Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Selasa, 12 Oktober 2021

Cerpen Senja Hari di Gerbang Pesantren, Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, Minggu, 22 Agustus 2021


 

Senja Hari di Gerbang Pesantren

Cerpen Ahmad Zaini

 

Memendam rasa rindu memang sangat berat. Rasa itu akan menjadi beban hidup. Setiap hari hidup terasa tidak nyaman apabila rindu tidak segera dituntaskan. Apalagi rindu pada belahan jiwa yang sejak dua minggu ini berpisah. Makan tak enak, tidur pun tak nyenyak. Wajah polos anak selalu terbayang di kelopak mata.

Laila adalah seorang ibu dari tiga anak. Dia merasakan betapa beratnya menyimpan rasa rindu. Ia beberapa hari malas makan. Berbagai menu yang dia masak sendiri setiap hari dibiarkan tersisa. Setiap malam mata sayunya sulit sekali terpejam. Wajah anak keduanya yang dua minggu ini berpisah, seperti mengganjal kelopak matanya. Wajah lugu itu selalu hadir di setiap malamnya.

”Doakan semoga anakmu krasan. Jangan dipikirkan terus. Nanti anakmu akan merasakan hal yang sama sehingga dia ingin pulang,”  suaminya mengingatkan.

”Sebenarnya aku sudah berusaha mengikhlaskan perpisahan ini. Aku ingin anakku belajar di pesantren. Aku ingin anakku hidup di lingkungan para kiai dan santri. Aku ingin anakku bisa mengaji dan mengerti ilmu agama. Akan tetapi, aku merasa sulit membuang bayang-bayangnya yang selalu hadir di setiap aktivitasku sehari-hari,” kata Laila yang matanya terlihat berkaca-kaca.

”Niat baik itu harus disertai dengan keikhlasan. Kalau kamu tidak segera mengikhlaskannya, saya khawatir kejadian seperti yang menimpa anak-anak tetangga akan dialami anakmu juga,” sambung suaminya.

Laila terdiam. Dia memendam dalam-dalam wajahnya dengan jilbab yang sempat lepas dari mahkota rambutnya. Jilbab putih tulang itu juga digunakan untuk menutup mata yang hampir tumpah air matanya.

Wanita yang sehari-hari mengasuh dan membina anak-anak di Taman Kanak-Kanak ini lambat laun membenarkan nasihat suaminya. Dia teringat Rendi, anak sepupunya. Rendi waktu itu hanya tiga hari di pesantren. Dia gagal melanjutkan belajar di pesantren karena tidak krasan. Hal itu terjadi karena hati kedua orang tuanya sulit melepas buah hatinya. Setiap malam kedua orang tua Rendi menangis karena tak mampu menahan rindu pada anak. Sulit dipercaya sebenarnya. Perasaan kedua orang tuanya itu menembus relung hati anaknya yang  berada di pesantren. Setiap malam Rendi pun selalu menangis. Anak semata wayang ini juga kangen kepada kedua orang tuanya. Akhirnya, Rendi pulang karena ingin berkumpul lagi dengan kedua orang tuanya.

”Bu, kangen Mas Jauhar,” rengek si bungsu.

Rengek si bungsu membuat rindu Laila pada anaknya yang di pesantren kambuh lagi. Dia mendekap si bungsu dengan derai air mata.

Lho, kenapa kalian menangis?” tanya suaminya yang baru pulang dari kerja.

”Wardah kangen kepada kakaknya,” jawab Laila.

”Kangen? Ah, masak!”

”Iya, ayah. Aku kangen Mas Juahar,” jawabnya lugu.

”Baiklah. Apabila kalian kangen, besok sore kita sambang ke pesantren,” janji ayahnya.

”Hore, besok kita bertemu Mas Jauhar,” girang si bungsu.

***

Sore hari selepas asar, mereka berangkat ke pesantren Al Fattah 3. Sang imam keluarga memenuhi janjinya mengantarkan mereka sambang anak keduanya yang baru dua minggu belajar di pesantren. Rindu mereka menggebu-gebu. Mereka  tak sabar ingin segera bertemu Jauhar yang masih lugu.

Sesampai di gerbang pesantren perjalanan mereka terhalang. Seorang satpam berdiri di depan mobil mengentikan perjalanannya.

”Maaf, akan ke mana dan perlu apa?” tanya satpam berkumis lebat.

”Akan menjenguk anak saya,” sahut Laila yang duduk kursi mobil sebelah kiri.

”Iya, kami mengantar buku anakku yang tertinggal,” sambung suaminya untuk meyakinkan penjaga keamanan pesantren itu.

”Cukup sampai di gerbang ini saja, Bu. Dilarang keras masuk ke lokasi pesantren,” kata satpam.

”Terus bagaimana dengan buku anak saya ini?”

