Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Sabtu, 12 November 2011

Peringatan Sumpah Pemuda sebagai Momen Cinta Bahasa Indonesia


Oleh A. Zaini, S.Pd.
Guru Bahasa Indonesia
SMA Radulatul Muta'allimin Babat Lamongan
ilazen@yahoo.co.id.

"Kami putra-putri Indonesia mengaku bertanah air satu,  tanah air Indonesia
Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia
Kami putra dan putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan,bahasa Indonesia"

Gema pembacaan ikrar sumpah pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 silam, seakan masih terngiang di telinga kita sebagai generasi penerus bangsa. Jika kita menengok sejarah terjadinya peristiwa sebagai momen bangkitnya semangat perjuangan yang bersifat nasional yang kita kenal dengan nama Sumpah Pemuda maka kita akan ingat sebuah semangat nasionalisme yang membara dari para pemuda saat itu.
Sebut saja Jong Ambon, Jong Java, Jong Sumatra, dan organisasi kepemudaan yang lainnya. Mereka bersama-sama bersemangat menyatukan persepsi dari sebuah perjuangan yang asalnya bersifat kedaerahan menjadi bersifat nasional.
Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, kita wajib meneruskan amanat baik yang tersurat maupun yang tersirat dari sebuah ikrar Sumpah Pemuda. Pengakuan tulus yang timbul dari rasa cinta tanah air, cinta bangsa, dan cinta bahasa Indonesia. Pengakuan dengan dasar kebersamaan dan persatuan untuk bersama-sama menyusun kekuatan mengusir penjajah yang selama beratus-ratus tahun mencengkeram bangsa ini. Pengakuan atau ikrar suci yang kemudian menjadi embrio kekuatan para pemuda dari berbagai daerah di Indonesia untuk menegakkan panji-panji bangsa agar menjadi bangsa yang berwibawa dan bermartabat di mata dunia internasional. Hingga lahirlah bahasa Indonesia dari induknya yaitu bahasa Melayu.
Dalam peringatan Sumpah Pemuda yang ke-80 tahun 2008 ini, kita merasakan sesuatu yang tidak mengenakkan. Terutama kalau melihat pada gaya hidup anak-anak kita, generasi muda saat ini. Rasa nasionalisme  mereka mulai menurun. Terutama dalam berkomunikasi baik yang berskala lokal, nasional, maupun internasional.
Bahasa sebagai media komunikasi mempunyai peranan vital dan sangat menentukan kualitas dari sebuah interaksi. Sebagai orang Indonesia sudah semestinya kita berkomunikasi dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar karena bahasa Indonesia adalah bahasa resmi, bahasa nasional kita. Namun kebanggaan terhadap bahasa Indonesia itu tidak tertanam dalam jiwa remaja saat ini. Mereka lebih senang menggunakan bahasa asing, bahasa daerah, atau bahasa-bahasa lain yang bersifat "jalanan" seperti bahasa gaul, bahasa slank, dan lain sebagainya. Lihat saja kata nyokab (=ibu), bokap (=bapak), aq (=aku), coz (=karena). Kata-kata tersebut lahir bukan dari sebuah kongres bahasa namun dari pertemuan para pemakai bahasa yang secara kebetulan saja (liar).
Jika perhatian para pemuda terhadap bahasa Indonesia seperti di atas tidak segera ditangani maka akan muncul pemuda-pemuda Indonesia yang tidak mempunyai jati diri sebagai pemuda Indonesia pada sepuluh, dua puluh tahun yang akan datang. Mereka akan menjadi pemuda loyo dan lupa jatidirinya. Ini akan memudahkan masuknya pengaruh yang melemahkan semangat nasionalismenya. Dan ini sangat berpotensi munculnya kelompok-kelompok yang anti terhadap bahasa dan negeranya sendiri, kelompok separatis yang mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Lantas apa yang harus  kita lakukan agar rasa cinta terhadap bahasa Indonesia tertanam di hati para generasi muda saat ini?
Pertama, memunculkan rasa tanggung jawab kepada semua komponen bangsa untuk membina dan mengembangkan bahasa Indonesia. Bukan orang Jakarta, Makassar, Ambon, Surabaya dan penduduk kota-kota besar lainnya saja yang berkewajiban membina dan mengembangkan bahasa Indonesia. Namun, semua lapisan masyarakat mulai dari ibu kota, provinsi, daerah, hingga ke pelosok-pelosok desa mempunyai kewajiban tersebut. Para pejabat Negara, pegawai kantor atau instansi kepemerintahan, termasuk para pengusaha harus dapat memberikan contoh kepada masyarakat tentang pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kita masih sering menjumpai tulisan di baleho, spanduk, brosur-brosur, iklan yang tidak memperhatikan kaidah penulisan bahasa Indonesia yang baik. Tulisan-tulisannya hanya mengedepankan propaganda untuk melariskan program dan produk ciptaannya. Maka dalam hal ini, pemerintah harus tegas menindak para oknum-oknum pejabat dan pengusaha yang membuat tulisan yang tidak mencerminkan tata bahasa baku bahasa Indonesia. Di antaranya dengan jalan tidak memberikan izin pemasangan baleho, spanduk, brosur, iklan yang penulisannya salah tersebut.
Kedua, memaksimalkan peran sekolah sebagai lembaga pendidikan. Mata pelajaran bahasa Indonesia sudah menjadi pelajaran pokok di setiap jenjang pendidikan di Indonesia. Mulai dari tingkat SD, SMP, SMA, hingga Perguruan Tinggi. Namun realita yang ada menunjukkan kurang adanya keseriusan para guru yang ada di lembaga-lembaga pendidikan dalam membina dan mengembangkan bahasa Indonesia. Mereka beranggapan bahwa yang berkewajiban membina dan mengembangkan bahasa Indonesia di sekolah adalah guru bahasa Indonesia. Guru bahasa Indonesia selalu dikambinghitamkan jika ditemukan siswa yang tak mampu berbahasa Indonesia dengan baik. Padahal tidak demikian. Semua pejabat struktural sekolah, dewan guru, dan masyarakat sekolah yang lainnya mempunyai kewajiban yang sama dalam membina dan mengembangkan bahasa Indonesia pada anak didik. Jika ini disadari oleh para stekholder sekolah maka lambat laun anak didik yang merupakan generasi penerus bangsa akan mampu dan bangga berkomunikasi dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Jika dua cara di atas dapat kita laksanakan maka sepuluh tahun, dua puluh tahun yang akan datang kita tidak akan menemukan lagi slogan-slogan dengan tulisan yang tidak sesuai dengan ejaan bahasa Indonesia. Para pemuda kita akan menjadi pemuda yang bangga pada bahasanya sendiri. Mereka akan berjuang, bersemangat dalam belajar mencari jati diri sebuah bangsa. Karena pada hakikatnya "bahasa menunjukkan bangsa."
Pada bulan Oktober 2008 ini, mari kita bersama-sama berikrar untuk meneruskan cita-cita pemuda pada tahun 1928, untuk bisa mencintai bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa yang dapat menyatukan semua komponen bangsa yang berbhineka tunggal ika. Dengan semangat tersebut, maka bahasa Indonesia tidak akan lapuk oleh waktu, tidak akan tergerus oleh kemajuan zaman. Bahasa Indonesia akan tetap eksis di tengah maraknya tuntutan untuk berbahasa internasional. Viva Bahasa Indonesia!






Tidak ada komentar:

Posting Komentar