Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Rabu, 06 Agustus 2025

Gara-Gara Lubang, Cerpen Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, Sabtu, 2 Agustus 2025



Gara-Gara Lubang

Cerpen karya Ahmad Zaini

Kampung ini sedang tidak baik-baik saja. Penduduknya banyak, namun kurang sejahtera. Setiap hari mereka bekerja di ladang. Menanam segala tanaman yang bisa dimanfaatkan buahnya buat bertahan hidup. Beberapa tahun terakhir ini hasil panen mereka menurun. Para petinggi kampung terkesan menutup mata. Mereka belum pernah memberi solusi untuk mengatasi permasalahan ini. Terkesan kepala kampung dan perangkatnya tidak pernah memerhatikan mereka. Terutama kepala kampung. Kasak-kusuk banyak warga yang menduga semua itu gegara lubang.

Warga kampung mendadak geger. Mereka tiba-tiba berdebat tentang lubang. Ada kelompok yang mengatakan lubang itu penting. Ada pula yang berpendapat lubang berbahaya. Sisanya abstain alias tidak mempermasalahkan lubang.

Setiap hari dari pagi sampai sore, di rumah atau di tempat keramaian, bahkan di tempat ibadah mereka berdebat tentang lubang. Sebegitu kuatnya daya tarik lubang buat mereka sampai-sampai mendebatkannya tanpa memedulikan waktu dan tempat.

“Andai tubuh kita tidak ada lubang, kita akan mati,” kata perempuan bertubuh gembrot sambil setengah berdiri dengan bertumpu pada lutut.

“Namun banyak pula orang mati karena lubang,” sanggah lelaki kurus dengan rambut tak terurus.

“Selain kita bisa hidup, lubang juga bermanfaat buat manusia. Tanpa lubang, kita seperti di penjara,” sambung perempuan gembrot.

“Faktanya banyak orang dipenjara juga karena lubang,” respon lelaki kurus mementahkan setiap pendapat si perempuan.

Tiba-tiba perempuan gembrot berdiri. Dia berjalan terhuyung-huyung mendekati lelaki kurus. Serta merta perempuan itu menghempaskan tubuhnya menindih lelaki kurus. Lelaki itu meronta meminta tolong warga lainnya. Dia hampir mati lantaran sulit bernapas. Lubang hidung, mulut, dan lubang lainnya hampir tersumbat tubuh besar perempuan itu. Untung saja para warga sigap. Mereka beramai-ramai mengangkat tubuh perempuan yang menindih lelaki kurus berambut tak terurus.

“Ini sebagai bukti bahwa lubang itu sangat penting. Tanpa lubang, pasti tidak ada kehidupan. Semua manusia akan mati tanpa lubang,” suara lantang perempuan gembrot dengan jumawa.

“Aku hampir mati, juga karena tertindih lubang,” kata si lelaki dengan napas terengah-engah.

“Apa katamu?” perempuan itu berdiri dan hendak menindih lelaki kurus itu lagi.

Lelaki ini berdiri lantas berlari menjauh untuk mencari tempat yang aman. Dia menyusup ke tengah kerumunan warga lainnya.

Dari kejauhan terdengat gemuruh suara orang-orang berdemontrasi. Mereka bergerak akan menunju balai kampung. Mereka menuntut permasalahan lubang. Peserta demo ini mayoritas korban lubang.

“Tutup lubang, tutup lubang, tutup lubang!” teriak mereka sambil membentang spanduk bertuliskan Komunitas Korban Lubang.

Para pendemo antilubang ini rata-rata pernah celaka gegara lubang. Ada yang kepalanya miring, tangan patah, kaki pengkar, tulang hidung remuk, bahkan sampai ada yang tulang ekor retak hampir lumpuh.

Semua pendemo menganggap lubanglah biang keladi semua itu hingga menjadi cacat. Mereka sepakat, lubang segera dilenyapkan dari kampung ini.

Perempuan gembrot spontan berdiri. Dengan suara menggelegar, dia membantah kata-kata para pendemo.

“Kalian jangan menyalahkan lubang. Kalian lahir ini juga karena lubang. Kalian mati juga butuh lubang,” kata perempuan gembrot itu dengan lantang.

“Pokoknya hari ini lubang-lubang itu harus ditutup. Karena lubang, negara kita punya hutang banyak. Karena lubang juga, dana kampung kita semrawut. Gara-gara lubang di jalan juga, banyak kecelakaan. Banyak korban yang mati.

“O, itu yang kalian maksud. Benar juga,” perempuan itu baru memahami maksud para pendemo.

“Huuuu,” warga sekampung dan para pendemo menyoraki perempuan gembrot.

“Sekarang aku ikut gabung kalian. Ayo, bersama-sama menggeruduk balai kampung. Mari kita tutup lubang-lubang di sana agar hidup kita aman dan sejahtera,” ajak perempuan tersebut.

Permasalahan demi permasalahan banyak bersumber dari lubang. Lubang itu menyamar. Banyak orang terkelabui lubang. Banyak juga orang terjebak lubang. Pengakuan mereka yang pernah menjadi korban lubang, katanya lubang itu kelihatan datar. Tidak ada tanda gundukan atau semacamnya. Apalagi jika lubang itu tertutup air. Terlihat halus dan mulus. Mereka tidak menyangka kalau mereka akan celaka. Makanya orang-orang itu tidak pernah menyadari bahwa mereka akan terperosok dalam lubang. Mereka pasti sial atau celaka. Mereka akan benar-benar sadar saat sudah masuk dalam lubang. Mereka terjungkal, terjebak, dan tercabut harga diri bahkan nyawanya.

“Barang siapa menggali lubang, maka dia akan terperosok ke dalamnya,” kata lelaki kurus menirukan peribahasa.

“Tutup lubang, tutup lubang, tutup lubang,” teriak para pendemo yang berduyun-duyun menuju halaman balai kampun.

Sekarang seluruh warga berkumpul di halaman balai kampung. Mereka menyampaikan aspirasi dan menuntut kepala kampung agar menutup lubang.

“Di kampung ini banyak lubang menganga. Makanya kehidupan warganya tidak aman dan sengsara. Kami menuntut lubang-lubang di semua lini kampung ini segera ditutup agar kami bisa hidup aman, nyaman, dan sejahtera,” salah satu pendemo menyampaikan orasinya.

“Betul sekali. Anggaran kampung berlubang. Dana banyak yang masuk lubang. Mari kita tutup lubang agar tidak terjadi kebocoran lagi,” sambung perempuan gembrot.

“Hidup kita masih berlubang. Belum sempurna. Jauh dari kata sejahtera. Mulai hari ini, lubang-lubang itu harus kita tutup agar kita bisa hidup aman,” sambung si lelaki kurus.

“Jalan berlubang berbahaya. Apalagi lubang berjalan, malah sangat berbahaya,” celetuk salah satu pendemo.

“Betul. Betul sekali. Ibu-ibu menjadi korbannya. Suaminya banyak yang tidak pulang karena lubang berjalan,” sahut pendemo lainnya yang paham dengan istilah itu.

Suasana semakin panas karena kepala kampung tidak segera muncul menemui mereka. Si gembrot berdiri, lalu merangsek, mendorong para hansip yang membentuk pagar betis mengamankan kepala desa. Mereka merasa diabaikan oleh kepala kampung. Merasa pendapatnya tidak dihargai.

“Jangan-jangan…, kepala kampung bersembunyi dalam lubang di ruang kerjanya?” lelaki kurus curiga.

“Benar juga,” sahut salah satu pendemo.

Karena hampir setengah hari kepala kampung tidak segera keluar, para pendemo tidak sabar. Mereka serempak memaksa masuk ke ruang kerja kepala kampung. Pendemo dan hansip saling dorong hingga pagar betis yang mereka bentuk berlubang. Para pendemo menerobos lubang-lubang itu, kemudian masuk ke ruang kerja kepala desa.

Mereka bengong lantaran tidak menemukan kepala kampung di ruangan. Mata mereka menjelajah di setiap titik ruang. Mereka belum juga melihat batang hidung kepala kampung. Perempuan gembrot beraksi. Tangan berototnya mengangkat meja kerja kepala kampung. Dia yakin dan seyakin-yakinnya, kepala kampung pasti bersembunyi di bawah meja kerjanya.

Perempuan gembrot, lelaki kurus, dan para pendemo yang ikut masuk ke ruang kerja kepala kampung terkejut. Mata mereka terbelalak. Mereka menemukan lubang di bawah meja kerja kepala kampung. Lubang yang sangat dalam. Lubang berdiameter seukuran tubuh manusia. Lubang itu gelap. Tidak tahu apa atau siapa yang ada di dalamnya. Tidak tahu lubang itu memiliki terusan atau tidak.

Mereka menerka-nerka kegunaan lubang ini. Apakah berfungsi sebagai bunker, tempat kepala kampung menyelamatkan diri dari serangan rudal para warganya? Atau jalur rahasia kepala kampung pulang ke rumah istri mudanya? Jangan-jangan, lubang ini digunakan oleh kepala kampung menyimpan penghasilan yang tidak halal? Atau berfungsi sebagai lumbung pangan yang disiapkan buat warga sebagai antisipasi bila terjadi bencana kelaparan? Semua itu hanya usaha menebak-nebak para pendemo mengenai lubang yang mereka temukan ini.

Ternyata. oh, tenyata! Lubang di bawah meja kerja kepala kampung itu multifungsi. Ada beberapa cabang lorong dalam lubang. Lorong pertama digunakan sebagai penadah kebocoran anggaran kampung. Lorong kedua sebagai terusan kepala kampung melarikan diri dari kejaran warga dan KPK. Lorong yang terakhir, sebagai tempat persiapan bunuh diri apabila kejahatannya terkuak oleh aparat penegak hukum.

Warga kampung baru mengerti sebab-musabab infrastruktur di kampung ini tertinggal dari kampung lainnya. Jalan-jalan berlubang. Irigasi persawahan mangkrak serta proyek-proyek lain banyak yang terbengkalai. Ternyata gara-gara lubang.

Warga kampung yang berdemo itu lantas keluar ruang kerja kepala kampung. Mereka mengambil pasir dan pedel. Mereka bahu-membahu membereskan persoalan yang melilit kehidupan warga kampung. Mereka menutup semua lubang dan lorong-lorong yang ada di dalamnya. Para warga tidak mau hidupnya menderita gegara lubang itu.

Setelah melampiaskan kekesalannya dengan menutup lubang dan lorong-lorong tersebut, para pendemo kembali ke rumah masing-masing. Mereka yakin hidup mereka akan sejahtera seperti yang mereka dambakan selama ini. Mereka akan hidup damai dan rukun bersama keluarga dan warga lainnya. (*)

Wanar, 18 Juli 2025

Ahmad Zaini merupakan sastrawan asal Lamongan. Beberapa karyanya baik puisi dan cerpen telah beredar di berbagai media cetak dan online.


Selasa, 15 Juli 2025

Ayah dan Keteladanannya, NU Online , Ahad, 13 Juli 2025

 

https://www.nu.or.id/cerpen/ayah-dan-keteladanannya-fVVIG

Ayah dan Keteladanannya

Cerpen karya Ahmad Zaini

 

Tubuh kurus ayah terkulai di ranjang medis. Beberapa selang infus berjuntai untuk menyuplai obat dan nutrisi ke dalam tubuh. Pada jam-jam tertentu, datang perawat. Dia bertanya tentang perkembangan kesehatan ayah. Perawat itu pun memberikan suntikan obat. Mulut kering ayah menyeringai menahan sakit. Air mata cekung menerawang kosong ke langit-langit ruang peerawatan. Ayah cemas. Hal itu terlihat tatapan kosong dari kornea mata yang tak putih sempurna.

“Mbah, lekas sembuh, ya!” kata perawat sambil mengemasi peralatan medis ke dalam sebuah kotak yang diletakkan di samping tubuh ayah.

“Terima kasih,” sahut ayah dengan suara lirih.

Aku tertegun berdiri menatap tubuh kurus ayah yang terkulai di ranjang. Bahu yang dulu kekar, kini tinggal tulang yang terbalut kulit. Tangan kurus itu tak mampu dibuat menyangga tubuhnya sekadar ingin berbaring. Aku sigap menyangga tubuh ayah lalu membaringkannya pelan-pelan.

Ini merupakan hari kelima ayah dirawat di rumah sakit. Ayah terdeteksi mengidap paru-paru. Sebelum aku bawa ke rumah sakit, ayah sudah beberapa minggu merasakan sesak napas dan batuk yang tiada henti. Menurut cerita adik-adikku yang tinggal serumah dengan ayah, selama itu pula ayah tidak pernah tidur. Raut wajah ayah memucat. Matanya memerah. Tulang-tulang pipinya semakin menonjol.

Sebagai anak sulung, aku tak tega melihat kondisi ayah sedemikian itu. Aku membujuk agar ayah mau berobat ke rumah sakit. Namun, ayah selalu menolak.

“Kenapa?” tanyaku. Ayah diam. Dia tidak menjawab pertanyaanku.  Ia Kembali berbaring di dipan berkasur kusam.

Berbagai cara telah kutempuh untuk membujuknya. Tapi ayah bersikukuh menolaknya. Alasan biaya? Kurasa tidak. Aku sejak awal berniat akan membiayai pengobatan ayah. Aku bertanya lagi kepada ayah. Dia tetap menggeleng-gelengkan kepala. Aku bertanya, bertanya, dan bertanya lagi. Lambat laun tembok kokoh yang merahasikan alasan ayah tidak bersedia berobat ke rumah sakit akhirnya runtuh juga.

“Aku tidak mau merepotkan kalian,” jawabnya.

Seperti itulah ayah sejak dulu. Dia tidak mau merepotkan anak-anaknya. Padahal, sedikit pun aku merasa tidak terbebani. Dia juga tidak mau merepotkan tetangga yang apabila mendengar tetangga lain sakit langsung berbondong-bondong menjenguknya.

Tradisi anjangsana, berlisaturrahmai di desa seperti menjenguk orang sakit sudah mandarah daging. Ayah termasuk orang yang mejaga dan turut melestarikan tradisi itu. Semua kelurga baik yang tinggal satu desa maupun lain desa pernah dikunjunginya. Aku masih ingat betul ketika diajak ayah bersilaturrahmi ke rumah pakde. Rumah pakde berjarak sekitar tiga kilometer dari tempat tinggalnya. Jarak tidak menjadi pengalang ayah bersilaturrahmi. Ayah berjalan kaki sambil menggendongku di punggung.

“Ayah, capek,” kataku kala itu.

“Sini naik ke punggug,” pintanya.

Aku segera melompat ke punggung ayah dan merasakan betapa kuat niat dan tenaga ayah untuk bersilaturrahmi. Dia mampu berjalan sambil menggendongku di belakang menyusuri jalan becek dan berlumpur.

“Aku tidak pernah merasa ayah merepotkanku. Aku siap dan ikhlas menjaga ayah di rumah sakit sampai sembuh,” kataku.

Ayah bergeming. Dia sedikit pun tak menunjukkan kesediaan berobat ke rumah sakit. Dia memilih dirawat di rumah dengan obat-obatan yang dibeli di warung kelontong. Padahal, obat tanpa resep dokter itu juga berbahaya. Bisa salah obat dan menyebabkan sakit semakin parah.

“Aku tidak enak sama tetangga,” jawabnya dengan jujur.

Nah, rupanya ini yang menjadi penyebab kenapa ayah tidak mau berobat ke rumah sakit. Dia malu menjadi beban tetangga yang menjenguknya ke rumah sakit.

“Ayah sering menjenguk famili atau tetangga yang sakit, kan? Ayah selalu datang dengan membawa oleh-oleh. Bahkan, kalau tidak ada barang bawaan saat menjenguk, ayah ke pasar dulu membeli pisang atau pepaya. Apakah waktu itu ayah terbebani?”

“Tidak. Aku tidak terbebani sama sekali karena itu kewajiban kita sebagai manusia, sebagai tetangga.”

Nah, para tetangga juga demikian. Mereka ingin berbuat baik kepada ayah. Kalau ayah menolak karena merasa membebani mereka, berarti ayah menghalang-halangi orang berbuat baik. Yang perlu ayah pikirkan saat ini adalah kesembuhan dan kesehatan ayah. Tentang tetangga kita pikir belakangan. Bagaimana? Kita berangkat untuk berobat ke rumah sakit?”

“Kalau begitu, terserah kalian. Aku pasrah,” kata ayah yang membuat aku dan adik-adik tersenyum lega.

***

Penjaga rumah sakit menghampiri kami yang baru turun dari mobil sambil mendorong kursi roda. Tubuh ayah yang kurus kupapah bersama adik lalu kududukkan pelan-pelan di kursi roda. Kami berjalan menyusuri Lorong rumah sakit menuju tempat pendaftaran pasien. Setelah semua data pasien kuberikan kepada petugas, kami diarahkan ke ruang pemeriksaan.

Tubuh ayah yang ringkih kubopong seorang diri lalu kurebahkan di ranjang pemeriksaan. Seorang dokter memeriksa kondisi ayah dengan teliti. Tubuh kurus telentang di ranjang itu terguncang-guncang karena batuk. Dokter mengangkat stetoskopnya dari dada ayah agar bisa batuk tanpa penghalang. Dokter mengulangi pengecekan kesehatan ayah dengan lebih teliti.

“Perwakilan keluarga silakan ikut ke ruang saya,” kata dokter.

“Baik, Dok,” sahutku sambil berjalan mengikuti dokter.

Raut dokter tampak cemas. Dia seperti terbebani mengeluarkan kata-kata kepadaku. Dalam benakku, ini pasti ada hubungannya dengan penyakit yang diderita ayah.

“Bapak ini punya hubungan apa dengan pasien?”

“Anak kandung, Dok,” jawabku tegas.

“Dari hasil pemeriksaan, ayah Bapak mengidap TBC yang menyerang di paru-paru. Pasien harus menjalani rawat inap beberapa hari ke depan,” kata dokter.

“Baik, Dok. Kami sekeluarga siap mengikuti arahan dokter demi kesembuhan ayah.”

Aku segera keluar dari ruangan untuk menyampaikan pesan dokter kepada adik-adikku yang menunggu ayah di ruang observasi. Adik-adikku bisa menerima arahan dokter yang baru kusampaikan. Mereka menyadari bahwa arahan dokter itu pasti yang terbaik buat kesembuahan ayah.

“Ruang rawat inap sudah siap. Mari kami bantu memindah pasien ruangan,” kata dua perawat yang muncul dari balik kelambu ruang observasi.

Aku melihat tubuh ayah yang tergolek lemas di atas brangkar yang didorong dua perawat. Wajahnya pucat dan sayu. Sedangkan di tangan kirinya bergelantung selang infus untuk menyuplai cairan melalui pembuluh darah.

Ayah terdiam. Dia lemas hingga enggan berkata-kata. Dia pasrah kepada anak-anaknya yang terpaksa membawanya ke rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan yang maksimal. Guncangan brangkar melewati Lorong-lorong ruang rumah sakit tak dihiraukannya. Tak ada suara mengaduh atau mengeluh saat roda brangkar melindas kerikil atau lantai yang tidak rata. Air mata ayah tiba-tiba menetes. Aku mendekat dan membisikinya.

“Ayah, jangan menangis. Banyak berdoa memohon kesembuhan pada Allah. Anak-anakmu Ikhlas menjagamu selama dalam perawatan di rumah sakit ini,” bisikku.

Ayahku orang kuat. Kuat dalam pendirian, perjuangan dan pengabdian. Kuat menata pendidikan anak-anaknya. Aku teringat saat akan berhenti sekolah setelah lulus SMP. Aku menyadari ketika itu ekonomi keluarga benar-benar sulit. Aku pamit kepadanya meminta izin bekerja untuk membantu ekonomi keluarga. Namun, orang tuaku kukuh pendirian. Dia tetap memaksaku untuk melanjutkan sekolah ke jenjang SMA. Ayah siap peras keringat banting tulang demi membiayai sekolahku.

Para tetangga dan anggota masyarakat juga mengakui bahwa ayah merupakan tokoh penting. Kiprah beliau tidak diragukan lagi. Meskipun hanya lulusan sekolah rakyat, beliau punya jiwa pengabdian tinggi di masyarakat.

“Sebaik-baik manusia adalah manusia yang berguna buat manusia lainnya,” tutur ayah.

Kini ayah masih tergolek lemas. Guratan di keningnya menjadi bukti bahwa beliau sering berpikir dan berbuat untuk kemaslahan umum. Otot-otot yang mulai timbul di lengannya menandakan ayah juga pekerja keras untuk menghidupi keluarga. Selain itu, ayah juga terkenal sebagai dermawan. Punya jiwa sosial yang tinggi.

“Ayah, semoga lekas sembuh. Masyarakat masih sangat mengharapkan tenaga dan pikiranmu. Ayah, anak-anakmu merindukan senyum dan nasihat-nasihatmu. Cepat sehat, ayah,” bisikku di telinga ayah.

Ayah tersenyum. Perlahan dia membuka kedua matanya. Bola matanya berputar mengamati sekeliling. Dia menatap wajahku dan wajah adik-adikku. Ayah mengangkat kepala kemudian duduk. Kedua tangannya tiba-tiba merangkul kami sembari membisikkan ucapan terima kasih. Ayah juga berpesan agar kami selalu rukun dengan saudara dan siapa pun. Satu lagi yang diapesankan agar kami selalu menjadi manusia yang bermanfaat  bagi manusia lainnya.

Lamongan, 19 Maret 2025

 

Ahmad Zaini, ketua Lesbumi PCNU Babat dan guru SMKN 1 Lamongan.


Minggu, 08 Juni 2025

Sopir Angkot, Cerpen Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, Minggu, 5 Juli 2020

Sopir Angkot
Cerpen karya Ahmad Zaini

“Menjangan, Menjangan, Menjangan!” seru Katam mencari penumpang ke arah Karangmenjangan. Namun, sampai jarum arlojinya hampir menyentuh angka sepuluh, baru ada satu penumpang yang tertambat dalam armada angkutan kotanya.
”Bagaimana, Cak? Jadi berangkat nggak?” tanya satu-satunya penumpang yang sudah hampir setengah jam duduk di bangku belakang.
”Sabar, Bu! Ini masih saya carikan penumpang lain.”
”Tapi, jam sebelas saya harus sudah sampai di tempat kos anakku.”
”Sebentar, Bu. Jika sudah ada dua penumpang lagi, kita berangkat.”
”Lalu sampai kapan kamu dapat dua penumpang itu?” desak perempuan yang memangku koper berisi barang yang akan dikirimkan ke anaknya.
Katam terdiam. Dia tidak bisa memberi jawaban pasti atas pertanyaan terakhir ini. Katam hanya bisa menelan kelu lantaran beberapa hari ini selama pandemi korona penumpang sangat sepi. Dalam sehari terkadang Katam hanya membawa dua atau tiga penumpang dari terminal Joyoboyo ke Karangmenjangan. Tapi apa boleh buat. Daripada berdiam diri di rumah dan tak mendapatkan penghasilan apa-apa, lebih baik tetap mengangkut penumpang meskipun tidak seimbang dengan pendapatan.
Hampir sepuluh tahun Katam menjadi sopir angkutan kota. Dia sudah merasakan pahit getirnya kehidupan di embongan. Pasang surut penghasilan merupakan hal yang biasa. Akan tetapi kali ini, dia benar-benar merasakan keterpurukan yang tidak pernah terbesit dalam batok kepalanya.
Sebelum diberlakukan PSBB di Surabaya karena pandemi korona, dalam sehari dia bisa mendapatkan penghasilan dua ratus sampai tiga ratus ribu. Apalagi saat menjelang lebaran. Dia bisa mendapatkan keuntungan dari sisa setoran ke juragan 500 ribu dalam sehari.
Dari penghasilan itu, Katam bisa memenuhi semua kebutuhan pokok rumah tangganya. Bahkan, dia bisa membeli barang-barang berharga lainnya seperti gelang dan anting-anting istrinya. Dia juga bisa mengajak anak dan istrinya rekreasi ke objek wisata terkenal di Malang. Selain itu, dia pernah mencicipi hobi shooping di pusat perbelanjaan di Surabaya.
Penghasilan Katam sekarang jauh menurun. Bisa dikatakan terjun bebas. Sehari dapat lima puluh ribu saja sudah untung-untungan. Terkadang buat setoran saja masih kurang. Lebih ironisnya lagi dia beberapa kali dia tidak bisa memberi uang belanja kepada istrinya dari hasil sopir angkot. Dia terpaksa menjual hape andorid yang pernah dia bangga-banggakan dulu demi memenuhi kebutuhan belanja keluarga.
”Maaf, Dik! Saya terpaksa menjual hape untuk memenuhi kebutuhan keluarga,” ujarnya pada sang istri.
”Kok, dijual? Lalu dengan apa kamu melayani carteran jika ada yang membutuhkan jasamu?”
”Tidak ada carteran. Semua tempat wisata ditutup. Langganan carteranku tidak ada yang membuat kegiatan di objek wisata seperti tahun-tahun sebelumnya. Dapat dipastikan tahun ini tidak ada carteran,” pungkas Katam supaya istrinya tidak terlalu berharap pada langganan carterannya. Istri katam terdiam. Dia tidak bisa menghindari nasib yang dialaminya sekarang ini.
***
”Menjangan, Menjangan, Menjangan!” teriak Katam mencari dua penumpang tambahan agar bisa segera berangkat ke Karangmenjangan.
”Cak, sudah jam setengah sebelas. Bagaimana ini?” tuntut penumpangnya yang sejak tadi sudah menunggu dalam mobil angkutan kotanya.
”Iya, Bu. Sabar! Sebentar lagi kita berangkat.”
”Sejak tadi selalu menjawab sebentar lagi, sebentar lagi! Ini anak saya sudah menunggu,” sergah ibu penumpangnya.
”Lima menit lagi, Bu,” tegas Katam. Dia berani memastikan lima menit lagi karena biasanya dua karyawan di toko kawasan Joyoboyo itu waktunya pulang. Mereka merupakan langganan Katam.
”Oke. Lima menit lagi. Kalau sampai lebih dari  lima menit, saya akan menggunakan jasa angkutan lainnya,” ancamnya.
Katam menggaruk-garuk rambut yang tertutup topi. Dia merasa gelisah dengan kondisi penumpang yang sangat sepi gegara pandemi korona. Dia tidak menyangka sama sekali bila dampak korona sangat berpengaruh pada usahanya.
Di belakang armada angkutan kota Katam, terlihat beberapa armada lain yang mengantre. Mereka menunggu giliran menaikkan penumpang. Selama armada angkutan kota di depannya belum penuh, mereka tidak boleh merebut penumpang yang menjadi jatah angkot di depannya itu. Apabila ada yang melakukan itu, maka sopir tersebut harus bersiap-siap menerima sanksi dari organisasi  atau paguyuban sopir angkot.
”Cak, sudah lima menit,” teriak penumpang yang sejak tadi sudah bersabar menunggu angkot diberangkatkan.
”Iya, Bu. Saya jemput penumpang dulu di toko sebelah,” sahut Katam.
Katam berlari-lari kecil. Dia berjalan gesit menerobos celah angkot yang berjajar rapi di semua sisi angkotnya untuk menjemput penumpang langganannya.
”Mas, di mana Mbak Laila dan Mbak Nuraini penumpang langgananku? Biasanya jam segini dia waktunya pulang.”
”Mulai hari ini mereka tidak kerja, Cak. Juragan terpaksa memberhentikannya karena konsumen di toko ini sangat sepi,” jawab lelaki pelayan toko.
”O, gitu. Terima kasih, Mas!” sambungnya.
Katam kembali ke angkot dengan lesu. Satu-satunya harapan untuk mendapatkan dua penumpang telah lenyap. Dia pasrah pada nasib karena hari ini tidak bisa membawa penumpang ke Karangmenjangan sesuai harapannya.
”Maaf, Bu! Kedua penumpang langganan saya telah dipecat dari pekerjaannya. Jadi, mereka tidak bekerja lagi di toko itu.”
”Oalah, andai sejak tadi saya tahu begini, lebih baik saya naik angkutan lainnya. Lantas sekarang bagaimana?”
”Sebagai bentuk tanggung jawab saya sebagai sopir angkutan kota, ibu tetap saya antarkan ke tempat tujuan meskipun hanya sendirian,” jawab Katam dengan tegas.
Katam berangkat menuju Karangmenjangan. Dia hanya membawa seorang penumpang melintas di jalanan kota Surabaya yang sangat lengang. Maklumlah di kota pahlawan saat ini masih diberlakukan PSBB jilid ketiga sehingga suasana di jalan raya seperti jalanan mati. Di trotoar yang biasanya ramai pejalan kaki, saat ini hanya terlihat halte-halte bus yang tak berpenghuni.  Halaman gedung-gedung pencakar langit yang biasanya dipenuhi mobil-mobil mewah para karyawannya, saat ini juga tampak seperti tanah lapang. Semuanya pegawainya bekerja dari rumah.
”Depan, Cak!” kata penumpangnya.
”Iya, Bu,” jawab Katam singkat.
Katam menurunkan penumpang di depan gang yang akan membawanya ke rumah kos anaknya. Dia menerima ongkos dari perempuan itu lalu melanjutkan perjalanan menuju tempat mangkal terakhirnya di kawasan Karangmenjangan.
Di tempat mangkalnya, Katam melihat beberapa armada angkotan kota yang mengular. Mereka masih mengantre mendapatkan giliran mengangkut penumpang. Itu pun apabila ada calon penumpang yang diangkut. Jika tidak ada penumpang, mereka terpaksa harus berlama-lama di tempat itu untuk menunggu penumpang.
Katam mendapat nomor antrean paling belakang. Di depannya masih ada puluhan armada yang berderet menunggu giliran berangkat untuk mengangkut penumpang. Karena masih lama menunggu antrean, Katam menyempatkan makan di warung langganan.
”Makan, Mbok. Pakai menu biasanya,” pesan katam pada pemilik warung.
”Iya. Tumben baru datang?” tanya pelayan warung.
”Nunggu penumpang, Mbok. Sepi sekali sehingga baru sampai di sini,” jawab Katam.
”Situasi seperti ini semua usaha mengalami penurunan. Termasuk warungku. Malah hutang para sopir angkot di sini semakin menumpuk saja,” timpal Mbok Ijah, pemilik sekaligus pelayan warung.
”Aku masih punya hutang berapa, Mbok?” Katam berbasa-basi.
”Kalau ditambah makan hari ini, hutangmu seratus ribu rupiah,” jawabnya.
”Dicatat dulu, Mbok. Besok kalau situasi pekerjaan sudah normal, pasti kubayar.”
”Iya, iya!” sahut perempuan itu sambil menyodorkan nasi dengan sayur ikan lodeh dicampur ikan pe kepada Katam.
Katam makan dengan lahap. Sejenak dia melupakan kesumpekan hati gara-gara pekerjaannya yang sepi demi menikmati menu kesukaannya. Dalam hatinya berkata bahwa kesehatan adalah segala-galanya. Penghasilan dapat dicari di hari-hari berikutnya.
Raja siang di ufuk barat sudah memerah. Sebentar lagi planet penerang bumi ini akan bersembunyi demi menenangkan diri. Sepanjang siang matahari hanya melihat dan mendengara keluh kesah penghuni bumi karena usahanya surut. Katam segera meninggalkan pangkalan Karangmenjangan. Dia menjejak pedal gasnya agar segera sampai rumahnya di kawaswan Wonokromo.
Sesampai di rumah, Katam disambut istrinya dengan senyum. Katam menyerahkan kunci mobil kepada istrinya. Wanita yang dinikahinya sejak lima belas tahun lalu itu  meletakkan kunci tersebut di pucuk paku yang tertancap di belakang pintu kamar. Katam menghempaskan tubuhnya di atas shofa kumal ruang tamunya. Dia mendesah lantaran tidak membawa hasil kerja hari ini. Istrinya berusaha menghibur agar suaminya tidak larut dalam ketidakmujuran pekerjaan hari ini. Besok, lusa, tulat, tubin, atau kapan saja pasti ada rezeki yang menghampirinya. Yang penting tetap bekerja. (*)

Wanar, Juli 2020

Ahmad Zaini merupakan guru di SMKN 1 Lamongan. Beberapa cerpen, puisi dan esainya pernah di muat di surat kabar. Dia juga telah menerbitkan beberpa buku kumpulan cerpen dan puisi. Buku kumpulan puisi terbarunya berjudul Hanya Waktu Jelang Kematian (Maret, 2020). Saat ini dia tinggal di Wanar, Pucuk, Lamongan.






























Sajadah Ibu Dibawa Terbang Malaikat, cerpen di Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, Sabtu, 7 Juni 2025

 

Sajadah Ibu Dibawa Terbang Malaikat

Cerpen karya Ahmad Zaini

Kata ibu saat mengandungku, dia bermimpi sajadahnya dibawa terbang malaikat. Anehnya, ibu diam tidak meminta tolong siapa pun. Ibu ikhlas dan merasa bahagia kehilangan sajadah kesukaannya. Ibu bertafakkur. Beliau mengingat kata-kata kakek yang mengatakan suatu saat anak-anaknya ada yang berangkat haji. Benarkah janin yang kukandung ini akan berangkat haji kelak dewasa nanti, pikir ibu. Sajadah yang dibawa terbang malaikat dalam mimpi itu menjadi isyarat janin yang dikandungnya akan berangkat haji.

Janin lahir pada ngat legi atau Ahad legi tepatnya di sepertiga malam. Saat orang-orang qiyamullail. Waktu mustajabah buat bermunajat kepada Allah. Tepatnya, ketika ayah sedang melaksanakan salat hajat. Ibu merasakan janin akan lahir. Ibu memanggil ayah untuk menyampaikan tanda-tanda kelahiran. Ayah segera turun dari dipan, tempatnya salat. Ayah lantas ke rumah dukun bayi yang tak jauh dari tempat tinggal untuk meminta bantuan persalinan ibu.

Mak Sikar, si dukun bayi bergegas ke rumah. Dia menangani persalinan ibu. Tak berselang lama, bayi laki-laki lahir di sepertiga malam dengan aura wajah yang putih bersih.

”Anakmu laki-laki. Wajahnya seperti Kaji,” kata Mak Sikar kepada ibu. Kaji yang dimakud adalah saudara kakek yang semasa hidupnya berangkat haji puluhan kali.

Ayah dan ibu tersenyum atas kelahiraku. Beliau berdua bersyukur karena aku dilahirkan dengan selamat. Ibu berharap wajah serupa Kaji yang disampaikan Mak Sikar benar-benar menitis kepadaku. Bayi yang kelak dapat meniru saudara kakek yang bisa berangkat haji berkali-kali. Begitu kisah ibu yang disampaikan kepadaku.

***

Kini aku tumbuh dewasa. Aku menjadi laki-laki bertubuh tinggi besar dan tampan. Aku juga telah menikah dan dikaruniai tiga anak. Impian sang ibu mulai mendekati kenyataan. Aku yang dimimpikan sebagai sajadah yang dibawa terbang malaikat menjadi orang kaya. Hartaku berlebih-lebih. Menurut Islam, orang sepertiku telah memenuhi syarat berangkat haji. Aku mampu dalam perjalanan karena situasi aman dan fisikku kuat. Istriku juga demikian. Sehat jasmani dan rohani. Hartaku juga cukup untuk menghidupi ketiga anak yang akan kutinggal di rumah.

Ibu menyarankan kepadaku agar segera mendaftar haji. Namun, aku tidak segera menindaklanjuti. Ada keraguan yang tiba-tiba datang menggangu keyakinanku.

”Jangan turuti keraguanmu. Itu syetan yang menggoda agar kamu tidak berangkat haji,” kata ibu.

Aku sempat bingung karena ada lagi yang menyebabkan ketidaktegasanku. Ketiga anakku nanti di rumah dengan siapa.

”Jangan khawatir, aku siap menjaganya,” sanggup ibu.

”Lantas siapa yang menjalankan usaha toko di pasar, Bu?”

”Ayahmu siap menjaga tokomu selama kamu di tanah suci,” pungkas ibu.

Keraguan pelan-pelan terkikis. Aku mulai bangkit. Aku ingat pesan kiai bahwa selama berhaji, harta dan anak-anak yang ditinggal di rumah akan dijaga oleh Allah. Hartanya tidak akan habis atau hilang. Hartanya akan bertambah banyak dan barokah.

”Kalau begitu, besok pagi aku dan istri akan mendaftar haji,” kataku yang disambut anggukan serta senyum ibu.

Tiada kebahagiaan seorang ibu kecuali memunyai anak yang patuh kepadanya. Dia bangga karena aku menuruti saran dan nasihatnya. Meskipun beliau sendiri belum sempat berangkat haji, ibu tetap bangga dan bersyukur karena anaknya bisa berangkat haji.

”Mohon doa dan restu ibu,” pintaku pada wanita penyimpan surgaku.

”Ibu merestui dan mendoakan kelancaran niat sucimu, Nak,” jawabnya lirih dengan penuh haru.

***

Penantian panjang setelah mendaftar haji telah tiba. Tiga belas tahun bukanlah waktu pendek. Sewaktu dapat kepastian estimasi pemberangkatan selama itu, rasanya mustahil. Aku bersandar pada takdir Allah. Aku memasrahkan semua pada ketentuan Allah. Jika menurut Allah berangkat haji bagiku adalah yang terbaik, maka Allah akan memudahkan segalanya. Jika tidak, cukup dengan mendaftar saja insyaallah niatku berhaji telah dicatat Allah telah melaksanakan haji.

Siang hari seusai salat Jumat aku dan istri melakukan ritual pemberangkatan haji. Sanak kerabat dan para tetangga berkumpul di rumah. Mula-mula ayah-ibu kandung dan mertua duduk di sebelah kanan serta kiri pintu rumah. Kami bergantian sungkem kepada kedua sosok yang paling berarti dalam hidup ini. Kami berlutut di hadapan keduanya, mencium kedua telapak kakinya serta memohon maaf atas segala dosa dan khilaf. Kedua orang tua memberi doa restu keberangkatan, kesehatan, keselamatan, kekhusukan ibadah, serta kelancaran perjalanan pergi-pulang hingga dapat berkumpul dengan keluarga lagi di tanah air. Yang paling dasyat adalah doa ibu agar hajiku mabrur.

Kami berdiri lalu bergeser ke pintu. Kami menulis ayat Alquran di pintu. Ayat tersebut sebagai ikhtiar doa agar senantiasa diberi keselamatan dalam perjalanan dan bisa kembali ke rumah dengan selamat.

Iringan salawat dan talbiyah menggema dari masyarakat yang hadir. Ditambah lagi alunan merdu azan menyentuh hati. Tiba-tiba air mata kami mengalir deras dan menetes di setiap langkah menuju mobil. Di setiap tetesnya, ada kilau bayangan membuka mata hatiku. Aku merasa sebagai manusia biasa, lemah dan tak berdaya-upaya. Yang menggerakkan hidup dan Yang menentukan takdir bisa berangkat haji adalah Allah.

”Kami memenuhi panggilan-Mu, ya, Allah,” ucap kami ketika mobil membawaku ke asrama haji bersamaan dengan lambai tangan perpisahan dan doa dari orang-orang yang hadir.

Wajah mereka yang hadir di rumah terbawa dalam genang air mataku. Wajah ceria dan harap keselamatan pada kami terukir jelas. Kelopak mata mereka berkilau laksana kaca. Mereka terharu saat aku dan istri benar-benar berangkat ke tanah suci menunaikan ibadah haji. Kami berjanji akan mengingat wajah mereka yang hadir saat di padang Arafah. Akan kami mohonkan kepada Allah agar yang hadir ini kelak dapat bertamu ke baitullah untuk melaksanakan ibadah haji.

Doa restu tergurat melalui pancaran wajah ayah dan ibu. Ridlonya kepadaku telah mendatangkan ridlo Allah kepadaku. Selama perjalanan hidup, aku selalu bernaung kepada keduanya. Tanpa restu ayah-ibu, aku tak akan bisa hidup seperti ini. Sampai-sampai ibu mengikhlaskan sajadah kesayangannya dibawa terbang malaikat meskipun dalam mimpi.

***

Aku tak akan melupakan ta’bir mimpi ibu sewaktu mengandungku. Mimpi itu ternyata menjadi firasat baik sebagaimana yang disampaikan oleh buyut Kaji. Sajadah kesayangan yang setiap hari menjadi alas sujud ibu telah membawaku terbang ke tanah suci. Ketaatan ayah-ibu menjalankan agama menjadi sebab sajadah sebagai tempat penyerahan hamba pada Tuhan mempunyai kekuatan. Sajadah sederhana bermotif ka’bah melahirkan aura suci yang terbawa mimpi hingga kau berangkat haji.

”Ibu, sajadah ini akan kusimpan sebagai prasasti,” kataku menjelang keberangkatan ke tanah suci.

”Jangan, Nak. Biarlah sajadah ini tergelar di tempatnya. Sajadah itu menjadi pasebanan ibu menghadap Gusti Allah,” tolak ibu.

”Nanti akan kuganti dengan yang baru. Ibu akan saya belikan sajadah yang lebih bagus dari Makkah,” desakku.

”Tidak, Nak. Sajadah ini sangat bernilai meskipun sudah pudar di bagian permukaannya.”

Sebegitunya ibu menilai sajadah ini. Aku memaklumi pendirian ibu yang bersikukuh memertahankan sajadahnya. Sajadah yang dimimpikannya dibawa terbang oleh malaikat. Mimpi yang menjadi firasat turunnya takdir Allah aku bisa berangkat haji.

”Baiklah, Bu,” ucapku ikhlas pada sikap ibu.

Sajadah bermotifkan ka’bah tergelar di pesalatan ibu. Sajadah yang menjadi alas penyerahan jiwa raga ibu pada Allah. Tempatnya bersujud mengagungkan sifat-sifat-Nya. Tempat menyebut dan mengingat-Nya dengan asmaul Husna.

Malam semakin larut. Mata ibuku sayu dan terlihat redup. Beberapa kali ibu menguak. Rasa kantuk tak kuasa iatahan. Pada akhirnya, ibu masuk kamar. Beliau ingin beristirahat dengan pulas. Aku ingin melihat senyum ibu jelang keberangkatanku ke tanah suci. Aku berdoa kepada Allah agar ridlo dan kasih saya kedua orang tua menaungi kami selama melaksanakan ibadah haji. (*)

Lamongan, 1 Juni 2025

Ahmad Zaini, guru di SMKN 1 Lamongan dan ketua Lesbumi PCNU Babat. Beberapa cerpennya telah diterbitkan di beberapa media cetak dan online. Buku kumpulan cerpen terbarunya berjudul Bingkai Jendela Tanpa Kaca (2024).


Senin, 19 Mei 2025

Bakiak Sakti Kiai Badrun, Cerpen Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, Sabtu, 3 Mei 2025

 



Bakiak Sakti Kiai Badrun

Cerpen karya Ahmad Zaini

 

Langgar kecil berdiri damai di tengah kebun. Semua pilar, dinding, dan atapnya terbuat dari bambu. Agar lebih teduh, atapnya dilapisi anyaman ilalang. Masyarakat sekitar semula tidak tahu siapa yang mendirikan langgar tersebut. Mereka juga tidak tahu kalau bangunan itu adalah langgar sebagai tempat salat. Mereka mengira itu gubuk, tempat Kiai Badrun istirahat saat menjaga tanamannya dari serangan binatang liar.

Kebun Kiai Badrun ini jauh dari kampung. Orang lain jarang menginjakkan kaki di tempat itu. Jika berjalan kaki, Kiai Badrun membutuhkan waktu satu jam untuk bisa sampai di kebun. Dia harus melewati pematang sawah yang tidak rata, jalan setapak yang dipenuhi semak belukar, serta tanah berbukit. Kalau tidak ada hal penting, percuma orang-orang datang ke tempat itu.

Kebun itu satu-satunya peninggalan orang tua Kiai Badrun. Setiap hari dia berkebun dengan menanam jagung, singkong, talas, dan jenis ubi-ubian lainnya. Kiai Badrun menjadikan hasil tanaman itu sebagai makanan pokok sehari-hari. Dia tidak bisa menanam padi karena berada di dataran tinggi.

Setiap sore Kiai Badrun baru pulang dari kebun. Dia memikul batang singkong yang dibagian pangkal bergelantungan buahnya yang besar-besar dan panjang. Sesampai di rumah Kiai Badrun memisahkan singkong dari batang. Dia momotong-motong kemudian mengupas kulitnya dengan telaten. Setelah kulitnya dikupas dan dibersihkan, Kiai Badrun merebus singkong itu selama satu jam. Setelah matang, dia memakannya dengan lalapan daun singkong.

Seumur hidup, Kiai Badrun belum pernah menikah. Bukannya dia tidak laku. Beberapa kali warga di kampung itu menemui Kiai Badrun. Mereka bermaksud menjadikannya sebagai menantu. Entah apa alasanya, Kiai Badrun selalu menolak tawaran itu. Kiai Badrun lebih memilih hidup sendiri daripada beristri.

Semenjak dia memutuskan pulang dari pesantren Kiai Salam, Kiai Badrun langsung ditokohkan oleh masyarakat kampung. Dia sosok mumpuni yang mampu menguasai berbagai bidang ilmu agama. Dia ahli ibadah dan fasih membaca Alquran. Dia juga mampu mengatasi berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat seperti mengobati orang sakit, kesurupan, dan problem kehidupan lainnya. Dia juga memiliki keistimewaan yang menjadi buah bibir di masyarakat. Misalnya, Kiai Badrun bisa berada di tempat berbeda dalam waktu yang hampir bersamaan.

 Ah, mana mungkin zaman gini masih ada orang sakti. Itu dulu seperti di film-film,” ujar Komsin yang tidak percaya dengan keistimewaan yang dimiliki oleh Kiai Badrun.

Keraguan Komsin terbantah saat dia ditunjukkan foto oleh salah satu warga yang baru pulang dari umroh. Dia memperlihatkan fotonya bersama Kiai Badrun di tanah suci. Orang tersebut sampai-sampai berani bersumpah bahwa dia bertemu dengan Kiai Badrun dan sempat saling menyapa dan mengobrol di sana.

Tidak masuk akal tapi itu nyata. Kiai Badrun setiap hari di kebun menanam dan memanen singkong. Dia tidak pernah ke tanah suci. Warga kampung juga mengetahui bahwa Kiai Badrun setiap hari berada di rumah. Kalau tidak di rumah kampung, pasti berada di gubuk kebunnya.

Komsin tidak percaya begitu saja. Diam-diam dia mendatangi Kiai Badrun di gubuk. Dia mengorek keterangan tentang kebenaran kabar yang sedang santer dibicarakan oleh masyarakat.

”Benarkah kabar itu, Yai?” selidik Komsin.

Kiai Badrun menggeleng-gelengkan kepala. Dia tidak pernah mengalami seperti yang menjadi buah bibir masyarakat.

Manusia yang diberi keistimewaan oleh Allah, memang tidak tahu dan tidak sadar dengan kelebihan yang dimilikinya. Nabi Ibrahim tidak menyangka tubuhnya tidak mempan oleh api. Nabi musa juga demikian. Dia tidak mengira bahwa tongkat yang dimilikinya bisa membelah lautan. Masih banyak contoh manusia pilihan Allah yang tidak sadar dengan keistimewaan yang dimilikinya. Kiai Badrun juga demikian. Sampai kapan pun Kiai Badrun tidak akan mengiyakan bila ada orang yang bertanya tentang kabar itu.

Kiai Badrun tidak memedulikan pembicaraan orang-orang. Dia tetap pada pendiriannya sebagai hamba Allah yang mendapat tugas sebagai kholifah di muka bumi serta beribadah kepada-Nya. Kiai Badrun ingin menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain dengan menolong orang yang membutuhkan tenaga dan pikirannya. Dia tidak berkoar-koar untuk menyombongkan keistimewaan yang ada pada dirinya seperti yang dibahas orang-orang. Kalau ada orang datang meminta doa untuk berbagai keperluan, dia doakan. Masalah diterima Allah atau tidak itu bukan haknya. Yang penting dia telah mendoakannya.

Suatu ketika menjelang salat Idul Fitri pengeras suara di masjid mati. Para pengurus masjid panik. Mereka mencari penyebab pengeras yang mati secara tiba-tiba. Mereka mengecek satu persatu komponen yang biasanya menjadi biang kerok pengeras suara tidak berfungsi. Namun, usaha mereka sia-sia. Tak satu pun dari mereka yang dapat menemukan komponen yang rusak.

Warga mulai berbondong-bondong ke masjid. Mereka meluber sampai membentuk shof di luar bangunan masjid. Bahkan, ada yang kebagian barisan di jalan kampung.

”Mereka tidak akan mendengarkan suara imam dan khotib apabila pengeras suara belum berfungsi,” kata ketua takmir.

”Lantas bagaimana?” tanya salah satu jamaah yang biasanya membenahi pengeras suara bila ada kerusakan.

”Kamu yang lebih tahu,” ujar ketua takmir.

”Tidak ada kerusakan. Semua komponen baik-baik saja. Tapi, tidak bisa berbunyi,” kata orang tersebut.

”Pinjam ke penyewaan pengeras suara. Begini saja tidak becus,” kata ketua.

”Bukannya tidak becus. Sejak maghrib sampai ini tadi, pengeras suara tidak ada masalah. Orang-orang menggunakannya untuk takbiran semalam suntuk. Ini kejadian yang spontan yang tidak bisa diantisipasi. Kalau menyewa pengeras suara tidak mungkin karena jamaah sudah kumpul semua,” bantahnya.

”Kalau begitu kita mulai salat Id tanpa pengeras suara.”

”Lantas mereka yang berada di luar bagaimana? Mereka tidak akan mendengar suara imam dan khotib.”

”Biar mereka mengikuti suara dan gerakan imam melalui makmum-makmum di depannya,” kata ketua takmir memberi solusi.

Saat mereka berdebat tentang pengeras suara yang tidak berfungsi, Kiai Badrun tiba-tiba muncul. Dia menyodorkan bakiak kepada ketua takmir.

”Silakan lempar bakiak ini ke atas atap genting masjid.” pinta Kiai Badrun.

”Buat apa?”

”Pokoknya lempar,” tandasnya.

”Kalau gentingnya pecah bagaimana, Kiai?” tanya ketua takmir penasaran.

”Tidak akan pecah. Silakan dilempar ke atas genting.”

”Baik, Kiai.”

Ketua takmir memberikan bakiak Kiai Badrun kepada Ipur-orang yang biasanya memperbaiki pengeras suara masjid- untuk melemparkannya ke atas genting. Lelaki berperawakan gempal itu mundur. Ia mengambil ancang-ancang agar lemparannya bisa maksimal. Setelah dirasa cukup, bakiak Kiai Badrun dilempar ke genting dan berhenti tepat di sebelah pengeras suara yang tidak berungsi.

”Mari kita mulai salat Id karena waktunya telah tiba,” perintah Kiai Badrun sambil melihat ke arah matahari yang muncul.

Kiai Badrun yang didapuk menjadi imam salat Idul Fitri bergegas menuju ke depan. Dia berjalan tanpa terbebani masalah pengeras suara yang mati. Kiai Badrun berdiri menghadap ke makmum untuk mengingatkan ulang tata cara salat Idul Fitri. Hal ini biasa dilakukan imam karena ini salat sunnah tahunan. Kemungkinan jamaah ada yang lupa.

Ratusan jamaah salat Id tertegun. Mereka kaget dan hampir tidak percaya ketika suara Kiai Badrun terdengar lantang, keras, dan jelas. Bahkan menurut jamaah, suara Kiai Badrun lebih jernih daripada suara pengeras suara biasanya. Suara Kiai Badrun juga terdengar sampai ke telinga jamaah yang berada di luar masjid.

Saat salat, lantunan suara takbir dan bacaan fatihah serta ayat Alquran menggema. Suara Kiai Badrun terdengar sampai di sudut-sudut kampung. Para makmum salat Id tertunduk khusuk menikmati alunan ayat Alquran yang menyentuh hati dari imam. Mereka larut ke dalam ayat-ayat Alquran yang dibaca Kiai Badrun dengan suara merdu.

Kenikmatan pelaksanaan salat Id tidak berhenti sampai di situ. Ketika khotib ke mimbar dan membacakan khutbah, pun demikian. Suaranya menggelegar dan enak didengar. Para jamaah salat Id mengikutinya dengan khusuk hingga selesai.

Para jamaah salat Id dan pengurus takmir masjid bingung. Mereka membicarakan pengeras suara yang tiba-tiba bebunyi lebih enak daripada biasanya. Mereka tak menyangka suaranya menjadi sejernih itu.

Orang-orang yang berkerumun di serambi masjid lebih bingung lagi ketika melihat Kiai Badrun pulang dengan mengenakan sepasang bakiaknya. Padahal, bakiak sebelah kanan tadi dilempar Ipur ke atas genting masjid. Kapan dan siapa yang mengambilkan bakiak tersebut? Orang-orang bingung dan tidak menemukan jawabannya.

Orang-orang baru sadar ternyata suara imam dan khotib salat Id yang keras dan jernih tadi bukan berasal dari pengeras suara masjid, melainkan dari bakiak sakti Kiai Badrun. Hal ini dibenarkan oleh Ipur lantaran saat ini juga, pengeras suara masjid kembali bisu.

Sejak itulah warga kampung bisa menyaksikan langsung karomah atau keistimewaan yang diberikan Allah kepada Kiai Badrun. Kiai karismatik yang hidup dalam kesederhanaan dan jauh dari kegemerlapan duniawi. Dia tidak pernah bersentuhan dengan barang-barang syubhat apalagi menikmatinya. Hidup Kiai Badrun hanya digunakan untuk beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala dan bermanfaat bagi manusia lain. (*)

Lamongan, 25 April 2025

 

Ahmad Zaini merupakan guru SMKN 1 Lamongan dan ketua Lesbumi PCNU Babat. Beberapa karya sastranya-cerpen dan puisi-tersebar di berbagai media cetak dan online. Saat ini tinggal di Wanar, Pucuk, Lamongan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Senin, 17 Maret 2025

Pungguk Merengkuh Bulan, cerpen Radar Bojonegoro edisi Sabtu, 15 Maret 2025



Pungguk Merengkuh Bulan
Cerpen karya Ahmad Zaini*

Sebuah desa di bantaran sungai Bengawan Solo menjadi saksi kelahiran bayi laki-laki. Oleh orang tuanya bayi itu diberi nama Munjali. Ia merupakan anak ketiga dari lima bersaudara. Kelima saudaranya laki-laki. Para tetangga mengistilahkannya dengan pandawa lima. Yakni, tokoh pewayangan pandawa lima yang terdiri atas Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa keturunan Pandu dalam kisah Mahabarata.
Mereka tinggal di rumah sederhana. Rumah beratap genting dan berdinding sebagian berbahan papan kayu mahoni serta bambu di bagian lain. Di depannya terdapat tiga pohon mangga dan beberapa tanaman obat tradisional seperti kunir, lengkuas, dan temu putih. Keluarga ini selalu memanfaatkannya sebagai jamu apabila ada anggotanya yang mengalami gangguan kesehatan.
Kedua kakak Munjali sudah berkeluarga dan berumah sendiri. Mereka tinggal satu desa namun berbeda wilayah. Munjali, dua adiknya, tetap tinggal di rumah sederhana itu. Mereka hidup damai dalam nuansa perdesaan yang alami.
Munjali berbeda dengan kedua kakaknya yang berprofesi sebagai tukang kayu. Dia mempunyai cita-cita tinggi ingin menjadi orang sukses. Sukses sebagai orang yang berpendidikan tinggi. Munjali berkeyakinan derajat seseorang itu diukur dengan ilmu. Maka, dia bersikukuh ingin menuntut ilmu setinggi-tingginya.
Kedua orang tua Munjali sebagai petani. Hasil pertaniannya hanya cukup digunakan untuk memenuhi kebutuhan makan keluarga dan sekolah Munjali beserta kedua adiknya. Itu pun kalau tidak ada hama penyakit yang menyerang tanamannya. Jika ada wabah penyakit, bisa jadi tidak menghasilkan apa-apa.
Munjali kecil menimba ilmu di madrasah desa. Setiap pagi dia berangkat sekolah dengan berjalan kaki. Bila musim penghujan, Munjali harus melintasi jalan berlumpur sepanjang lima ratus meter untuk bisa sampai ke madrasah. Di saku kanan celananya terdapat butiran-butiran jagung goreng sebagai camilan saat istirahat sekolah agar dia tidak perlu membeli jajan. Di saku sebelah kiri terdapat lipatan plastik kresek. Dia membawa plastik itu untuk menyelamatkan buku dari hujan jika tiba-tiba turun saat berangkat atau pulang sekolah. Jika haus, Munjali menuju sumur yang berada di belakang gedung madrasah. Dia menimba air sumur kemudian meminumnya. Orang tua tidak pernah memberi uang jajan seperti teman-temannya yang lain karena memang tidak punya uang. Bukan karena orang tuanya pelit.
Setelah menamatkan pendidikan di tingkat dasar, Munjali melanjutkan pendidikan tingkat menengah. Walapun terkendala biaya, dia tidak putus asa dalam ketiadaan. Dia ingin menjadi orang yang punya derajat luhur dengan berilmu.
”Cukup lulus madrasah saja, Mun. Bapak dan ibu tidak sanggup membiayai sekolahmu,” kata ayahnya.
”Mohon restu. Saya akan melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi dengan biaya sendiri,” tegas Munjali.
Kedua orang tua Munjali terdiam. Mereka terharu pada kegigihan Munjali menuntut ilmu. Dia tidak seperti kedua kakaknya yang cukup sekolah di madrasah dan pada akhirnya menjadi tukang kayu. Mungkin karena dahinya luas itu sehingga gambaran masa depannya terbentang luas.
”Kalau begitu, Bapak dan Ibu merestuimu belajar lagi di tingkat lebih tinggi,” pungkas kedua orang tuanya.
Munjali yang bertubuh kekar dan pendek ini semangatnya semakin membara. Atas bekal restu kedua orang tuanya dia lantas mendaftar dan belajar di sekolah menengah pertama yang berjarak sekitar tiga kilometer dari rumah. Namun, bagi Munjali jarak bukanlah sebagai penghalang. Dia tetap semangat dan bertekad mewujudkan impiannya.
Tiga tahun lebih Munjali berjalan kaki melintasi tanggul Bengawan Solo bersama teman-temannya. Mereka tidak peduli jalan becek dan berlumpur. Mereka tidak takut naik perahu lalu menyeberang sungai terpanjang di Jawa ini untuk bisa belajar di sekolah. Mereka pun tidak memedulikan banjir yang sewaktu-waktu datang akibat luapan sungai Bengawan Solo menerjang desanya. Mereka tetap berangkat sekolah meskipun perjalanannya membutuhkan waktu yang lebih lama daripada sebelumnya.
Saat hari libur, Munjali ikut orang tuanya mencari rencek atau kayu bakar di tegalan atau hutan kecil sebelah desanya. Rencek-rencek itu dikumpulkan terpisah dari rencek orang tuanya. Setelah terkumpul banyak, dia munjualnya ke pengepul. Uang hasil penjualan rencek digunakan untuk membeli buku dan membayar SPP.
Tiga tahun telah berlalu. Munjali mampu menamatkan sekolahnya dengan biaya sendiri. Dia mulai terbiasa belajar dengan biaya sendiri tanpa membebani orang tuanya. Dia tidak mengharap-harapkan uang dari orang tua. Biarlah hasil bekerja orang tuanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan kedua adiknya.
Munjali tidak mau berhenti hanya lulus SMP. Dia melanjutkan ke jenjang SMA di lembaga yang sama. Seperti arus sungai Bengawan Solo yang selalu mengalir tidak mengenal musim. Air itu terus meluncur hingga muara. Demikian juga dengan Munjali. Dia tetap belajar dan belajar hingga cita-citanya sebagai orang berilmu tinggi tercapai. Tak peduli jalan becek. Tak peduli banjir. Tak peduli ketiadaan biaya dari orang tuanya. Munjali tetap berlari jauh mengejar mimpi. Pada akhirnya, Munjali bisa menamatkan belajar tingkat SMA dengan predikat sebagai lulusan terbaik.
Munjali dielu-elukan dan dibangga-banggakan oleh para teman dan gurunya. Munjali benar-benar menjadi ikon sekolahnya. Anak dari desa di bantaran sungai Bengawan Solo, dari keluarga tidak mampu, ternyata mampu menamatkan sekolah sebagai siswa berprestasi dengan biaya sendiri.
”Munjali, kamu jangan berhenti sampai di sini. Teruslah belajar ke jenjang berikutnya, perguruan tinggi. Ingat pepatah burung terbang dengan sayap, manusia terbang dengan cita-cita,” pesan kepala sekolahnya.
”Mohon bimbingan dan restu, Bapak,” sahut Munjali dengan bersemangat tinggi.
”Ini ada informasi lowongan beasiswa ke UGM Jogjakarta. Daftar segera! Jangan sia-siakan kesempatan ini!”
”Baik, Bapak. Doakan saya berhasil meraih beasiswa itu,” sanggup Munjali.
Mendapat peluang emas seperti itu, dia langsung menerima dan menindaklanjutinya. Tidak ada bayang-bayang sebagai orang bantaran Bengawan Solo. Tidak ada bayang-bayang orang tua tidak mampu membiayainya. Tidak ada bayang-bayang nanti ketika kuliah bisa makan dan minum dari mana. Yang ada dalam benaknya hanyalah doa restu orang tua, guru, dan tentunya semangat untuk menjadi orang yang lebih baik dan bermanfaat bagi orang lain.
”Bapak, izinkan saya menjual sepeda onthel ini buat biaya berangkat ke Jogjakarta,” izin Munjali kepada ayahnya.
”Sialakan kamu jual. Saya ikhlas,” jawab ayahnya.
Munjali menjual sepeda yang menjadi kebutuhan transportasi keluarga. Dia mendapatkan uang dua ratus lima puluh ribu rupiah. Uang tersebut sudah cukup buat biaya perjalanan Munjali sampai ke kampus UGM Jogjakarta.
Tengah malam Munjali sampai stasiun Tugu. Suasana di stasiun sepi. Tidak ada tukang angkot atau tukang ojek. Munjali memutuskan bermalam di stasiun itu. Dia tidur di kursi tunggu sambil mendekap tas pakaian dan buku sampai subuh tiba.
Munjali beranjak dari kursi tunggu stasiun menuju masjid yang berada di sebelah stasiun. Dia malaksanakan salat subuh dengan berjamaah bersama warga sekitar. Usai salat, Munjali duduk sambil mengamati suasana Jogjakarta yang baru kali pertama dipijak. Di dekat masjid terdapat warung kecil yang meyediakan menu nasi kucing. Dia menuju ke situ untuk sarapan pagi.
”Berapa, Bu?” tanya Munjali kepada pemilik warung.
”Nasi kucing dan segelas teh hangat. Seribu lima ratus, Mas,” jawabnya. Munjali merogoh uang di saku lalu membayarnya ke tukang warung.
Pungguk yang berjuang merengkuh rembulan merapikan rambut dan pakaian. Dia bergeser ke pinggir jalan raya mencari jasa transportasi ke kampus UGM. Tak berselang lama sebuah angkot berhenti. Munjali naik angkot dan menempuh perjalanan tidak sampai sepuluh menit.
Di kampus UGM, Munjali masuk ruang tes. Di dalam ruang pengawas ujian sudah siap membagikan soal. Munjali fokus dengan doa dan konsentrasi menghadapi soal ujian. Soal ujian dia kerjakan dengan capat. Dia selesai paling awal. Munjali mengumpulkan lembar jawaban kepada pengawas. Pengawas itu menepuk-nepuk pundak munjali. Pengawas itu respek pada Munjali yang mempu mengerjakan soal dengan baik dan cepat.
Munjali duduk di kursi taman kampus. Dia memohon kepada Allah agar lolos seleksi penerima beasiswa. Tiga jam berikutnya, tepat pukul 15:00 panitia menempelkan pengumuman hasil tes. Munjali berlari menuju papan pengumuman. Dia lantas melakukan sujud syukur setelah namanya tercantum di nomor urut pertama daftar nama peserta lolos beasiswa.
Ujian pertama dalam meraih cita-cita telah dilalui Munjali dengan baik. Persoalan sebagai mahasiswa penerima beasiswa UGM sudah tuntas. Munjali memasang strategi untuk menghadapi ujian berikutnya, yakni kebutuhan tempat tinggal dan kebutuhan hidup. Munjali peercaya pada Allah. Percaya kepada kekuatan doa dan dukungan orang tua. Hal ini terbukti ketika ada seseorang yang menawarinya sebagai penjaga musalla di tempat yang tidak jauh dari kampus. Dia pun menerima tawaran tersebut.
Munjali pekerja keras. Dia melalui tahap-tahap kesuksesan dengan bekerja sendiri. Pahit getirnya kehidupan pernah dicicipinya. Munjali tidak kehilangan semangat. Dia mencari peluang untuk mendapatkan biaya hidup.
Dia mendatangi agen koran. Munjali menawarkan diri sebagai penjual koran. Munjali diterima oleh agen itu sebagai penjual koran di area museum Monumen Jogja Kembali atau monjali. Setiap hari dia berjualan koran di situ dengan memakai topi ninja. Orang-orang yang tinggal atau kebetulan melintas di area itu menyebutnya sebagai Ninja Monjali. Mereka tidak menyangka kalau sosok yang mereka sebut ninja monjali itu seorang mahasiswa berprestasi penerima beasiswa di UGM.
Selama empat tahun Munjali menimba ilmu di perguruan tinggi negeri ternama itu. Dia mampu menyelesaikan studi sesuai terget waktu. Ninja Monjali akan diwisuda pada pekan depan. Atas keberhasilan itu, dia semakin yakin bahwa tidak ada sesuatu yang tidak mungkin bila kita mau bekerja dan bersungguh-sungguh untuk mencapainya. Dia telah membuktikan sendiri pesan motivasi yang penah disampaikan kepala sekolahnya bahwa burung terbang dengan kedua sayap, manusia terbang dengan cita-cita. Dengan cita-cita tinggi akhirnya dia mampu menyelesaikan studi dengan baik dan cemerlang.
Sebutan Ninja Monjali kembali mencuat tatkala dalam rapat senat terbuka wisuda sarjana UGM, nama Munjali disebut sebagai wisudawan atau lulusan terbaik. Sebutan itu menggema seiring gemuruh tepuk tangan para peserta wisuda lainnya. Munjali didaulat ke panggung kehormatan untuk memberi sambutan sebagai lulusan terbaik tahun itu.
”Kesuksesan adalah milik orang yang mau belajar, bekerja, dan berjuang dengan sungguh-sungguh tanpa melihat latar belakang keluarga, daerah, dan ekonomi,” tutur Munjali dalam sambutannya.
Nama Munjali alias Ninja Monjali sebagai wisudawan terbaik menghiasi halaman berbagai koran. Dia juga disebut sebagai pungguk yang mampu merengkuh rembulan. Berita tentang Munjali menjadi inspirasi para remaja.
Berita-berita itu tersebar di seantero daerah tempat tinggal Munjali di bantaran sungai Bengawan Solo. Banyak warga kagum dan terharu. Anak tukang pencari rencek berhasil menjadi wisudawan terbaik di perguruan tinggi ternama. Mereka banyak yang penasaran pada kondisi ekonomi keluarga Munjali. Sebagian dari mereka ada yang datang ke rumah orang tua Munjali. Mereka yang sempat datang ke lokasi sampai menggeleng-gelengkan kepala. Ada yang meneteskan air mata haru saat melihat tempat tinggal keluarga Munjali.
”Bapak, Ibu, saya pulang,” kata Munjali yang tiba-tiba datang dan mengejutkan kedua orang tua serta para tokoh yang sedang berbincang-bincang tentangnya.
”Alhamdulilah, anakku. Kamu telah berhasil meraih cita-citamu.”
”Berkat doa kalianlah saya bisa menjadi seperti ini,” kata Munjali sembari masih sungkem kepada kedua orang tuanya.
Orang-orang yang kumpul di rumah sederhana di bantaran sungai Bengawan Solo bergembira. Mereka senang dengan keberhasilan anak desa menjadi wisudawan terbaik di kampus ternama. Mereka mengaharapkan Munjali menjadi pemuda inspiratif di daerah bantaran Sungai Bengawan Solo dan desa-desa lainnya. (*)
   Lamongan, 13 Maret 2025

Ahmad Zaini merupakan guru SMKN 1 Lamongan. Dia telah menghasilkan beberapa buku kumpulan cerpen. Buku terbarunya berjudul Bingkai Jendela Tanpa Kaca (2024)