Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Selasa, 12 Oktober 2021

Kaak, cerpen di Radar Bojonegoro edisi MInggu, 18 Juli 2021



KAAK

cerpen karya Ahmad Zaini

 

Senja tanpa cahaya. Suram mencekam. Tidak ada hembusan angin seperti biasa. Tidak ada selembar pun daun mangga yang luruh. Senja benar-benar senyap. Jalan-jalan lengang. Tak terlihat orang-orang melintang. Semua orang mengurung diri di rumah. Mereka juga beribadah dari rumah. Mereka ingin menyelamatkan diri dan keluarga dari serangan virus yang sudah hampir dua tahun mewabah.

Kaak!” suara gagak dari rerimbunan pohon di pekarangan belakang rumah Rahma.

Hatiku teriris oleh suara gagak. Jiwaku tersayat bunyi burung kematian. Namun, pelan-pelan aku meredam gejolak jiwa yang tidak karuan dengan berperasangka baik pada setiap peristiwa di alam.

Kaak!” lagi-lagi kicau burung kematian itu mengobrak-abrik jiwaku.

Ah, tidak mungkin itu akan terjadi. Aku selalu berusaha berperasangka baik atas peristiwa yang terjadi di alam ini. Semua yang terjadi di dunia ini karena kehendak Allah. Tidak ada peristiwa yang terjadi itu secara kebetulan. Namun, sekali lagi aku berpikiran yang positif pada semua peristiwa yang terjadi di sekelilingku. Bukankah Allah menimpakan sesuatu itu berdasarkan perasangka hambaNya? Itu yang kujadikan dasar agar Allah menganugerahkan kebaikan kepadaku, keluarga, dan warga.

Usai salat maghrib aku mendengar lirih suara orang membaca kalimat tauhid. Sepertinya orang tersebut menuntun anggota keluarganya yang sedang sakratul maut. Namun, siapa yang sedang nazak? Seingatku keluarga Rahma dalam seminggu ini sehat-sehat saja. Hanya saja semenjak diberlakukan keadaan darurat wabah ini aku tidak melihat mereka keluar rumah.

Kaak!” bunyi gagak terdengar lagi.

Menurut orang tua zaman dahulu, apabila ada suara burung gagak, berarti akan ada orang meninggal. Menurut mereka gagak itu burung yang memiliki kepekaan tinggi pada kematian. Indera penciumannya sangat tajam. Burung yang berbulu hitam dan bersuara mengerikan itu dapat mencium aroma sakratul maut.

Jangan-jangan Rahma, bisik dalam hatiku. Tidak mungkin. Sebelum warga tidak boleh keluar rumah, Rahma baik-baik saja. Terakhir aku bertemu dengannya ketika dia mengantarkan anaknya berangkat mengaji sore itu. Dia terlihat sehat. Akan tetapi, kenapa perasaanku tiba-tiba bermuara kepada Rahma. Apakah memang ada sesuatu yang menimpanya malam ini. Ah, tidak. Aku harus berusaha mengubur dalam-dalam perasangka yang buruk terhadap peristiwa menimpa siapa pun.

Duh, jadi teringat kenangan bersama Rahma. Sebelum menikah dan beranak pinak Rahma adalah gadis lugu dan sangat sederhana. Dia wanita berakhlak mulia. Rahma ramah pada siapa pun. Aku tertarik pada perangainya. Diam-diam aku jatuh cinta kepadanya. Dia pun membalasnya ketika rasa itu kuungkapkan kepadanya. Hanya saja itu tidak berlangsung lama karena orang tuanya tidak merestui hubungan anaknya denganku.

Aku sadar diri. Aku  bukan siapa-siapa di mata orang tuanya. Ibu Rahma selalu mengukur seseuatu dengan harta, harta, dan harta. Sedangkan, aku hanya jejaka biasa yang berasal dari keluarga biasa juga. Aku tidak punya harta yang bisa dibangga-banggakan oleh calon mertua yang menurut anak sekarang dikatakan matre. Kasihan sekali Rahma yang baik dan lugu harus terkena virus harta ibu kandungnya.

Kaak!” burung gagak itu bersuara lagi. Lamunan kenanganku bersama Rahma jadi ambyar.

Kali ini aku mendengar rintih tangis dari rumah Rahma. Aku mendengar tangis kehilangan yang amat berat. Aku semakin penasaran. Aku berdiri, berjalan ke arah jendela. Aku mengintip dari balik kelambu jendela rumahku. Ternyata benar. Aku melihat beberapa orang yang sebagian besar adalah sanak famili Rahma sedang berduka. Namun, siapa yang meninggal?

”Akan ke mana, Pak?” tanya istriku tiba-tiba.

”Keluar sebentar. Keluarga Rahma sepertinya ada yang meninggal,” jawabku.

”Tidak perlu keluar rumah. Musim wabah. Bahaya,” saran istriku.

”Coba kamu lihat ke rumah Rahma. Sanak familinya berkumpul di teras rumahnya,” aku memperlihatkan suasana di rumah Rahma kepada istriku lewat kaca jendela.

Tak berselang lama pintu rumahku diketuk-ketuk seseorang. Orang itu memanggil-manggil namaku. Aku bergegas membukakan pintu rumah.

”Pak Ahmad, Rahma meninggal dunia,” kata orang tersebut yang ternyata adalah Rusli. Orang yang dulu selalu menjadi penghubung ketika aku berpacaran dengan Rahma.

Innalillahi wainna ilaihi rojiun!” ungkapku seketika.

Aku tidak perlu berdiskusi lagi dengan istriku. Aku langsung keluar rumah untuk bertakziyah ke rumah Rahma.

”Pak, maskermu,” suara istriku dari belakang sambil menyodorkan maskerku yang tertinggal.

Duh, cepat sekali virus ini memapar seseorang. Rahma yang terlihat sehat dalam tiga hari ini, ternyata tidak mampu menahan gempuran virus yang sampai hari ini sudah menelan lima belas korban meninggal dunia. Jumlah korban tersebut hanya dalam waktu kurang dari dua minggu.

Aku terpaku di depan rumah Rahma. Kakiku berat melangkah masuk ke rumahnya. Ada getar rasa dosa dalam hatiku. Aku punya banyak salah pada Rahma yang belum sempat kusampaikan padanya. Aku pernah membuatnya menangis. Aku pernah membuatnya putus asa. Aku pernah membuatnya hampir menghilangkan nyawanya sendiri. Mungkin rasa salah inilah yang membelenggu kakiku hingga aku tak bisa melangkah masuk ke rumahnya.

”Pak Ahmad, maafkan semua salah Rahma!” kata suaminya yang tiba-tiba merangkulku.

Rasa salahku melebur dalam rangkulan suaminya. Mulutku terkunci tak mampu berbicara untuk membalas permintaan suaminya. Aku hanya bisa membalasnya dengan linang air mata yang mengalir deras hingga menetes di pundak suami Rahma. Aku yang seharusnya minta maaf pada Rahma, bukan suaminya yang memintakan maaf karena akulah yang banyak bersalah pada almarhum istrinya.

”Semoga istrimu khusnul khotimah!” bisikku ke telingga suami Rahma.

Amin!” balasnya lirih.

Orang-orang tidak boleh masuk ke rumah duka. Mereka hanya berdiri dan berdoa dari depan pintu. Hanya keluarga dan petugas dari desa yang mengurus janazah. Itu pun harus ada ketentuan menjaga protokol kesehatan dengan ketat. Setelah bertemu dengan suami Rahma, aku berbalik arah kemudian duduk bersama para tetangga di kursi panjang.

Kasak-kusuk kudengar pembicaraan para warga. Mereka membicarakan wabah yang semakin menggila. Ada yang serius menanggapinya, ada yang biasa-biasanya saja, bahkan ada yang mencuekinya. Yang lebih parah lagi ada sebagian dari mereka yang menyimpulkan bahwa virus ini adalah buatan pemerintah yang bekerja sama dengan negara lain. Wih, miris sekali mendengara komentar-komentar mereka.

Kaak!” suara gagak terdengar lagi dari balik kegelapan malam ketika janazah Rahma hendak diberangkatkan ke masjid untuk disalati.

Tangis pilu dan pedih mengiringi pemberangkatan janazah. Mereka kehilangan sosok Rahma yang baik dan sederhana ini. Namun, semua ini adalah takdir Allah. Semua yang terjadi ini karena kehendakNya. Tidak ada manusia yang bisa menghindar dari kematian ketika sudah tiba waktunya. Oleh karena itu, jangan menangisi dan menyesali kematian karena tangis dan sesal itu akan semakin menambah derita janazah dalam kubur.

”Ikhlaskan kepergian istrimu!” bisikku pada suami Rahma yang berjalan beriringan denganku.

”Iya. Mohon doanmu,” pungkasnya.

Kaak!” suara gagak diiring kepak sayapnya.

Gagak itu pergi menembus gelap malam. Burung kematian tersebut meninggalkan kesan yang mendalam bahwa kematian itu benar adanya. Hanya penyebabnyalah yang berbeda-beda. Seperti yang dialami Rahma. Tidak ada orang yang tahu kapan, di mana, dan bagaimana ajal menjemputnya. Wallahu a’lam!(*)

 

Wanar, 9 Juli 2021


Tidak ada komentar:

Posting Komentar