”Tulis identitas anak Ibu biar nanti saya yang akan mengantarkan buku ini ke dalam,” pungkasnya.

Laila kebingungan. Dia tidak punya alasan lagi agar bisa bertemu dengan anaknya.

”Sebenarnya kami sekeluarga sangat merindukannya. Izinkan kami menemuinya meskipun hanya lima menit. Bapak lihat di dalam mobil. Kakak dan adiknya juga ikut. Mereka semalam tidak bisa tidur karena kangen padanya,” kilah Laila.

”Tetap tidak bisa, Bu,” tegas Pak Satpam.

”Begini saja, Pak. Mohon bantuan sekiranya Bapak bisa mengajak anak saya keluar dari kamar pesantren untuk memperlihatkan diri dekat pintu gerbang. Kami hanya ingin melihat kodisinya saja,” kata suami Laila memberikan solusi.

Pak Satpam berpikir sambil memukul-mukulkan penthungnya ke telapak tangan kirinya. Pak Satpam sebenarnya enggan memenuhi permintaan orang tua santrinya ini. Dia takut ditegur oleh pengasuh pesantren. Maklumlah, karena saat ini masih musim pandemi covid-19. Pemberlakuan PPKM darurat level 4 belum usai sehingga masih ada pembatasan tamu yang masuk ke lokasi pesantren.

”Baiklah, Bapak dan Ibu tunggu di sini saja biar saya panggilkan anak kalian. Oh, iya. Siapa namanya?”

”Muhammad Jauharul Ma’arif,” jawab si bungsu yang tiba-tiba muncul dari belakang.

Oalah, si Jauhar,” pungkas Pak Satpam yang ternyata nama Jauhar tidak asing baginya.

Laila dan kedua anaknya yang berdiri di kanan-kirinya seperti tak sabar bertemu dengan Jauhar. Mereka gemas karena sosok yang ditunggu-tunggu tidak segera muncul. Sudah lima belas menit mereka menunggu di gerbang pesantren.

Kok, lama, Bu?” tanya si bungsu.

”Sabar! Sebentar lagi kakakmu akan keluar bersama Pak Satpam,” hibur ayahnya.

”Ini sudah kelewat sabar, Yah. Ini sudah senja sebentar lagi maghrib,” kata Laila.

”Kita tunggu saja. Mungkin Jauhar masih mengaji atau ada kegiatan lain,” celetuk suaminya.

Empat orang yang berdiri di depan gerbang pesantren memiliki perasaan yang sama. Mereka dirundung gelisah. Hati mereka menggebu-gebu ingin segera bertemu sampai berkelu.

Ketika Laila hendak berteriak lantaran kesal menunggu, tiba-tiba Pak Satpam muncul dari lokasi pesantren bersama anaknya yang sangat dirindukan. Laila meronta sambil kedua tangannya menggerak-gerakkan pintu gerbang. Dia ingin memeluk buah hatinya yang dua minggu berpisah dengannya. Demikian juga dengan anaknya. Setelah melihat ayah, ibu, kakak, dan adiknya, dia langsung berlari meninggalkan satpam. Dia berbaur dengan anggota keluarganya yang hampir setengah jam menunggu di gerbang pesantren. Tangan Laila mengelus-elus kepala anaknya dari kolong jeruji pintu gerbang. Dia merangkul tubuh anaknya menembus sekat pintu gerbang. Adik dan kakaknya pun demikian. Mereka memanggili nama Jauhar yang sosoknya berada dalam halangan pintu besi sambil menjulur-julurkan kedua tangannya agar bisa saling berjabatan.

”Ayah, Ibu, Kakak, dan Adik, doakan saya bisa sabar dan rajin belajar di pesantren ini!” pinta Jauhar.

”Iya. Doa kami selalu untukmu, Nak. Semoga kamu mendapat ilmu yang manfaat dan berkah,” jawab ibunya.

”Maaf, waktunya sudah menjelang maghrib. Jauhar harus kembali ke pesantren untuk bersiap-siap melaksanakan salat maghrib,” kata Pak Satpam.

”Terima kasih, Pak Satpam,” ucap suami Laila.

Keempat orang yang berada di gerbang pesantren menatap anaknya yang kembali ke tempat belajar. Mereka melepas anaknya yang berjalan dengan tegap sambil digandeng oleh Pak Satpam menuju ke pesantren. Dalam hati mereka mendoakan semoga anaknya kelak menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tua, agama, nusa dan bangsa.

”Mari pulang. Kita salat maghrib di masjid biasanya,” ajak suami Laila.

Senja hari mereka meninggalkan pintu gerbang pesantren. Pintu yang menjadi prasasti rindu antara hati orang tua dan anak. Mereka perlahan menjauh dari gerbang pesantren diiringi kumandang azan maghrib yang terdengar di masjid pesanten. (*)

Wanar, 13 Agustus 2021

 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar