Senja Hari di Gerbang Pesantren
Cerpen Ahmad Zaini
Memendam rasa rindu memang sangat berat. Rasa itu akan
menjadi beban hidup. Setiap hari hidup terasa tidak nyaman apabila rindu tidak
segera dituntaskan. Apalagi rindu pada belahan jiwa yang sejak dua minggu ini
berpisah. Makan tak enak, tidur pun tak nyenyak. Wajah polos anak selalu
terbayang di kelopak mata.
Laila adalah seorang ibu dari tiga anak. Dia merasakan
betapa beratnya menyimpan rasa rindu. Ia beberapa hari malas makan. Berbagai
menu yang dia masak sendiri setiap hari dibiarkan tersisa. Setiap malam mata
sayunya sulit sekali terpejam. Wajah anak keduanya yang dua minggu ini
berpisah, seperti mengganjal kelopak matanya. Wajah lugu itu selalu hadir di
setiap malamnya.
”Doakan semoga anakmu krasan. Jangan dipikirkan
terus. Nanti anakmu akan merasakan hal yang sama sehingga dia ingin
pulang,” suaminya mengingatkan.
”Sebenarnya aku sudah berusaha mengikhlaskan perpisahan
ini. Aku ingin anakku belajar di pesantren. Aku ingin anakku hidup di lingkungan
para kiai dan santri. Aku ingin anakku bisa mengaji dan mengerti ilmu agama.
Akan tetapi, aku merasa sulit membuang bayang-bayangnya yang selalu hadir di
setiap aktivitasku sehari-hari,” kata Laila yang matanya terlihat berkaca-kaca.
”Niat baik itu harus disertai dengan keikhlasan. Kalau
kamu tidak segera mengikhlaskannya, saya khawatir kejadian seperti yang menimpa
anak-anak tetangga akan dialami anakmu juga,” sambung suaminya.
Laila terdiam. Dia memendam dalam-dalam wajahnya dengan
jilbab yang sempat lepas dari mahkota rambutnya. Jilbab putih tulang itu juga
digunakan untuk menutup mata yang hampir tumpah air matanya.
Wanita yang sehari-hari mengasuh dan membina anak-anak di
Taman Kanak-Kanak ini lambat laun membenarkan nasihat suaminya. Dia teringat
Rendi, anak sepupunya. Rendi waktu itu hanya tiga hari di pesantren. Dia gagal
melanjutkan belajar di pesantren karena tidak krasan. Hal itu terjadi
karena hati kedua orang tuanya sulit melepas buah hatinya. Setiap malam kedua
orang tua Rendi menangis karena tak mampu menahan rindu pada anak. Sulit
dipercaya sebenarnya. Perasaan kedua orang tuanya itu menembus relung hati
anaknya yang berada di pesantren. Setiap
malam Rendi pun selalu menangis. Anak semata wayang ini juga kangen kepada
kedua orang tuanya. Akhirnya, Rendi pulang karena ingin berkumpul lagi dengan
kedua orang tuanya.
”Bu, kangen Mas Jauhar,” rengek si bungsu.
Rengek si bungsu membuat rindu Laila pada anaknya yang di
pesantren kambuh lagi. Dia mendekap si bungsu dengan derai air mata.
”Lho, kenapa kalian menangis?” tanya suaminya yang
baru pulang dari kerja.
”Wardah kangen kepada kakaknya,” jawab Laila.
”Kangen? Ah, masak!”
”Iya, ayah. Aku kangen Mas Juahar,” jawabnya lugu.
”Baiklah. Apabila kalian kangen, besok sore kita sambang
ke pesantren,” janji ayahnya.
”Hore, besok kita bertemu Mas Jauhar,” girang si bungsu.
***
Sore hari selepas asar, mereka berangkat ke pesantren Al
Fattah 3. Sang imam keluarga memenuhi janjinya mengantarkan mereka sambang anak
keduanya yang baru dua minggu belajar di pesantren. Rindu mereka menggebu-gebu.
Mereka tak sabar ingin segera bertemu
Jauhar yang masih lugu.
Sesampai di gerbang pesantren perjalanan mereka
terhalang. Seorang satpam berdiri di depan mobil mengentikan perjalanannya.
”Maaf, akan ke mana dan perlu apa?” tanya satpam berkumis
lebat.
”Akan menjenguk anak saya,” sahut Laila yang duduk kursi mobil
sebelah kiri.
”Iya, kami mengantar buku anakku yang tertinggal,”
sambung suaminya untuk meyakinkan penjaga keamanan pesantren itu.
”Cukup sampai di gerbang ini saja, Bu. Dilarang keras
masuk ke lokasi pesantren,” kata satpam.
”Terus bagaimana dengan buku anak saya ini?”
”Tulis identitas anak Ibu biar nanti saya yang akan
mengantarkan buku ini ke dalam,” pungkasnya.
Laila kebingungan. Dia tidak punya alasan lagi agar bisa
bertemu dengan anaknya.
”Sebenarnya kami sekeluarga sangat merindukannya. Izinkan
kami menemuinya meskipun hanya lima menit. Bapak lihat di dalam mobil. Kakak
dan adiknya juga ikut. Mereka semalam tidak bisa tidur karena kangen padanya,”
kilah Laila.
”Tetap tidak bisa, Bu,” tegas Pak Satpam.
”Begini saja, Pak. Mohon bantuan sekiranya Bapak bisa
mengajak anak saya keluar dari kamar pesantren untuk memperlihatkan diri dekat
pintu gerbang. Kami hanya ingin melihat kodisinya saja,” kata suami Laila
memberikan solusi.
Pak Satpam berpikir sambil memukul-mukulkan penthungnya
ke telapak tangan kirinya. Pak Satpam sebenarnya enggan memenuhi permintaan
orang tua santrinya ini. Dia takut ditegur oleh pengasuh pesantren. Maklumlah,
karena saat ini masih musim pandemi covid-19. Pemberlakuan PPKM darurat
level 4 belum usai sehingga masih ada pembatasan tamu yang masuk ke lokasi
pesantren.
”Baiklah, Bapak dan Ibu tunggu di sini saja biar saya
panggilkan anak kalian. Oh, iya. Siapa namanya?”
”Muhammad Jauharul Ma’arif,” jawab si bungsu yang
tiba-tiba muncul dari belakang.
”Oalah, si Jauhar,” pungkas Pak Satpam yang
ternyata nama Jauhar tidak asing baginya.
Laila dan kedua anaknya yang berdiri di kanan-kirinya
seperti tak sabar bertemu dengan Jauhar. Mereka gemas karena sosok yang
ditunggu-tunggu tidak segera muncul. Sudah lima belas menit mereka menunggu di
gerbang pesantren.
”Kok, lama, Bu?” tanya si bungsu.
”Sabar! Sebentar lagi kakakmu akan keluar bersama Pak
Satpam,” hibur ayahnya.
”Ini sudah kelewat sabar, Yah. Ini sudah senja
sebentar lagi maghrib,” kata Laila.
”Kita tunggu saja. Mungkin Jauhar masih mengaji atau ada
kegiatan lain,” celetuk suaminya.
Empat orang yang berdiri di depan gerbang pesantren
memiliki perasaan yang sama. Mereka dirundung gelisah. Hati mereka
menggebu-gebu ingin segera bertemu sampai berkelu.
Ketika Laila hendak berteriak lantaran kesal menunggu, tiba-tiba
Pak Satpam muncul dari lokasi pesantren bersama anaknya yang sangat dirindukan.
Laila meronta sambil kedua tangannya menggerak-gerakkan pintu gerbang. Dia
ingin memeluk buah hatinya yang dua minggu berpisah dengannya. Demikian juga
dengan anaknya. Setelah melihat ayah, ibu, kakak, dan adiknya, dia langsung
berlari meninggalkan satpam. Dia berbaur dengan anggota keluarganya yang hampir
setengah jam menunggu di gerbang pesantren. Tangan Laila mengelus-elus kepala
anaknya dari kolong jeruji pintu gerbang. Dia merangkul tubuh anaknya menembus
sekat pintu gerbang. Adik dan kakaknya pun demikian. Mereka memanggili nama
Jauhar yang sosoknya berada dalam halangan pintu besi sambil menjulur-julurkan
kedua tangannya agar bisa saling berjabatan.
”Ayah, Ibu, Kakak, dan Adik, doakan saya bisa sabar dan
rajin belajar di pesantren ini!” pinta Jauhar.
”Iya. Doa kami selalu untukmu, Nak. Semoga kamu mendapat
ilmu yang manfaat dan berkah,” jawab ibunya.
”Maaf, waktunya sudah menjelang maghrib. Jauhar harus
kembali ke pesantren untuk bersiap-siap melaksanakan salat maghrib,” kata Pak
Satpam.
”Terima kasih, Pak Satpam,” ucap suami Laila.
Keempat orang yang berada di gerbang pesantren menatap
anaknya yang kembali ke tempat belajar. Mereka melepas anaknya yang berjalan
dengan tegap sambil digandeng oleh Pak Satpam menuju ke pesantren. Dalam hati
mereka mendoakan semoga anaknya kelak menjadi anak yang berbakti kepada kedua
orang tua, agama, nusa dan bangsa.
”Mari pulang. Kita salat maghrib di masjid biasanya,”
ajak suami Laila.
Senja hari mereka meninggalkan pintu gerbang pesantren.
Pintu yang menjadi prasasti rindu antara hati orang tua dan anak. Mereka
perlahan menjauh dari gerbang pesantren diiringi kumandang azan maghrib yang
terdengar di masjid pesanten. (*)
Wanar, 13 Agustus 2021