekadar bangun, lalu duduk sembari membuka mata untuk
melihat serabih saja istriku tidak mau. Aku tidak mereaksinya dengan
berlebihan. Aku menanggapinya biasa-biasa saja. Orang yang mengidam ya,
demikian itu. Aku mengingat kata ibuku waktu kakak perempuanku mengidam anak
pertamanya.
Tiga bungkus
serabih balan kuletakkan di meja. Siapa tahu kedua orang tuaku ingin memakannya
malam itu. Setidaknya, pagi hari
menjelang mereka berangkaat ke sawah, serabih itu dimakan untuk mengganjal
perut.
Istriku masih
terlelap. Aku terpaksa membangunkannya karena waktunya salat subuh. Dia bangun,
kemudian menanyakan serabih balan. Untung saja kusisakan satu bungkus buat dia.
Tanpa basa-basi istriku memakan serabih balan itu dengan lahap, meski belum
sempat ke kamar mandi. (*)
Ahmad
Zaini merupakan
guru di SMKN 1 Lamongan. Beberapa cerpen karyanya beredar di berbagai media dan
terbukukan dalam antologi cerpen. Buku Antologi cerpen terbarunya berjudul Bingkai
Jendela Tanpa Kaca.