Pungguk Merengkuh Bulan
Cerpen karya Ahmad Zaini*
Sebuah desa di bantaran sungai Bengawan Solo menjadi saksi kelahiran bayi laki-laki. Oleh orang tuanya bayi itu diberi nama Munjali. Ia merupakan anak ketiga dari lima bersaudara. Kelima saudaranya laki-laki. Para tetangga mengistilahkannya dengan pandawa lima. Yakni, tokoh pewayangan pandawa lima yang terdiri atas Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa keturunan Pandu dalam kisah Mahabarata.
Mereka tinggal di rumah sederhana. Rumah beratap genting dan berdinding sebagian berbahan papan kayu mahoni serta bambu di bagian lain. Di depannya terdapat tiga pohon mangga dan beberapa tanaman obat tradisional seperti kunir, lengkuas, dan temu putih. Keluarga ini selalu memanfaatkannya sebagai jamu apabila ada anggotanya yang mengalami gangguan kesehatan.
Kedua kakak Munjali sudah berkeluarga dan berumah sendiri. Mereka tinggal satu desa namun berbeda wilayah. Munjali, dua adiknya, tetap tinggal di rumah sederhana itu. Mereka hidup damai dalam nuansa perdesaan yang alami.
Munjali berbeda dengan kedua kakaknya yang berprofesi sebagai tukang kayu. Dia mempunyai cita-cita tinggi ingin menjadi orang sukses. Sukses sebagai orang yang berpendidikan tinggi. Munjali berkeyakinan derajat seseorang itu diukur dengan ilmu. Maka, dia bersikukuh ingin menuntut ilmu setinggi-tingginya.
Kedua orang tua Munjali sebagai petani. Hasil pertaniannya hanya cukup digunakan untuk memenuhi kebutuhan makan keluarga dan sekolah Munjali beserta kedua adiknya. Itu pun kalau tidak ada hama penyakit yang menyerang tanamannya. Jika ada wabah penyakit, bisa jadi tidak menghasilkan apa-apa.
Munjali kecil menimba ilmu di madrasah desa. Setiap pagi dia berangkat sekolah dengan berjalan kaki. Bila musim penghujan, Munjali harus melintasi jalan berlumpur sepanjang lima ratus meter untuk bisa sampai ke madrasah. Di saku kanan celananya terdapat butiran-butiran jagung goreng sebagai camilan saat istirahat sekolah agar dia tidak perlu membeli jajan. Di saku sebelah kiri terdapat lipatan plastik kresek. Dia membawa plastik itu untuk menyelamatkan buku dari hujan jika tiba-tiba turun saat berangkat atau pulang sekolah. Jika haus, Munjali menuju sumur yang berada di belakang gedung madrasah. Dia menimba air sumur kemudian meminumnya. Orang tua tidak pernah memberi uang jajan seperti teman-temannya yang lain karena memang tidak punya uang. Bukan karena orang tuanya pelit.
Setelah menamatkan pendidikan di tingkat dasar, Munjali melanjutkan pendidikan tingkat menengah. Walapun terkendala biaya, dia tidak putus asa dalam ketiadaan. Dia ingin menjadi orang yang punya derajat luhur dengan berilmu.
”Cukup lulus madrasah saja, Mun. Bapak dan ibu tidak sanggup membiayai sekolahmu,” kata ayahnya.
”Mohon restu. Saya akan melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi dengan biaya sendiri,” tegas Munjali.
Kedua orang tua Munjali terdiam. Mereka terharu pada kegigihan Munjali menuntut ilmu. Dia tidak seperti kedua kakaknya yang cukup sekolah di madrasah dan pada akhirnya menjadi tukang kayu. Mungkin karena dahinya luas itu sehingga gambaran masa depannya terbentang luas.
”Kalau begitu, Bapak dan Ibu merestuimu belajar lagi di tingkat lebih tinggi,” pungkas kedua orang tuanya.
Munjali yang bertubuh kekar dan pendek ini semangatnya semakin membara. Atas bekal restu kedua orang tuanya dia lantas mendaftar dan belajar di sekolah menengah pertama yang berjarak sekitar tiga kilometer dari rumah. Namun, bagi Munjali jarak bukanlah sebagai penghalang. Dia tetap semangat dan bertekad mewujudkan impiannya.
Tiga tahun lebih Munjali berjalan kaki melintasi tanggul Bengawan Solo bersama teman-temannya. Mereka tidak peduli jalan becek dan berlumpur. Mereka tidak takut naik perahu lalu menyeberang sungai terpanjang di Jawa ini untuk bisa belajar di sekolah. Mereka pun tidak memedulikan banjir yang sewaktu-waktu datang akibat luapan sungai Bengawan Solo menerjang desanya. Mereka tetap berangkat sekolah meskipun perjalanannya membutuhkan waktu yang lebih lama daripada sebelumnya.
Saat hari libur, Munjali ikut orang tuanya mencari rencek atau kayu bakar di tegalan atau hutan kecil sebelah desanya. Rencek-rencek itu dikumpulkan terpisah dari rencek orang tuanya. Setelah terkumpul banyak, dia munjualnya ke pengepul. Uang hasil penjualan rencek digunakan untuk membeli buku dan membayar SPP.
Tiga tahun telah berlalu. Munjali mampu menamatkan sekolahnya dengan biaya sendiri. Dia mulai terbiasa belajar dengan biaya sendiri tanpa membebani orang tuanya. Dia tidak mengharap-harapkan uang dari orang tua. Biarlah hasil bekerja orang tuanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan kedua adiknya.
Munjali tidak mau berhenti hanya lulus SMP. Dia melanjutkan ke jenjang SMA di lembaga yang sama. Seperti arus sungai Bengawan Solo yang selalu mengalir tidak mengenal musim. Air itu terus meluncur hingga muara. Demikian juga dengan Munjali. Dia tetap belajar dan belajar hingga cita-citanya sebagai orang berilmu tinggi tercapai. Tak peduli jalan becek. Tak peduli banjir. Tak peduli ketiadaan biaya dari orang tuanya. Munjali tetap berlari jauh mengejar mimpi. Pada akhirnya, Munjali bisa menamatkan belajar tingkat SMA dengan predikat sebagai lulusan terbaik.
Munjali dielu-elukan dan dibangga-banggakan oleh para teman dan gurunya. Munjali benar-benar menjadi ikon sekolahnya. Anak dari desa di bantaran sungai Bengawan Solo, dari keluarga tidak mampu, ternyata mampu menamatkan sekolah sebagai siswa berprestasi dengan biaya sendiri.
”Munjali, kamu jangan berhenti sampai di sini. Teruslah belajar ke jenjang berikutnya, perguruan tinggi. Ingat pepatah burung terbang dengan sayap, manusia terbang dengan cita-cita,” pesan kepala sekolahnya.
”Mohon bimbingan dan restu, Bapak,” sahut Munjali dengan bersemangat tinggi.
”Ini ada informasi lowongan beasiswa ke UGM Jogjakarta. Daftar segera! Jangan sia-siakan kesempatan ini!”
”Baik, Bapak. Doakan saya berhasil meraih beasiswa itu,” sanggup Munjali.
Mendapat peluang emas seperti itu, dia langsung menerima dan menindaklanjutinya. Tidak ada bayang-bayang sebagai orang bantaran Bengawan Solo. Tidak ada bayang-bayang orang tua tidak mampu membiayainya. Tidak ada bayang-bayang nanti ketika kuliah bisa makan dan minum dari mana. Yang ada dalam benaknya hanyalah doa restu orang tua, guru, dan tentunya semangat untuk menjadi orang yang lebih baik dan bermanfaat bagi orang lain.
”Bapak, izinkan saya menjual sepeda onthel ini buat biaya berangkat ke Jogjakarta,” izin Munjali kepada ayahnya.
”Sialakan kamu jual. Saya ikhlas,” jawab ayahnya.
Munjali menjual sepeda yang menjadi kebutuhan transportasi keluarga. Dia mendapatkan uang dua ratus lima puluh ribu rupiah. Uang tersebut sudah cukup buat biaya perjalanan Munjali sampai ke kampus UGM Jogjakarta.
Tengah malam Munjali sampai stasiun Tugu. Suasana di stasiun sepi. Tidak ada tukang angkot atau tukang ojek. Munjali memutuskan bermalam di stasiun itu. Dia tidur di kursi tunggu sambil mendekap tas pakaian dan buku sampai subuh tiba.
Munjali beranjak dari kursi tunggu stasiun menuju masjid yang berada di sebelah stasiun. Dia malaksanakan salat subuh dengan berjamaah bersama warga sekitar. Usai salat, Munjali duduk sambil mengamati suasana Jogjakarta yang baru kali pertama dipijak. Di dekat masjid terdapat warung kecil yang meyediakan menu nasi kucing. Dia menuju ke situ untuk sarapan pagi.
”Berapa, Bu?” tanya Munjali kepada pemilik warung.
”Nasi kucing dan segelas teh hangat. Seribu lima ratus, Mas,” jawabnya. Munjali merogoh uang di saku lalu membayarnya ke tukang warung.
Pungguk yang berjuang merengkuh rembulan merapikan rambut dan pakaian. Dia bergeser ke pinggir jalan raya mencari jasa transportasi ke kampus UGM. Tak berselang lama sebuah angkot berhenti. Munjali naik angkot dan menempuh perjalanan tidak sampai sepuluh menit.
Di kampus UGM, Munjali masuk ruang tes. Di dalam ruang pengawas ujian sudah siap membagikan soal. Munjali fokus dengan doa dan konsentrasi menghadapi soal ujian. Soal ujian dia kerjakan dengan capat. Dia selesai paling awal. Munjali mengumpulkan lembar jawaban kepada pengawas. Pengawas itu menepuk-nepuk pundak munjali. Pengawas itu respek pada Munjali yang mempu mengerjakan soal dengan baik dan cepat.
Munjali duduk di kursi taman kampus. Dia memohon kepada Allah agar lolos seleksi penerima beasiswa. Tiga jam berikutnya, tepat pukul 15:00 panitia menempelkan pengumuman hasil tes. Munjali berlari menuju papan pengumuman. Dia lantas melakukan sujud syukur setelah namanya tercantum di nomor urut pertama daftar nama peserta lolos beasiswa.
Ujian pertama dalam meraih cita-cita telah dilalui Munjali dengan baik. Persoalan sebagai mahasiswa penerima beasiswa UGM sudah tuntas. Munjali memasang strategi untuk menghadapi ujian berikutnya, yakni kebutuhan tempat tinggal dan kebutuhan hidup. Munjali peercaya pada Allah. Percaya kepada kekuatan doa dan dukungan orang tua. Hal ini terbukti ketika ada seseorang yang menawarinya sebagai penjaga musalla di tempat yang tidak jauh dari kampus. Dia pun menerima tawaran tersebut.
Munjali pekerja keras. Dia melalui tahap-tahap kesuksesan dengan bekerja sendiri. Pahit getirnya kehidupan pernah dicicipinya. Munjali tidak kehilangan semangat. Dia mencari peluang untuk mendapatkan biaya hidup.
Dia mendatangi agen koran. Munjali menawarkan diri sebagai penjual koran. Munjali diterima oleh agen itu sebagai penjual koran di area museum Monumen Jogja Kembali atau monjali. Setiap hari dia berjualan koran di situ dengan memakai topi ninja. Orang-orang yang tinggal atau kebetulan melintas di area itu menyebutnya sebagai Ninja Monjali. Mereka tidak menyangka kalau sosok yang mereka sebut ninja monjali itu seorang mahasiswa berprestasi penerima beasiswa di UGM.
Selama empat tahun Munjali menimba ilmu di perguruan tinggi negeri ternama itu. Dia mampu menyelesaikan studi sesuai terget waktu. Ninja Monjali akan diwisuda pada pekan depan. Atas keberhasilan itu, dia semakin yakin bahwa tidak ada sesuatu yang tidak mungkin bila kita mau bekerja dan bersungguh-sungguh untuk mencapainya. Dia telah membuktikan sendiri pesan motivasi yang penah disampaikan kepala sekolahnya bahwa burung terbang dengan kedua sayap, manusia terbang dengan cita-cita. Dengan cita-cita tinggi akhirnya dia mampu menyelesaikan studi dengan baik dan cemerlang.
Sebutan Ninja Monjali kembali mencuat tatkala dalam rapat senat terbuka wisuda sarjana UGM, nama Munjali disebut sebagai wisudawan atau lulusan terbaik. Sebutan itu menggema seiring gemuruh tepuk tangan para peserta wisuda lainnya. Munjali didaulat ke panggung kehormatan untuk memberi sambutan sebagai lulusan terbaik tahun itu.
”Kesuksesan adalah milik orang yang mau belajar, bekerja, dan berjuang dengan sungguh-sungguh tanpa melihat latar belakang keluarga, daerah, dan ekonomi,” tutur Munjali dalam sambutannya.
Nama Munjali alias Ninja Monjali sebagai wisudawan terbaik menghiasi halaman berbagai koran. Dia juga disebut sebagai pungguk yang mampu merengkuh rembulan. Berita tentang Munjali menjadi inspirasi para remaja.
Berita-berita itu tersebar di seantero daerah tempat tinggal Munjali di bantaran sungai Bengawan Solo. Banyak warga kagum dan terharu. Anak tukang pencari rencek berhasil menjadi wisudawan terbaik di perguruan tinggi ternama. Mereka banyak yang penasaran pada kondisi ekonomi keluarga Munjali. Sebagian dari mereka ada yang datang ke rumah orang tua Munjali. Mereka yang sempat datang ke lokasi sampai menggeleng-gelengkan kepala. Ada yang meneteskan air mata haru saat melihat tempat tinggal keluarga Munjali.
”Bapak, Ibu, saya pulang,” kata Munjali yang tiba-tiba datang dan mengejutkan kedua orang tua serta para tokoh yang sedang berbincang-bincang tentangnya.
”Alhamdulilah, anakku. Kamu telah berhasil meraih cita-citamu.”
”Berkat doa kalianlah saya bisa menjadi seperti ini,” kata Munjali sembari masih sungkem kepada kedua orang tuanya.
Orang-orang yang kumpul di rumah sederhana di bantaran sungai Bengawan Solo bergembira. Mereka senang dengan keberhasilan anak desa menjadi wisudawan terbaik di kampus ternama. Mereka mengaharapkan Munjali menjadi pemuda inspiratif di daerah bantaran Sungai Bengawan Solo dan desa-desa lainnya. (*)
Lamongan, 13 Maret 2025
Ahmad Zaini merupakan guru SMKN 1 Lamongan. Dia telah menghasilkan beberapa buku kumpulan cerpen. Buku terbarunya berjudul Bingkai Jendela Tanpa Kaca (2024)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar