KAAK
cerpen karya
Ahmad Zaini
Senja tanpa cahaya. Suram mencekam. Tidak ada hembusan
angin seperti biasa. Tidak ada selembar pun daun mangga yang luruh. Senja
benar-benar senyap. Jalan-jalan lengang. Tak terlihat orang-orang melintang.
Semua orang mengurung diri di rumah. Mereka juga beribadah dari rumah. Mereka
ingin menyelamatkan diri dan keluarga dari serangan virus yang sudah hampir dua
tahun mewabah.
”Kaak!” suara gagak dari rerimbunan pohon di
pekarangan belakang rumah Rahma.
Hatiku teriris oleh suara gagak. Jiwaku tersayat bunyi
burung kematian. Namun, pelan-pelan aku meredam gejolak jiwa yang tidak karuan
dengan berperasangka baik pada setiap peristiwa di alam.
”Kaak!” lagi-lagi kicau burung kematian itu
mengobrak-abrik jiwaku.
Ah, tidak mungkin itu akan terjadi. Aku selalu berusaha
berperasangka baik atas peristiwa yang terjadi di alam ini. Semua yang terjadi
di dunia ini karena kehendak Allah. Tidak ada peristiwa yang terjadi itu secara
kebetulan. Namun, sekali lagi aku berpikiran yang positif pada semua peristiwa
yang terjadi di sekelilingku. Bukankah Allah menimpakan sesuatu itu berdasarkan
perasangka hambaNya? Itu yang kujadikan dasar agar Allah menganugerahkan
kebaikan kepadaku, keluarga, dan warga.
Usai salat maghrib aku mendengar lirih suara orang
membaca kalimat tauhid. Sepertinya orang tersebut menuntun anggota keluarganya
yang sedang sakratul maut. Namun, siapa yang sedang nazak?
Seingatku keluarga Rahma dalam seminggu ini sehat-sehat saja. Hanya saja
semenjak diberlakukan keadaan darurat wabah ini aku tidak melihat mereka keluar
rumah.
”Kaak!” bunyi gagak terdengar lagi.
Menurut orang tua zaman dahulu, apabila ada suara burung
gagak, berarti akan ada orang meninggal. Menurut mereka gagak itu burung yang
memiliki kepekaan tinggi pada kematian. Indera penciumannya sangat tajam.
Burung yang berbulu hitam dan bersuara mengerikan itu dapat mencium aroma sakratul
maut.
Jangan-jangan Rahma, bisik dalam hatiku. Tidak mungkin.
Sebelum warga tidak boleh keluar rumah, Rahma baik-baik saja. Terakhir aku
bertemu dengannya ketika dia mengantarkan anaknya berangkat mengaji sore itu.
Dia terlihat sehat. Akan tetapi, kenapa perasaanku tiba-tiba bermuara kepada
Rahma. Apakah memang ada sesuatu yang menimpanya malam ini. Ah, tidak.
Aku harus berusaha mengubur dalam-dalam perasangka yang buruk terhadap
peristiwa menimpa siapa pun.
Duh, jadi teringat kenangan bersama Rahma. Sebelum menikah
dan beranak pinak Rahma adalah gadis lugu dan sangat sederhana. Dia wanita
berakhlak mulia. Rahma ramah pada siapa pun. Aku tertarik pada perangainya.
Diam-diam aku jatuh cinta kepadanya. Dia pun membalasnya ketika rasa itu
kuungkapkan kepadanya. Hanya saja itu tidak berlangsung lama karena orang
tuanya tidak merestui hubungan anaknya denganku.
Aku sadar diri. Aku
bukan siapa-siapa di mata orang tuanya. Ibu Rahma selalu mengukur
seseuatu dengan harta, harta, dan harta. Sedangkan, aku hanya jejaka biasa yang
berasal dari keluarga biasa juga. Aku tidak punya harta yang bisa
dibangga-banggakan oleh calon mertua yang menurut anak sekarang dikatakan matre.
Kasihan sekali Rahma yang baik dan lugu harus terkena virus harta ibu
kandungnya.
”Kaak!” burung gagak itu bersuara lagi. Lamunan
kenanganku bersama Rahma jadi ambyar.
Kali ini aku mendengar rintih tangis dari rumah Rahma.
Aku mendengar tangis kehilangan yang amat berat. Aku semakin penasaran. Aku
berdiri, berjalan ke arah jendela. Aku mengintip dari balik kelambu jendela
rumahku. Ternyata benar. Aku melihat beberapa orang yang sebagian besar adalah sanak
famili Rahma sedang berduka. Namun, siapa yang meninggal?
”Akan ke mana, Pak?” tanya istriku tiba-tiba.
”Keluar sebentar. Keluarga Rahma sepertinya ada yang
meninggal,” jawabku.
”Tidak perlu keluar rumah. Musim wabah. Bahaya,” saran
istriku.
”Coba kamu lihat ke rumah Rahma. Sanak familinya berkumpul
di teras rumahnya,” aku memperlihatkan suasana di rumah Rahma kepada istriku
lewat kaca jendela.
Tak berselang lama pintu rumahku diketuk-ketuk seseorang.
Orang itu memanggil-manggil namaku. Aku bergegas membukakan pintu rumah.
”Pak Ahmad, Rahma meninggal dunia,” kata orang tersebut
yang ternyata adalah Rusli. Orang yang dulu selalu menjadi penghubung ketika
aku berpacaran dengan Rahma.
”Innalillahi wainna ilaihi rojiun!” ungkapku
seketika.
Aku tidak perlu berdiskusi lagi dengan istriku. Aku
langsung keluar rumah untuk bertakziyah ke rumah Rahma.
”Pak, maskermu,” suara istriku dari belakang sambil
menyodorkan maskerku yang tertinggal.
Duh, cepat sekali virus ini memapar seseorang. Rahma yang
terlihat sehat dalam tiga hari ini, ternyata tidak mampu menahan gempuran virus
yang sampai hari ini sudah menelan lima belas korban meninggal dunia. Jumlah korban
tersebut hanya dalam waktu kurang dari dua minggu.
Aku terpaku di depan rumah Rahma. Kakiku berat melangkah
masuk ke rumahnya. Ada getar rasa dosa dalam hatiku. Aku punya banyak salah
pada Rahma yang belum sempat kusampaikan padanya. Aku pernah membuatnya
menangis. Aku pernah membuatnya putus asa. Aku pernah membuatnya hampir
menghilangkan nyawanya sendiri. Mungkin rasa salah inilah yang membelenggu
kakiku hingga aku tak bisa melangkah masuk ke rumahnya.
”Pak Ahmad, maafkan semua salah Rahma!” kata suaminya
yang tiba-tiba merangkulku.
Rasa salahku melebur dalam rangkulan suaminya. Mulutku
terkunci tak mampu berbicara untuk membalas permintaan suaminya. Aku hanya bisa
membalasnya dengan linang air mata yang mengalir deras hingga menetes di pundak
suami Rahma. Aku yang seharusnya minta maaf pada Rahma, bukan suaminya yang
memintakan maaf karena akulah yang banyak bersalah pada almarhum istrinya.
”Semoga istrimu khusnul khotimah!” bisikku ke
telingga suami Rahma.
”Amin!” balasnya lirih.
Orang-orang tidak boleh masuk ke rumah duka. Mereka hanya
berdiri dan berdoa dari depan pintu. Hanya keluarga dan petugas dari desa yang
mengurus janazah. Itu pun harus ada ketentuan menjaga protokol kesehatan dengan
ketat. Setelah bertemu dengan suami Rahma, aku berbalik arah kemudian duduk
bersama para tetangga di kursi panjang.
Kasak-kusuk kudengar pembicaraan para warga. Mereka
membicarakan wabah yang semakin menggila. Ada yang serius menanggapinya, ada
yang biasa-biasanya saja, bahkan ada yang mencuekinya. Yang lebih parah lagi
ada sebagian dari mereka yang menyimpulkan bahwa virus ini adalah buatan
pemerintah yang bekerja sama dengan negara lain. Wih, miris sekali
mendengara komentar-komentar mereka.
”Kaak!” suara gagak terdengar lagi dari balik
kegelapan malam ketika janazah Rahma hendak diberangkatkan ke masjid untuk
disalati.
Tangis pilu dan pedih mengiringi pemberangkatan janazah.
Mereka kehilangan sosok Rahma yang baik dan sederhana ini. Namun, semua ini
adalah takdir Allah. Semua yang terjadi ini karena kehendakNya. Tidak ada
manusia yang bisa menghindar dari kematian ketika sudah tiba waktunya. Oleh
karena itu, jangan menangisi dan menyesali kematian karena tangis dan sesal itu
akan semakin menambah derita janazah dalam kubur.
”Ikhlaskan kepergian istrimu!” bisikku pada suami Rahma
yang berjalan beriringan denganku.
”Iya. Mohon doanmu,” pungkasnya.
”Kaak!” suara gagak diiring kepak sayapnya.
Gagak itu pergi menembus gelap malam. Burung kematian
tersebut meninggalkan kesan yang mendalam bahwa kematian itu benar adanya.
Hanya penyebabnyalah yang berbeda-beda. Seperti yang dialami Rahma. Tidak ada
orang yang tahu kapan, di mana, dan bagaimana ajal menjemputnya. Wallahu
a’lam!(*)
Wanar, 9 Juli 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar