Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Rabu, 25 Desember 2024

Serabih Balan, cerpen Jawa Pos grup Radar Bojnegoro, Sabtu, 30 November 2024

 


 

Serabih Balan

Cerpen karya Ahmad Zaini

 

Jarum jam berlabuh di angka 9 malam. Di luar rumah sudah sepi. Para tetangga telah menikmati mimpi berirama dengkur yang berisik. Istri yang semula tidur, bangun tiba-tiba.

"Mas, ingin serabih dan lopis, " katanya sambil mengucek-ucek mata.

"Kamu mengigau?" tanyaku sembari mengistirahatkan jemariku yang sejak tadi menari di keyboard laptop.

"Tidak. Aku sadar, Mas. Aku ingin serabih balan," pungkas istriku yang kemudian beranjak dari tempat tidur.

Apakah istriku hamil muda? tanyaku dalam hati. Pengalaman kehamilan anak pertama juga demikian. Bedanya waktu itu dia minta soto daging, sekarang minta serabih balan.

"Serius?" tanyaku sekali lagi untuk memastikannya.

"Ya, sudah kalau Mas tidak mau. Saya berangkat sendiri," jawab istri dengan nada mendongkol.

Permintaan tiba-tiba karena menginginkan sesuatu. Salah satu tanda istri sedang mengidam. Menurut orang-orang, entah fakta atau mitos, jika istri mengidam kemudian tidak terpenuhi, kelak anaknya suka ngiler.

Hatiku tersentak. Menurut istri aku juga sering ngiler atau keluar liur tanpa sengaja. Tidak hanya kata istri, tetapi aku juga menyadarinya. Tapi, bukan karena itu aku ngiler. Cerita ayah sewaktu ibu mengidam tersebab janinku, semua keinginan ibu terpenuhi.

Ah, itu hanya gurauan istriku saja. Aku tidak pernah ngiler, kecuali saat sariawan atau sakit gigi. Saat-saat khusus seperti itu tidak bisa dijadikan dasar orang ngiler karena semasa ibunya mengidam, tidak terpenuhi keinginannya.

Daripada nanti, kalau benar istriku mengidam, anakku jadi ngiler, lebih baik aku berangkat ke warung tempat jualan serabih balan.

"Di rumah saja, ya?"

"Ikut," sahutnya manja.

Meski malam hari waktunya istirahat, istri kubonceng dengan motor butut ke sebuah desa yang berjarak tiga kilometer dari tempat tinggalku.

"Tahu posisi warung tempat jualan serabih permintaanmu?"

"Tidak tahu."

Aku tercengang. Aku kaget. Aku rasa istriku sudah mengetahui letak warung serabih itu.

"Lantas kamu tahu serabih balan dari mana?"

"Dulu pernah diberi Katam. Rasanya enak sekali.”

"Coba telepon Katam. Tanyakan di mana posisi warungnya."

Istriku merogoh hape di saku bajuku untuk menghubungi Katam.

Alhamdulillah, dari informasi Katam, aku sudah tahu ke arah warung serabih itu. Dulu aku juga pernah ke situ diajak teman. Tapi, lima belas tahun silam. Menurutku serabih balan kala itu rasanya biasa-biasa saja. Sekarang entah dimodel seperti apa sehingga istriku memaksa membelikan jajan tradisonal tersebut meski malam hari.

Tidak sampai setengah jam kami sampai di warung serabih balan. Suasana ramai sekali. Bertolak belakang di desaku jam segini sudah sepi. Puluhan sepeda motor parkir di samping warung. Beberapa orang yang mayoritas laki-laki mengantre demi mendapatkan giliran sajian serabih balan.

Di area belakang, tempat memproduksi serabih, terlihat wanita tua dibantu anaknya mengadoni bahan serabih. Ibu dan anak saling membantu membuat bahan serabih agar para konsumen yang sudah menahan liur ini segera dapat menikmatinya.

Suasana malam kala itu mendung. Udara terasa dingin. Di ujung langit selatan terlihat cahaya kilat bersahutan. Aku mendekat ke warung melihat istriku. Ternyata dia masih duduk menunggu dua pembeli lagi. Aku tak beranjak tempat. Kakiku kupaku di tempat dekat Mak Yah membuat serabih. Lidah api menjilat ngaron atau belanga pemanggang serabih. Cahaya dan panas apinya sesekali menampar wajah Mak Yah. Raut Mak yah terlihat lelah. Namun, ia tak menghiraukan sama sekali. Dia tetap membuat serabih pesanan dari para pembeli. Termasuk istriku.

“Pesan berapa?” tanya Mak Yah kepada istriku.

“Empat bungkus, Mak,” istriku menjawab.

“Sepertinya tidak cukup. Ini hanya bisa membuatkan dua bungkus saja.”

Istriku tertegun. Lama mengantre, tetapi tinggal kebagian dua bungkus. Sementara di rumah ibu dan bapaknya menunggunya.

“Tidak apa-apa, Dik. Sebungkus kita makan berdua, yang satu bungkus lainnya biar dimakan ayah dan ibu.”

Setelah hampir satu jam mengantre demi dua bungkus serabih balan, istri lekas mengajak pulang. Melewati jalan sepi, istri mempererat pegangan. Istriku cemas lantaran gerimis lembut mulai menyapa. Aku melajukan motor dengan tenang. Pandangan mataku, fokus pada jalan yang mulai terhalang gerimis. Jalan semakin licin setelah permukaannya diguyur hujan.

“Berteduh dulu, Dik,” kataku sambil menuju sebuah lapak penjual bakso yang kosong.

“Ayo, terus saja!”

“Jangan. Sangat berbahaya,” timpalku.

Di lapak penjual bakso tidak ada penerang. Wajah istri yang basah ditampar hujan tidak jelas terlihat. Sesekali sinar lampu mobil yang melintas menunjukkan padaku kalau wajah istriku tak menampakkan rasa kesal.

Di sebalah lapak ada kursi panjang yang posisinya dibalik di atas meja. Aku mengambilnya sebagai tempat duduk sementara. Aku kasihan sekali pada istri. Dia dalam masa mengidam ingin serabih balan, sampai rela berhujan-hujan. Ini demi menghindari mitos anak ngileran jika keinginannya tidak terpenuhi.

Perlahan hujan mulai mereda. Tinggal satu dua saja jemari hujan yang belum tega tanah ini mengering. Aku menuruti istri melanjutkan perjalanan pulang. Dia tidak sabar menikmati serabih balan yang selama ini diidam-idamkan. Knalpot motor yang kukendarai meraung memecah kesunyian jalan menuju kampung. Sedangkan, lampu depannya menatap tajam jalanan basah menuju rumah.

Istriku berlari-lari kecil. Dia tidak ingin tetesan hujan yang sempat mampir di dedaunan perdu menetes menerba kepalanya. Melihat istriku seperti itu, aku sempat mengkhawatirkannya. Maklumlah dia sedang hamil muda.

Belum sempat kujagang motorku, tiba-tiba istriku keluar lagi.

“Ada apa, Dik?”

“Serabihnya ketinggalan di tempat kita berteduh tadi,” katanya dengan penuh sesal.

“Tidak apa-apa. Saya ambil,” sanggupku.

Aku langsung memutar balik sepeda motorku yang sudah berada di ambang teras dengan perasaan yang sebenarnya berat. Bagaimana tidak berat, cuaca gerimis malam hari yang belum reda sempurna, harus kuterabas lagi demi serabih balan yang ketinggalan.

Di tengah perjalanan menuju tempatku berteduh bersama istri, gas pacu motor terasa berat. Motor tidak bisa melaju kencang seperti ada yang menarik dari belakang. Aku menoleh embali belakang. Ternyata tidak ada apa-apa. Ah, mungkin lantaran banyak genangan air yang menghambat laju motor, kataku dalam hati. Lampu utama semakin meredup. Gerak motor juga melambat. Tak berselang lama, mesin sepeda motor mati.

Posisi sendirian di tengah jalan pada malam hari ketika hujan belum reda sempurna. Ada perasaan griming-griming atau cemas karena takut. Bulu kudukku berdiri. Mataku menyasar ke segala penjuru. Gelap semua. Kedua tanganku meraba-raba ke arah busi. Kondisi busi masih sempurna. Kabel-kabelnya pun tidak ada yang putus. Aku mencoba menggoyang-goyangkan motor untuk mengecek bahan bakar. Di tangkinya ternyata tidak ada suara gemericik bensin. Asem! Bensin habis, umpatku dalam benak.Terpaksa sepeda motor kutuntun hampir satu kilometer untuk bisa sampai pada sebuah kios penjual bensin eceran.

Tuhan Maha Penolong hambaNya. Pemilik kios berada di teras rumahnya. Aku pesan bensin satu botol. Dia mengambil lalu menuangkan ke tangka motor. Sekali hentak, mesin menyala. Motor kupacu menerobos gerimis lembut di malam hari. Sesampai di tempat berteduh, bungkusan serabih telah raib.

Aku tidak berpikir lama. Aku langsung kembali ke Balan dengan harapan Mak Yah masih di depan tungku sambil membuat adonan bahan serabih lagi. Tuhan Maha Mendengar. Makyah masih di tempat. Dia membuat adonan baru karena banyak pembeli yang baru datang. Kabarnya para pembeli itu berasal dari luar daerah. Karena kasihan pada mereka, Mak Yah terpaksa membuat adonan baru.

Aku rela berdiri untuk menunggu giliran. Pembeli dari luar daerah itu pesan serabih balan hingga beberapa bungkus. Aku tak ingin janin yang di kandung istri kelak jadi anak ngileran atau berliur.

“Tiga bungkus, Mak,” jawabku agak terkejut.

Aku bersyukur karena masih mendapatkan tiga bungkus serabih, meskipun semula aku hanya berspekulasi. Tuhan menyayangiku. Aku ditakdirkan mendapatkan serabih buat istriku yang mengidam.

Udara dingin malam tak kuhiraukan. Meski tanpa jaket, aku tetap memacu motorku menerobos kegelapan malam. Kecemasan wajah istriku terbayang selama perjalanan. Lentik jemarin gerimis menyambut kedatanganku. Kujagang sepeda mottorku di teras. Daun pintu kuketuk. Lama tidak ada ada jawaban dari dalam rumah. Pintu kudorong pelan. Ternyata pintu dikunci.

Aku merasa bersalah pada istri. Dia sangat lama mananti. Mungkin karena kecapekan dan tidak tahan menahan kantuk, istriku tidur.

“Dik, bukakan pintu?”

Tak berselang lama, kunci pintu bergerak-gerak. Daun pintu kubuka. Ternyata mertua yang membukakan pintu.

“Istrimu sudah tidur.”

Aku masuk ke kamar. Istriku sudah lelap. Aku bangunkan pelan-pelan. Matanya perlahan terbuka. Bungkusan serabih balan kudekatkan ke wajahnya. Aku terkejut melihat wajah istri. Dia cemberut dan tak berhasrat bangun untuk menikmati serabih balan.

“Ini serabihmu.”

“Tidak. Aku sudah tidak kepingin lagi. Silakan kamu makan bersama ayah dan ibu.”

Betapa soknya diriku. Istriku tidak mau makan serabih yang kudapatkan dengan penuh perjuangan. Bahkan, sekadar bangun, lalu duduk sembari membuka mata untuk melihat serabih saja istriku tidak mau. Aku tidak mereaksinya dengan berlebihan. Aku menanggapinya biasa-biasa saja. Orang yang mengidam ya, demikian itu. Aku mengingat kata ibuku waktu kakak perempuanku mengidam anak pertamanya.

Tiga bungkus serabih balan kuletakkan di meja. Siapa tahu kedua orang tuaku ingin memakannya malam itu. Setidaknya, pagi  hari menjelang mereka berangkaat ke sawah, serabih itu dimakan untuk mengganjal perut.

Istriku masih terlelap. Aku terpaksa membangunkannya karena waktunya salat subuh. Dia bangun, kemudian menanyakan serabih balan. Untung saja kusisakan satu bungkus buat dia. Tanpa basa-basi istriku memakan serabih balan itu dengan lahap, meski belum sempat ke kamar mandi. (*)

 

Ahmad Zaini merupakan guru di SMKN 1 Lamongan. Beberapa cerpen karyanya beredar di berbagai media dan terbukukan dalam antologi cerpen. Buku Antologi cerpen terbarunya berjudul Bingkai Jendela Tanpa Kaca.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Senin, 07 Oktober 2024

Rumah Joglo Sadewa, Cerpen Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, Sabtu, 5 Oktober 2024

 



Rumah Joglo Sadewa

Cerpen karya Ahmad Zaini

 

Bangunan rumah joglo milik peninggalan orang tua Sadewa sepi. Dinding di setiap sisi tampak kusam. Lantai berbahan papan kayu jati berdebu. Terlihat di beberapa bagian lantai juga terdapat kotoran ayam. Di bagian genting, beberapa lembar daun mahoni menutupinya. Tidak ada orang yang menyapu untuk membersihkan kotoran atau sampah di bangunan ini.

Sadewa sebagai generasi terakhir keluarga ini tidak bisa berbuat banyak. Dia tidak mampu  lagi mengelola rumah joglo peninggalan orang tuanya seperti dahulu. Sadewa merasa bersalah dan berdosa pada orang tuanya karena tidak mampu meneruskan fungsi rumah joglo seperti yang diamanatkan orang tuanya waktu itu.

Sebelum orang tua Sadewa meninggal dunia, dia berwasiat kepadanya. Rumah joglo yang besar dan megah ini agar dimanfaatkan sebagai tempat belajar warga.

Kala itu tingkat pengetahuan warga di kampung yang jauh dari keramaian ini memang memprihatinkan. Mereka tidak ada yang sekolah atau kuliah, kecuali Sadewa. Mereka menjadi masyarakat tertinggal dan terbelakang. Mereka kalah jauh apabila dibandingkan warga kampung lain yang dekat dengan perkotaan. Kondisi warga yang seperti itulah membuat orang tua Sadewa hendak mewakafkan rumah joglonya sebagai tempat belajar warga kampung.

Sebagai anak tunggal, Sadewa berkewajiban menjalankan amanat kedua orang tuanya yang telah tiada. Dengan berbekal ilmu yang didapat saat belajar di perguruan tinggi, dia ingin menjadikan rumah joglo tersebut sebagai pusat belajar di kampungnya. Sadewa sempat kebingungan mengelola rumah joglo sebagai tempat belajar. Dia belum mempunyai teman berdiskusi dan mengabdikan diri sebagai guru. Dia hanya berdua bersama istrinya yang kebetulan juga sealmamater saat kuliah.

Sadewa mengajak istri mengelola rumah joglo. Istri Sadewa bersedia. Tiap hari mereka berdua membenahi dan memperbaiki rumah joglo agar layak digunakan sebagai tempat belajar yang aman dan nyaman. Sadewa sadar diri bahwa mengelola rumah joglo menjadi tempat belajar tidak bisa dijalankan hanya bersama istrinya. Dia berencana merekrut beberapa  orang terpelajar dari kampung lain untuk diajak membantu mengelola dan mengajar di rumah joglo. Dia menghubungi beberapa teman kuliahnya yang sudah menjadi guru di tempat lain. Teman-teman Sadewa bersedia membantunya.

Sarana dan prasarana telah memadai. Beberapa syarat administrasi juga terpenuhi. Rumah joglo peninggalan orang tua Sadewa telah diresmikan oleh pejabat berwenang menjadi lembaga belajar. Lembaga ini diberi nama Birrul Walidain yang berarti berbakti kepada kedua orang tua.

Semula lembaga ini menerima murid dari berbagai umur. Mulai tingkat anak-anak, remaja, dewasa, dan orang tua. Mereka ditampung semua di lembaga ini. Mereka belajar dalam satu ruang dengan sangat antusias. Mereka diajari oleh guru dengan materi dari dasar atau nol. Mereka diperkenalkan huruf dan angka sebagai bekal belajar membaca dan berhitung.

Seiring perjalanan waktu, lembaga belajar Birrul Walidain yang dikelola Sadewa dan istri mengalami perkembangan yang sangat pesat. Kini murid-muridnya banyak sekali. Para orang tua dari kampung ini juga sudah menyadari pentingnya belajar buat anak-anaknya. Para orang tua tidak ingin nasib anaknya seperti yang mereka rasakan sekarang. Para orang tua bercita-cita masa depan anaknya lebih cerah daripada dirinya dan menjadi orang-orang terpelajar. Mereka ngin anak-anaknya hidup bahagia dan sejahtera.

Sadewa sekarang tidak sendirian. Dia didukung warga sekampung untuk memajukan lembaga. Sumbangan dana pun mengalir dari warga. Terutama dari orang-orang yang mampu secara ekonomi. Semua kebutuhan lembaga terpenuhi.

Sadewa yang dibantu istri dan teman-temannya mulai berani membuat program unggulan. Program yang tidak dimiliki oleh lembaga belajar di kampung lain. Hal ini dilakukan Sadewa agar semakin banyak peminat dari luar kampung untuk menimba ilmu di sini.

Lembaga belajar yang dipimpin Sadewa berkembang sangat pesat. Saat ini muridnya bukan hanya dari dalam kampung sendiri, melainkan juga dari luar kampung. Prestasi demi prestasi berhasil ditorehkan oleh para murid.  Birrul Walidain menjadi lembaga belajar ternama dan dikenal oleh masyarakat luas sebagai gudang murid berprestasi. Kini lembaga belajar Sadewa berada di puncang kejayaannya.

***

Semakin tinggi sebuah pohon, semakin kencang angin menerpa. Lembaga belajar Birrul Walidain mulai diterpa isu miring. Banyak pihak yang mulai mengusik keberadaan lembaga ini. Termasuk di antaranya adalah dari pihak wali murid sendiri.

“Bapak-bapak jangan mudah percaya pada informasi yang tidak jelas. Harus berhati-hati,” kata Sadewa saat menemui para perwakilan wali murid yang dikomandani oleh Gunadi di rumahnya.

”Kurang jelas apanya? Informasi ini berasal dari sumber yang terpercaya. Dia orang penting di daerah ini,” sahut Gunadi.

”Apa yang disampaikan?” kejar Sadewa.

”Lembaga ini telah disumbang oleh para donatur. Semua anggaran kebutuhan dicukupi oleh donatur tersebut. Kenapa para warga terutama wali murid masih dimintai sumbangan?” tambah Gunadi dengan nada berapi-api.

”Betul sekali. Ada donatur atau sumbangan dari teman-teman dan alumni yang sukses. Mereka setiap bulan mengirim dana untuk menggaji para guru di sini. Jadi, donatur tersebut hanya digunakan untuk bisyaroh atau gaji guru yang jumlahnya lima belas orang.

”Kenapa masih meminta sumbangan wali murid? Untuk memperkaya diri, ya?”

Astaghfirullahal adzim! Saya tidak seperti yang Pak Gunadi sangkakan. Saya bisa makan dan minum itu dari hasil ladang peninggalan orang tua yang sementara ini digarap warga. Sepeser pun saya tidak pernah makan dari donatur dan uang sumbangan wali murid,” kata Sadewa menjelaskan Gunadi dan komplotannya.

”Saya dan teman-teman tetap tidak percaya. Yang penting mulai bulan depan, para murid dibebaskan dari uang sumbangan,” bantah Gunadi.

”Sumbangan wali murid sangat dibutuhkan. Sumbangan tersebut untuk kebutuhan murid. Mereka sering mengikuti beberapa kegiatan dan perlombaan di berbagai tingkatan. Sumbangan wali murid setiap bulan tersebut kami gunakan untuk itu,” tambah istri Sadewa.

”Tetap tidak percaya. Dana dari donatur sudah bisa untuk mencukupi semua. Jadi, mulai bulan depan, bebaskan kami dari uang sumbangan itu. Titik, ” pungkas Gunadi sambil berdiri kemudian mengajak teman-temannya meninggalkan rumah Sadewa.

Sadewa dan istri hanya menggeleng-gelengkan kepala. Mereka heran pada sikap Gunadi, anak dari Pak Salam yang dulu turut membesarkan lembaga ini.

Gunadi dan teman-teman mulai beraksi. Mereka menghasut para wali murid lainnya. Mereka  berbagi tugas sesuai wilayah. Mereka menyebar informasi yang dibuat-buat sendiri untuk disampaikan ke para wali murid lembaga tersebut di wilayah masing-masing. Mereka menyampaikan bahwa mulai bulan depan, anak-anak mereka digratiskan semua. Informasi ini disambut gegap gempita oleh para wali murid. Mereka sangat senang karena tidak dibebani sumbangan yang setiap bulan dibayarkan ke lembaga Pak Sadewa.

Para pengelola lembaga belajar ini kebingungan. Mereka tidak menerima sumbangan dari wali murid. Sadewa dan istri sebagai pemimpin lembaga memanggili para bendahara, guru, dan penanggung jawab kegiatan. Mereka diajak membahas keberlangsungan kegiatan di lembaga ini.

”Pak Sukri, apakah dalam bulan ini dan beberapa bulan ke depan masih ada kegiatan keluar yang diikuti oleh murid?” tanya Sadewa.

”Banyak, Bapak. Kegiatan-kegiatan ini juga membutuhkan anggaran besar.” jawab Sukri.

”Apakah masih ada anggaran untuk keperluan kegiatan tersebut?” tanya Sadewa kepada bendahara.

”Anggaran tinggal cukup untuk menggaji para guru,” jawab si bendahara dengan singkat.

”Karena anggaran tidak mencukupi, saya mohon agar kegiatan-kegiatan murid tersebut dibatalkan,” tegas Sadewa.

”Baik, Bapak,” sanggup Sukri dengan nada pasrah.

Penyaluran minat dan bakat murid tersendat. Potensi yang mereka miliki terkesan sia-sia lantaran pendanaan disumbat Gunadi dan kawan-kawannya. Beberapa kegiatan yang semestinya sebagai ajang prestasi dan tropi kejuaraan tidak bisa diikuti oleh murid. Para murid hanya mendapat pelayanan minimal berupa kegiatan belajar-mengajar di internal lembaga tanpa pernah mengikuti kegiatan perlombaan di luar.

Lembaga belajar Birrul Walidain yang dikelola Sadewa lambat laun meredup. Para murid tidak pernah mengikuti kegiatan dan lomba lantaran tidak ada dana. Akhirnya, lembaga ini benar-benar minim prestasi. Nama besar lembaga belajar Birrul Walidain dan muridnya tidak pernah menggema lagi saat pengumuman pemenang dalam setiap kejuaraan. Ucapan selamat atas prestasi lembaga juga sepi. Kebesaran  nama lembaga yang dipimpin Sadewa lenyap seperti ditelan bumi.

Para guru mulai terusik. Mereka sering menjadi sasaran ketidakpuasan pemimpinnya. Sadewa mencurigai guru tidak serius membimbing murid. Guru pun mulai berani mencurigai Sadewa. Mereka menuduhnya sebagai pihak yang menghabiskan keuangan lembaga untuk kepentingan pribadi sehingga jatah dana untuk kegiatan murid habis. Saling curiga antarpemimpin, guru, wali murid, dan murid menjadi sumber penyakit atas keterpurukan belajar di lembaga ini.

Satu persatu guru pamit karena merasa tidak cocok lagi dengan kepemimpinan di lembaga ini. Para wali murid juga demikian. Mereka mencabut kepesertaan anaknya sebagai murid  karena tidak ada prestasi lagi. Yang lebih parah lagi ketika lembaga belajar Sadewa dinyatakan pailit sehingga izin operasional dicabut oleh yang berwenang. Akhirnya, rumah joglo dan bangunan megah lainnya yang pernah di puncak kejayaan sekarang kembali menjadi bangunan yang kusam dan sepi.

Sadewa dan istri tetap memilih untuk bertahan tinggal di area rumah joglo. Mereka kembali beraktivitas di ladang peninggalan orang tuanya. Mereka menanam palawija sebagai ikhiyar penyambung hidup. Mereka sesekali beristirahat di rumah joglo. Terkadang Sadewa dan istri ditemani para warga yang pulang dari ladang. Mereka berteduh di rumah joglo untuk sekadar melepas lelah sembari menikmati hembusan angin siang. Riuh rendah tawa mereka diselingi memori kejayaan lembaga Sadewa yang kini tinggal cerita.  (*)

Lamongan, 2 Oktober 2024

 

Ahmad Zaini merupakan guru dan sastrawan yang tinggal di Wanar, Pucuk, Lamongan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sabtu, 10 Agustus 2024

Bingkai Jendela Tanpa Kaca, Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, Sabtu, 10 Agustus 2024

 https://radarbojonegoro.jawapos.com/lembar-budaya/714961265/lembar-budaya-bingkai-jendela-tanpa-kaca

Bingkai Jendela Tanpa Kaca

Cerpen karya Ahmad Zaini

 

Udara dingin malam ini mengusik isitrahatku. Lembut merayapi sekujur tubuh. Menusuk pori-pori hingga menembus tulang. Sarung tebal kutarik dari kaki hingga kepala. Namun, sarungku tidak mampu mengahalau rasa dingin. Tubuhku semakin menggigil. Gigiku gemeretak. Rasa dingin menyusup kamar dari bingkai jendela tanpa kaca. Sungguh malam ini tidurku tak nyenyak.

Aku teringat pesan ayah saat mengantarku ke pesantren. Di pesantren makanlah yang lahap dan tidurlah yang nyenyak. Memang aneh pesan ini, tapi aku tahu maksudnya. Berkali-kali ayah menyampaikan maksud dari pesan tersebut. Makan yang lahap artinya jangan makan sebelum aku benar-benar lapar. Tidur nyenyak aritnya jangan tidur sebelum aku benar-benar  mengantuk. Dari dua pesan tersebut terkandung maksud bahwa aku harus menggunakan waktu sebaik-baiknya di pesantren untuk belajar ilmu agama dan beribadah kepada Allah dengan baik. Terutma salat lima waktu dengan berjamaah.

Teman-temanku masih lelap. Mereka tidur tanpa alas dan bantal. Mereka menikmati mimpi tanpa memedulikan udara dingin menghinggapi tubuhnya. Mataku tak bisa dipejamkan lagi. Terbayang keluargaku di rumah. Ayah dan ibu yang setiap hari mengomeliku saat azan berkumandang sedangkan aku masih asyik main HP. Rindu adik. Adikku yang cerewet. Dia sering mengadukan diriku kepada ayah atau ibu tentang segala sesuatu yang ada di HP. Dia suka mengarang cerita yang tidak benar agar aku dimarahi ibu.

Kali ini aku benar-benar insyaf. Aku menempa diri di pesantren untuk belajar agama. Aku ingin menjadi anak yang berguna. Anak berbakti kepada kedua orang tua. Aku ingin menjadi manusia yang dapat memberi manfaat kepada orang lain atau kepada masyarakat. Aku ingin menjadi penerus kedua orang tuaku yang saat ini masih aktif menjalankan tugas dengan berdinas di Pendidikan.

“Mukhlis, kamu sudah bangun?” tiba-tiba terdengar suara dari jendela kamar.

Aku menoleh ke belakang. Di jendela tanpa kaca berdiri pengurus pesantren.

“Iya. Dingin.”

“Segeralah ke belakang. Mandi kemudian ambil air wudu,” perintahnya.

“Baik,” sanggupku.

Aku berdiri sambil membenahi sarungku yang kedodoran. Aku memenuhi perintah pengurus sekaligus pengampu kitab Tauhid di madrasah diniyyah.

Rasa dingin tak kuhiraukan. Aku harus berani dan mampu mengalahkan udara yang sangat tidak bersahabat ini. Rasa kantuk seketika hilang ketika segayung air kuguyurkan ke tubuhku. Tangan gemetar. Gigi gemeretak. Tulang-tulang persendian terasa akan lepas. Akan tetapi, aneka rasa di sekujur tubuhku tak kuhiraukan hingga selesai berwudu.

Jarum jam di musala pesantren menunjuk ke angka tiga. Setengah jam lagi para pengurus pesantren membangunkan semua santri yang masih tidur nyenyak. Sebelum mereka bangun, aku berniat memanfaatkan suasana sepi ini untuk qiyamullail. Aku belajar untuk membiasakannya agar bisa berdoa untuk kemanfaatan dan keberkahan ilmu serta berdoa untuk kesehatan kedua orang tua.

Dalam doa tak terasa air mataku mengalir. Butirannya menetes di sajadah. Ada guratan dosa yang pernah kulakukan pada kedua orang tua. Aku sering membohongi dan menyakiti hati keduanya. Bingkai jendela tanpa kaca menjadi saksi. Benda itu merasakan getar sesal dari hatiku. Wajah penuh kasih sayang kedua orang tua terbayang di tengah bingkai jendela tanpa kaca kamar pesantren. 

Tiba-tiba terbesit dalam hatiku ingin pulang. Aku ingin memeluk dan bersimpuh di kaki ayah ibu. Aku rindu wajah mereka yang teduh.

“Kamu akan ke mana?” tiba-tiba terdengar suara pengurus pesantren.

“Aku ingin pulang. Aku rindu ayah dan ibu,” jawabku sambil menarik kaki kiriku yang sudah berada di tengah bingkai jendela tanpa kaca.

“Lihat jam itu,” katanya.

Pandanganku menyasar ke jam dinding yang tergantung di dinding kamar pesantren. Ternyata masih pukul 03:45. Jelang salat shubuh.

“Selepas subuh, menemui saya,” pesannya.

“Baik, Pak,” jawabku singkat.

Aku tertunduk. Wajah kubenamkan sangat dalam untuk mengubur rasa rindu kepada orang tua yang sempat memuncak. Hati kecilku berbicara aku harus tenang. Aku harus menguatka niatku belajar di pesantren untuk mewujudkan harapan kedua orang tuaku. Bingkai jendela tanpa kaca tempat aku mengintip kedua orang tua meninggalkan aku bersama teman-teman santri lain meninggalkan kesan. Kesan yang tak mungkin aku lupakan.

“Mukhlis, ke sini!” suara pengurus dari dalam kantor pesantren. Aku menoleh lalu bergegas menuju kantor.

Pengurus pesantren ini merasakan gejolak batinku. Dia merasakan bagaimana santri baru yang terpisah dengan kedua orang tua dan keluarga lainnya. Aku yakin dia ketika masih baru nyantri di pesantren ini juga merasakan hal demikian.

“Mohon maaf, saya izin masuk,” kataku.

“Silakan duduk, Mukhlis!” sahut suara yang berbeda.

Aku terkejut. Suara ini bukan suara pengurus tadi. Aku mengangkat wajah dan melihat sosok yang baru saja memersilakan aku duduk. Ternyata Abah Yai.

“Ke sini, Nak. Mendekat ke Abah,” pintanya. Aku menggeser dudukku dan menghadap beliau.

“Aku sudah mendengar cerita dari Kang Mundzir bahwa kamu santri yang paling rajin qiyamullail atau salat malam. Aku bangga kepadamu.”

“Terim kasih, Abah Yai.”

“Namun, kenapa kamu akhir-akhir ini sering murung di jendela itu?” tanya Abah Yai.

“Saya rindu ayah dan ibu. Aku kangen wajahnya yang penuh kasih dan sayang kepadaku. Saya ingin meminta maaf kepada mereka karena sering membohongi dan menyakiti hati mereka.”

“Aku yakin kedua orang tuamu tidak merasa kausakiti hatinya. Aku yakin kedua orang tuamu telah memaafkan khilafmu. Maka tak perlu kau berlarut-larut memikirkan itu.”

“Buktinya apa, Yai? Maaf!”

“Sebagai buktinya, ya, kedua orang tuamu memondokkan kamu di pesantren ini. Mereka berniat ikhlas dan tulus supaya kamu menjadi orang yang mengerti. Maka doakanlah mereka semoga sehat dan mendapat rahmat dari Allah sebagaimana  mereka mengasihi dirimu.”

“Baik, Abah Yai. Doa itu yang selalu kupanjatkan buat kedua orang tuaku dalam tahajjudku.”

“Sekarang silakan bergabung dengan teman-temanmu untuk persiapan mengikuti pengajian pagi.”

“Terima kasih, Abah Yai,” aku mengangguk hormat dan sungkem padanya.

Nasihat yang meneduhkan jiwa. Aku sekarang mengerti bahwa perhatian orang tua kepada anak sebesar dan sedalam itu. Orang tua tidak sampai hati apabila memarahi anak. Hanya di bibir saja. Mereka mengerti bahwa memarahi anak sampai terbawa ke dalam hati, murka Allah akan menimpa anaknya.

 Sungguh mulia hati orang tuaku memondokkan di pesantren ini. Hatiku yang keras selama di rumah, akan kutumbuk dengan ilmu-ilmu hikmah agar melunak. Akan kubuang jauh-jauh rasa egoku yang selama ini menyusahkan kedua orang tuaku. Hormat dan bakti akan kutunjukkan kepada mereka ketika ada kesempatan pulang saat liburan.

Aku duduk bersila bersama para santri lainnya. Dengan posisi melingkar, kami mendengarkan pengajian Abah Yai. Penjelasan beliau terhadap isi kitab yang dikaji sangat jelas. Kata-katanya mudah dipahami santri. Apalagi disampaikan dengan nada suara datar dan rendah. Sangat karismatik.

Setelah pengajian aku dan para santri lain kembali ke kamar masing-masing. Kami bersiap-siap untuk menikmati sarapan pagi yang sudah disiapkan oleh juru masak pesantren. Aku mengantre menerima jatah makan dan lauk dari juru masak dengan menyodorkan piring yang dibawakan orang tuaku dari rumah. Aku melakukannya dengan senang dan ikhlas tanpa risih dan gengsi. Betapa nikmat menu yang diberikan oleh juru masak meskipun hanya sepiring nasi putih dan lauk tahu tempe. Aku menikmatinya dengan lahap hingga tak tersisa.

Setengah jam lagi aku berangkat ke sekolah formal yang juga berada di lingkungan pesantren. Aku mengakhiri kegiatan sarapan pagi. Aku dan para santri bergegas kembali ke kamar. Aku bersiap-siap berangkat ke sekolah. Setelah mengenakan seragam yang berlaku hari itu, aku keluar kamar. Subhanallah, para santri lainnya sudah berkumpul di halaman asrama pesantren dengan seragam yang sama.

Kami berangkat bersama-sama ke sekolah untuk menimba ilmu dengan seragam putih. Kami berjalan kaki dengan rapi sambil membawa buku. Mirip pasukan perang menuju medan pertempuran. Perang memerangi kebodohan di medan ilmu karena Allah.    (*)

 

Lamongan, 27 Juli 2024

 

Ahmad Zaini, guru SMKN 1 Lamongan dan ketua Lesbumi PCNU Babat

Beberapa cerpen dan puisinya beredar di berbagai media cetak dan noline serta diterbitkan ke dalam beberapa buku antologi tunggal dan bersama para penulis daerah

dan nasional

Minggu, 05 Mei 2024

Cerpen Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, Minggu, 5 Mei 2024



 Lebaran Pertama Tanpa Ibu

Cerpen karya Ahmad Zaini

“Maafkan aku, Ibu! Aku belum bisa membahagiakanmu,” kata Santi dalam sedu-sedannya di ruang masak.

”Sudahlah. Tak perlu kau menangisi dan meratapi ibu seperti itu. Doakan saja semoga ibu bahagia di alam sana dan mendapat rahmat dari Allah,” hibur suaminya.

”Tapi, aku menyesal.”

”Apa yang kausesalkan?” tanya suami Santi.

Santi terdiam. Dia tidak mampu melontarkan sepatah kata pun untuk menjawab pertanyaan suaminya. Karena jawaban dari pertanyaan itu, pastilah beban besar yang bersemayam dalam diri Santi.

Semasa hidup ibunya, Santi memang sering cekcok. Beberapa kali terlontar kata-kata kasar yang terkadang menyinggung dan menyakiti hati ibunya. Tak jarang ruang masak menjadi arena percekcokan mereka lantaran perselisihan selera makanan. Sering juga mereka ramai gara-gara ulah anak-anak Santi yang usil.

Suami Santi sering mengingatkan istrinya agar mengabaikan masalah-masalah kecil dengan ibunya. Apa pun sikap dan kata-kata ibunya, cocok atau tidak di hati istrinya jangan sampai ditanggapi secara berlebihan. Namun, bawaan lahir Santi memang demikian. Terlalu sensitif dengan kata-kata atau sikap ibunya. Suaminya pun sering menjadi sasaran kebiasaannya itu. Untung sang suami mampu menahan diri dengan mencueki kata-kata Santi yang seperti panah beracun. Tajam dan panas di telinga. Atau bahkan bisa dikatakan mematikan. Mematikan otak waras. Mematikan kesabaran. Mematikan rasa dan sebagainya.

Pernah suatu ketika, ibunya mengingatkan supaya Santi bersikap lembut terhadap suami. Akan tetapi, yang terjadi masalah sebaliknya. Suaminya mendapatkan serangan membabi buta dari Santi. Dia menuduh suaminya mengadu ke ibu.

”Aku tak pernah mengadu ke ibu. Beliau mendengar ocehanmu tiap hari. Ibu sering membisikiku agar selalu sabar menghadapi dirimu yang emosianal dan sensitif,” jelas suaminya.

”Ah, alasan saja,” sahutnya.

Begitulah keseharian Santi dan ibu waktu itu. Sekarang tinggal penyesalan yang terjadi. Wajah ibunya selalu terbayang dalam benaknya. Ucapannya selalu terngiang di telinga. Air mata ibunya yang pernah tertumpah karena ulahnya, menjadi butiran air mata penyesalan dirinya yang tak pernah surut. Santi ingin ibunya hidup lagi dan akan memperbaiki diri dan meminta maaf kepada ibunya. Namun, ibunya sekarang sudah berbeda alam. Tidak mungkin mereka bisa bertemu secara zahir. Doa merupakan hal yang tepat untuk bisa meminta maaf kepada ibunya.

Ramadan tahun ini dilalui Santi tanpa seorang ibu di sisinya. Dia setiap hari hanya bersama suami dan anak-anaknya. Awal puasa Santi merasa berat karena rindunya pada sosok ibu. Akan tetapi, wejangan dan motivasi suami lambat laun mengurangi beban rindu itu. Setiap ia melihat kamar ibunya yang kini lengang, dia mengingat sang ibu terbaring di atas kasur. Terkadang Santi tanpa sadar mengetuk pintu kamar ibunya untuk mengingatkan waktu salat.

Yang lebih menggerus hati Santi adalah saat melihat meja makan. Maja itu dia pesan untuk ibunya. Namun, belum satu bulan sang ibu menikmati makan di meja itu, takdir kematian telah menjemputnya. Air mata Santi terus menetes saat melihat meja tersebut.

Belum lagi kebaya yang ia belikan ketika menjelang Idul Fitri tahun lalu. Kebaya warna hitam bermotif kembang belum sempat dikenakan. Rencana akan dipakai saat hari raya. Apa boleh buat, saat hari raya ibu Santi sudah terbaring sakit setelah seminggu dirawat di rumah sakit. Kebaya itu disimpan rapi di almari beserta pakaian lainnya.

Santi duduk dalam kamar ibunya. Dia melipat kembali kebaya ibunya yang sempat dibuka. Santi sesengguhkan sambil menutup wajahnya dengan kebaya yang belum terlipat sempurna. Suami Santi mendengar tangis istri. Dia menghampiri istrinya dalam kamar.

”Aku rindu ibu,” katanya.

”Doakan!” jawab singkat suaminya.

”Doakan, doakan. Kata-kata itu saja yang kamu ucapkan,” sahutnya ketus.

”Lalu dengan cara apa untuk mengobati kerinduan anak terhadap ibunya yang sudah meninggal selain doa?” pertanyaan menohok suami kepadanya.

”Aku ingin ibu hidup lagi?”

”Sadar, Bu. Yang kamu katakan ini sama halnya menentang takdir Allah. Istighfar!”

”Aku sadar, Pak.”

”Tapi, yang kamu katakan ini telah menyalahi kodrat Allah. Semua orang yang telah mati tidak mungkin bisa hidup normal kembali ke dunia. Kalian nanti bisa bertemu dalam satu alam. Itu pun atas izin Allah.”

”Kalau begitu aku ingin mati biar bisa bertemu ibu.”

”Bu, di mana imanmu? Di mana Islammu? Kamatian itu tidak bisa diminta dan tidak bisa ditolak. Kita semua akan mati jika Allah menghendaki. Kalau belum saatnya, terus minta mati, sama halnya dengan bunuh diri. Orang yang mati dengan bunuh diri itu sejelek-jeleknya kematian manusia. Mereka putus dari rahmat Allah. Nauzubillah!” jelas suaminya.

”Segeralah berwudlu, ambil Alquran, bacalah biar hati tenang,” sambung suaminya.

Santi bangkit secara perlahan. Dia menyempurnakan lipatan kebaya ibu kemudian menaruhnya di almari bersama pakaian lain.

Lama-lama suami Santi bingung. Dia kehabisan cara untuk menyadarkan istrinya agar tidak larut dalam kesedihan setelah kematian ibu mertuanya. Dia bertanya pada teman, ustadz, dan para alim kenalannya. Suami Santi meminta saran cara menyadarkan istrinya. Rerata disuruh mendoakan istrinya agar hatinya dibuka oleh Allah sehingga bisa mengikhlaskan kematian ibunya setahun lalu. Ada satu saran lagi dan menurut suami Santi masuk akal. Yaitu, menjauhkan barang atau benda-benda yang identik dengan ibunya. Terutama tata letak kamar dan pakaian ibunya.

”Benarkah bisa mengakhiri beban istriku?”

”Insyaallah, ikhtiyar. Semoga bisa!” jawab kiai Syamsul, sosok alim yang pernah mengajari Santi mengaji Alquran.

Suami Santi sangat yakin atas masukan temannya ini. Dia bergegas menemui istrinya lalu menyampaikan saran tersebut. Namun, rencana itu mentah. Santi menolak keras saran ini.

”Tidak mungkin. Kamar dan pakaian ini adalah bagian dari kehidupan ibu. Kalau ruhnya pulang, pasti menangis mencari pakaian dan kamarnya. Ruh ibu akan seperti orang tersesat karena melihat suasana dan pemandangan baru di rumah ini,” kata Santi.

Bagi Santi, ibunya masih hidup. Dia merasa ibunya masih berada di sekitarnya dan berkebutuhan layaknya seperti dia. Padahal, ibunya berada di alam berbeda yang kebutuhannya juga tidak sama. Kebutuhan makan, minum, dan pakaian ibunya kini adalah kiriman doa, bukan lainnya. Doa itulah yang akan menentramkan ibu Santi di alamnya. Bukan kebutuhan orang hidup sebagaimana yang dikatakan Santi.

Kematian adalah takdir Allah. Bila sudah saatnya ajal datang menjemput manusia, tak satu pun manusia bisa menghindar. Ibarat dengan berlari ke atas gunung, menyelam ke dasar laut, atau berada di bunker sekalipun, manusia akan tetap menemui ajal. Maka, setiap saat manusia harus berbuat kebajikan agar ketika ajal menjemput berada di jalur yang benar.

Malam lebaran datang. Santi semakin tenggelam kerinduan pada ibunya. Di meja makan ruang dapur, air mata Santi membanjiri permukaan meja makan. Lebih-lebih tatkala takbir berkumandang dari masjid. Isak tangis Santi semakin dalam.

”Kasihan ibu,” katanya dalam tangis.

”Akan semakin kasihan lagi apabila kamu tidak menghentikan tangismu. Doakan semoga ibu mendapat rahmat dan ampunan Allah di malam Idul Fitri ini,” saran suaminya.

Mendengar saran suaminya, tangis Santi perlahan mereda. Anak-anaknya yang lugu turut juga menghibur ibu mereka. Mereka mendekap sambil membelai rambut serta mengusap mata ibuya yang sembap.

”Ibu, ikhlaskan nenek. Nenek sudah tenang berada di sisi Allah. Nenek sedang menikmati perjamuan hasil dari ibadahnya semasa hidup. Nenek bahagia di alamnya, kok!” kata putri sulungnya.

Kata-kata dari belahan hatinya menegarkan Santi. Dia mengangkat wajah kemudian menatap wajah suami dan anak-anaknya. Mereka berbaur menjadi satu dalam suasana malam lebaran pertama tanpa seorang ibu dan nenek anak-anaknya. Suami dan anak-anak Santi menguatkan hati ibu. Jiwa yang tercabik akibat kematian ibu, berusaha dijahit oleh orang-orang terdekatnya ini.

”Berat, Pak!”

”Iya, memang berat. Tapi, yakinlah ini adalah keputusan terbaik dari Allah untuk keluarga kita. Pasti ada hikmah di balik semunya ini,” kata suami Santi.

”Iya, Pak,” pungkas Santi.

Santi, suami, dan anak-anaknya tersenyum bahagia. Mereka menjalani lebaran pertama tanpa ibu dengan ikhlas dan kejernihan jiwa. Mereka yakin ibu Santi juga menikmati jamuan yang sama karena doa yang mereka kirimkan setiap hari.

”Nenek juga berlebaran, Bu,” celetuk anak bungsunya yang disusul senyum bahagia mereka di hari lebaran.

Lamongan, 12 April 2024

Ahmad Zaini merupakan guru di SMKN 1 Lamongan dan ketua Lesbumi PCNU Babat. Beberapa puisi dan cerpennya bertebaran di media cetak dan online serta diterbitkan dalam beberapa buku antologi tunggal dan bersama penulis nusantara.


https://radarbojonegoro.jawapos.com/lembar-budaya/714619073/lebaran-pertama-tanpa-ibu