Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Jumat, 11 November 2011

Air Mata di Atas Lapak

Cerpen karya Ahmad Zaini*

Bekas-bekas lapak dagangan berserakan di sekitar bongkaran pasar. Papan, usuk, balok, serta bekas atap lapak porak poranda tak tentu arah. Gundukan-gundukan barang dagangan masih tercecer di setiap sudut bekas tempat jualan para pedagang. Puluhan aparat keamanan terlihat berlalu-lalang mengantisipasi agar tidak ada gerakan warga atau para pedagang yang ingin menggagalkan pembongkaran pasar yang sudah dilegalkan atau diprogramkan oleh pemerintahan setempat.
Pagi itu suasana masih lengang. Para aparat keamanan memanfaatkan waktu itu untuk sekedar menyruput kopi hangat atau sekedar memakan onde-onde sebagai pengganjal perut. Mereka bersenda gurau dengan kawan-kawannya untuk mengusir kejenuhan setelah semalam suntuk berjaga di area pasar.
Matahari mulai muncul. Sinar merahnya melukisi pagi yang berkabut. Debu-debu remukan dinding toko beterbangan ketika serombongan truk yang mengangkut pasukan antihuru-hara melintas di area pasar. Perlahan-lahan rombongan truk itu pun berhenti kemudian pasukan doreng yang dilengkapi dengan senjata api.berloncatan dari atas truk
Tarno, salah satu penghuni pasar, berdiri mematung di bekas tempat berjualannya. Ia sebelumnya membereskan puing-puing tokonya yang masih berserakan. Ia kaget ketika melihat serombongan aparat keamanan memenuhi lokasi bongkaran pasar.
“Memangnya mereka akan perang ke mana?” kata Tarno dalam hati.
Tarno heran dengan pandangan yang ada di hadapannya. Ia tak percaya ada ratusan aparat keamanan datang ke lokasi pembongkaran pasar dengan persenjataan lengkap.
“Untuk apa senjata-senjata itu? Siapa yang akan ditembak?” gerutunya.
Setelah rasa takjub itu sirna, Tarno pun kembali memunguti puing-puing tokonya lalu dikemas ke dalam karung.
***
Tarno hanyalah pedagang sandal yang menempati area pasar itu sejak puluhan tahun yang lalu. Usahanya dirintis mulai dari nol. Dulu ketika ia membuka usahanya, lelaki berperawakan kurus ini meminjam uang dari bank dengan tempo selama sepuluh tahun. Ia menggadaikan akta tanahnya sebagai jaminan. Seiring dengan perekambangan daerah dan semakin padatnya penduduk daerah itu, usaha Tarno mengalami perkembangan yang sangat pesat. Ia mempunyai puluhan pelanggan dengan omzet perharinya mencapai dua sampai tiga juta. Disaat usahanya berada di masa kejayaan, muncullah kabar akan ada relokasi pasar dari pasar tradisonal ke pasar baru yang telah dibangun oleh pemerintah.
Tarno dan para pedagang yang lain sudah bersusah payah, berjuang mati-matian agar program relokasi pasar batal dilaksanakan. Para pedagang tidak ingin kehilangan para pelanggannya yang otomatis bisa mengurangi pendapatannya.
Hampir setengah tahun mereka melobi pihak-pihak yang terkait dengan rencana relokasi pasar. Mereka sudah berupaya memperjuangankan nasib para pedagang melalui perundingan dan lain-lain. Akan tetapi, usaha mereka lewat meja perundingan selalu menemui jalan buntu. Tuntutan para pedagang tidak ditanggapi oleh para pejabat. Akhirnya para pedagang pun melakukan aksi turun ke jalan berunjuk rasa dengan membentangkan poster serta tanda tangan massal yang intinya menolak rencana relokasi pasar. Lagi-lagi usaha mereka dalam menyampaikan aspirasinya menemui jalan buntu.
Pemerintah daerah setempat yang mempunyai hajat itu tetap bergeming. Mereka bersikukuh untuk melaksanakan programnya merelokasi pasar dengan alasan demi ketertiban, keindahan dan kenyamanan. Sedangkan, para pedagang yang punya usaha di pasar, termasuk Tarno, juga tetap bersikukuh tidak mau pindah dari pasar tempat ia berjualan dengan satu alasan mereka tidak mau kehilangan pelanggan.
“Apakah mereka mau bertanggung jawab andaikan para pelanggan kita lari ke pasar yang lain? Apakah mereka mau memberi makan istri dan anak-anak kita jika usaha kita benar-benar ditinggalkan pelanggan dan mengalami kebangkrutan?” teriak Tarno di tengah kerumunan para pedagang yang lain.
Para pedagang yang tergabung dalam asosiasi pedagang pasar setempat berdiri, berdiam diri. Akhirnya mereka sependapat dengan argument yang disampaikan oleh Tarno.
“Oleh karena itu, kita harus  menyatukan kata, menyatukan sikap. Kita wajib menolak rencana relokasi pasar ini!” imbuhnya.
“Betul, betul! Betul sekali!” sambung para pedagang.
“Hidup pedagang! Hidup pedagang! Hidup rakyat!” kata Tarno dengan berapi-api.
Usai mereka berkumpul untuk menyatukan persepsi, akhirnya mereka pun membubarkan diri dan menjalankan aktivitasnya seperti biasa.
Panas menyengat dari atap toko sangat terasa. Tarno pun menyalakan kipas angin mini yang digantung di langit-langit toko untuk mengusir udara yang gerah. Sebotol air  mineral ia minum agar membasahi tenggorakannya yang kering setelah berorasi di depan para pedagang yang lain.
Seorang pedagang mendatangi Tarno yang sedang menyandarkan punggungnya di tumpukan karung yang berisi sandal dagangannya. Ia terengah-engah menyampaikan informasi penting kepada Tarno.
“Mas Tarno, besok pagi relokasi pasar akan dilaksanakan. Ini edarannya,” kata pedagang tersebut sambil menyodorkan selembar kertas yang berisi imbauan agar para pedagang segera meninggalkan tempat dagangannya. Dalam edaran itu juga disebutkan bahwa para pedagang diberi waktu 1 x 24 jam untuk mengemasi dagangan dan membongkar lapaknya.
Tarno jadi panik. ia kebingungan setelah membaca edaran itu. Ia mendatangi para pedagang dan menyampaikan informasi tersebut. Para pedagang yang lain lebih panik daripada yang dialami Tarno. Mereka saling bertanya kepada sesama pedagang mengenai sikap mereka. Usaha mediasi yang mereka tempuh selalu mengalami jalan buntu.
“Kita tetap bertahan di pasar ini! Kita lawan ketidakadilan ini!” teriak Tarno yang diiyakan oleh para pedagang.
Mereka pun berencana akan berjaga-jaga di pasar hingga keesokan harinya. Para pedagang sepakat bergiliran begadang di pasar untuk mengawasi para penyusup yang ingin berbuat yang tidak-tidak seperti membakar pasar.
Pagi pun tiba. Awan tipis sedikit menodai pancaran suci matahari. Remang sinarnya sejenak menyuramkan masa depan usaha mereka. Baru dua jam mereka menjalankan aktivitas dagangnya tiba-tiba muncul puluhan truk yang mengangkut pasukan keamanan dengan persenjataan langkap. Mereka berhamburan dari atas truk lalu mengusir para pedagang dengan bentakan-bentakan agara mereka segera meninggalkan dagangannya.
“Ayo bubar! Cepat tinggalkan tempat ini! Pasar kalian akan segera dibongkar!” seru para aparat keamanan.
Para pedagang tidak segera meninggalkan tempat. Ia tetap berada di toko masing-masing. Setelah para aparat memberikan peringatan yang kesekian kalinya dan tidak dihiraukan oleh para pedagang, akhirnya mereka pun kehilangan kesabaran. Mereka merangsek ke dalam pasar sambil menyeret paksa para pedagang yang membandel tidak mau pergi.
“Jangan usir kami! Jangan usir kami!” rengek mereka.
Para aparat tidak mempedulikan mereka yang mengiba. Pasukan antihuru-hara dan satpol PP yang ikut membantu penertiban pasar juga ikut beraksi. Mereka membabi buta menggulingkan lapak dan barang dagangan para penghuni pasar. Dan dalam sekejap para pedagang pun keluar dari area pasar dengan jerit histeris menolak pembongkaran pasar.
“Mana yang bernama Tarno?” tanya lelaki berpakaian lengkap dengan pistol di genggaman.
“Saya yang bernama Tarno.” Lelaki bertubuh kurus muncul dari kerumunan pada pedagang.
“Ayo, ikut kami ke kantor!” ajak sang komandan.
“Saya tidak mau meninggalkan pasar ini sebelum kalian pergi dan membiarkan kami mencari rizki di sini,” tolak Tarno.
Sang Komandan pun memerintahkan pasukannya untuk membawa paksa Tarno ke kantor. Sontak para pedagang yang lain bergerak menghalang-halangi aparat keamanan yang akan membawa Tarno.
Niat mereka pun kandas di tangan pasukan yang mengurung mereka. Akhirnya mereka pun tidak dapat berbuat apa-apa. Para pedagang pasrah dengan rencana pemerintah yang akan merelokasi pasar.
Lima kendaraan berat bergerak menembus lapak-lapak yang berjajar di pasar. Satu persatu roboh oleh serudukan moncong kuningnya. Kepulan debu membumbung ke angkasa setelah toko-toko permanen yang tebuat dari beton dan ubin runtuh dan rata dengan tanah.
Linangan air mata para pedagang menetes di remukan lapak. Mereka memunguti sisa-sisa dagangan yang tersisa yang masih layak dijual.
Sementara itu, Tarno yang dituduh sebagai penggerak aksi para pedagang masih menjalani proses hukum yang dituduhkan kepadanya. Ia menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan oleh penyidik. Beberapa kali Tarno juga sempat menyampaikan tuntutan warga pasar kepada pihak pemerintah setempat agar nasib mereka tetap diperhatikan, namun hanya sebagaian tuntutan itu yang diterima. Di antara tuntutan yang disepakati itu adalah  relokasi pedagang pasar ini hanya bersifat sementara demi kelancaran pembangunan pasar yang sudah dinggap tidak layak oleh pemerintah setempat.  Jika pembangunan selesai maka mereka pun boleh berdagang lagi. (*)
Lamongan, Oktober 2011
*Cerpenis adalah guru SMA Raudlatul Muta’allimin Babat
tinggal di Telaga Biru Wanar Pucuk Lamongan





Tidak ada komentar:

Posting Komentar