Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Jumat, 11 November 2011

SUNTIK MATI


Cerpen karya Ahmad Zaini

Kipas angin di ruang rawat inap rumah sakit itu terus berputar. Hembusan angin dari kipas itu sedikit menghilangkan rasa gerah. Satu persatu butiran-butiran keringat lenyap dari tubuh Samsul yang tampak kecapekan. Sementara mata sayunya terasa ingin saja terlelap lantaran sudah lima bulan ini dia selalu begadang dan jarang tidur untuk menjaga anak sulungnya yang terbaring di ranjang perawatan. Anaknya meregang nyawa sejak peristiwa kecelakan yang menewaskan pacarnya.
Samsul tak bisa lagi meneteskan air mata. Ia sudah kehabisan air mata yang tiap hari ia tumpahkan. Setiap dia menatap tubuh Aldi yang dibalut perban dan selang-selang infus serta selang tranfusi darah, Samsul langsung menangis. Ditambah lagi kabel-kabel penghubung alat pendeteksi detak jantung yang bergelantungan di dada Aldi. Samsul tidak tega melihat anak sulungnya yang digadang-gadang sebagai penerusnya kelak, kini dalam kondisi antara hidup dan mati.
Kumandang adzan shubuh terdengar dari mushalla rumah sakit. Samsul lantas membangunkan istrinya yang masih terlelap tidur dengan alas tikar di lantai ruang perawatan. Setelah istrinya terbangun dan giliran menjaga Aldi, Samsul langsung pamit pergi ke mushalla rumah sakit untuk menunaikan kewajiban melaksanakan shalat shubuh. Langkah kaki Samsul terasa berat. Ia terkadang hilang keseimbangan hingga langkahnya sempoyongan. Di tempat wudlu, Samsul melihat seorang pemuda yang sebaya dengan Aldi yang sedang berwudlu. Ia teringat anaknya yang hingga kini masih tebaring tak sadarkan diri sejak lima bulan yang lalu.
“Pak, silakan!” pemuda itu mempersilakan Samsul agar segera berwudlu.
“Terima kasih, Mas!”
Air segar ia basuhkan ke wajah dengan niat menghilangkan hadas kecil. Pancuran air itu tiada henti membasuh anggota-anggota tubuh Samsul yang harus dibasuh atau diusap sebagai rukun wudlu. Ia melantunkan doa usai berwudlu dengan mendongakkan wajahnya menerpa langit-langit tempat wudlu. Dan kesekian kalinya dia menangis tanpa air mata mengingat anaknya yang tak kunjung sembuh.
Di shof kedua Samsul menunaikan shalat subuh dengan berjamaah. Lantunan ayat Alquran yang lisankan oleh imam shalat membuat hati Samsul menangis dan degub jatungnya meninggi. Dalam ayat itu tersindir, “Barang siapa yang tidak ikhlas menerima takdirku (Allah), maka carilah Tuhan selaian aku (Allah)”. Ia sesenggukan dalam shalat lantaran dia merasa hina dan bersalah karena dalam pikirannya terkandang terlintas perasaan kurang ikhlas dengan cobaan yang menimpanya kini.
“Ya, Allah jika anakku yang sedang meregang nyawa layak untuk Kau ambil, maka ambillah! Dan jika anakku ini layak untuk sembuh, maka sembuhkanlah. Dibalik semua ini Engkaulah yang mahatahu dan mahabijaksana. Amin!” doa Samsul usai melaksanakan shalat shubuh dengan berharap agar Tuhan memberikan pilihan yang terbaik dari musibah yang menimpanya.
Usai melaksanakan shalat subuh, Samsul kembali ke ruang perawatan Aldi. Di depan pintu ruang itu, ia melihat istrinya yang sedang menyeka wajah anaknya yang masih terpejam dengan tubuh yang terlentang dipenuhi selang dan kebel. Hatinya terasa hancur melihat adegan orang-orang tercintanya di depannya. Kakinya seakan tak bisa beranjak, terasa berat melangkah mendekat ke arah mereka.
“Bu, biar saya saja yang menyeka Aldi. Kamu segera ke mushalla melaksanakan shalat shubuh!” pinta Samsul.
“Baik, Pak! Saya segera ke sana,” jawab istrinya.
Samsul kini tinggal berdua dengan Aldi yang tak berdaya. Dengan rasa sayang dan iba, tangan Samsul perlahan mengusap-usapkan kain halus yang sudah dibasahi dengan air hangat untuk menyeka wajah anaknya yang tampan. Samsul tak kuasa lagi menggerakkan tangannya karena dia tidak kuat menahan rasa iba dan sedih pada kondisi Aldi.
“Anakku…!” ia sesenggukan menangis di atas tubuh anaknya.
“Sadarlah, anakku! Sadarlah! Ayahmu ingin sekali kamu bicara! Ayah tak akan lagi melarang apa yang kau mau. Ayah akan menuruti semua permintaanmu. Kamu minta apa, Nak sekarang? Ayo bicara, Nak! Bicaralah…!”
Tangis Samsul terhenti saat mendengar pintu ruang diketuk-ketuk petugas rumah sakit. Ia melihat seorang dokter didampingi dua perawat akan memeriksa kondisi Aldi, anaknya. Samsul melihat dengan teliti apa yang dilakukan dokter ini kepada anaknya.
“Maaf, Bapak jangan dekat-dekat! Biarkan Pak Dokter memeriksa kondisi anak Bapak!” tegur salah satu perawat kepada Samsul. Ia pun perlahan mundur menjauhi dokter.
Rasa khawatir Samsul terhadap anaknya yang sedang diperiksa dokter berkecamuk dalam dada. Dalam hatinya, ia ingin sekali memaksa dokter untuk menyembuhkan anaknya sehingga dia bisa hidup normal seperti sedia kala. Tapi, apa boleh buat dokter hanyalah sebagai perantara dari proses penyembuhan orang sakit. Yang dapat membuat orang sakit dan menyembuhkannya hanyalah Allah azza wajalla.
“Bagaimana, Dokter kondisi anak saya?” tanya Samsul.
Mendengar pertanyaan itu dokter tidak langsung menjawab. Ia menghela napas panjang sebagai ungkapan rasa pasrah atas usaha penyembuhan yang ia lakukan. Ia pun mendekati Samsul sambil menepuk-nepuk pundak Samsul.
“Sabar, ya, Pak! Sabar…! Kondisi anak Bapak tetap tidak ada perubahan. Berdoalah terus kepada Allah dan jangan putus asa!” pesannya dokter kepada Samsul.
“Lakukanlah yang terbaik untuk anakku, Dokter! Aku ingin anakku sembuh.”
“Maaf, Bapak! Saya sudah berusaha maksimal. Kalau sampai saat ini belum ada perubahan, itu bukan ketentuanku, Pak.”
“Kira-kira masih ada peluang sembuhkah, Pak?”
“Jika melihat kondisi anak Bapak seperti ini, peluang sembuh masih ada. Tapi, sangat kecil!”
“Berarti tidak ada peluang untuk hidup lagi?”
“Saya ini manusia biasa yang tidak berhak menjawab dan memastikan hidup mati seseorang. Yang tahu semua itu hanyalah Tuhan.”
“Kalau begitu, lakukan suntik mati saja, Pak!”
“Apa? Suntik mati? Bapak ini bagaimana?
“Daripada tidak ada peluang sembuh, lebih baik anak saya disuntik mati biar dia tidak merasakan lagi derita berkepanjangan ini!”
Istighfar, Pak! Suntik mati itu dilarang dalam agama. Itu sama dengan pembunuhan. Seorang dokter pun tidak boleh melakukan itu karena melanggar kode etik profesi sebagai dokter. Kalau saya melakukan itu, sama halnya saya itu membunuh anak Bapak.”
“Saya ini ayahnya, Dokter. Saya ikhlas. Lakukanlah, Dok!”
“Maaf, Pak! Untuk yang satu ini saya tidak bisa melakukan. Permisi, Pak!”
Dokter dan kedua perawat pergi meninggalkan ruang perawatan itu.
Samsul kini sendiri di ruang rawat anaknya. Ia tertegun dengan apa yang telah disampaikan oleh dokter. Ia tidak menyangka jika nasib anak sulungnya sangat tragis seperti ini. Perlahan-lahan Samsul membalikkan badannya menghadap ke arah anaknya yang diam tak berdaya. Tubuh berbalut perban yang membujur di ranjang ia dekati. Kedua tangannya dengan serta merta merangkul tubuh Aldi.
“Anakku…! Dosa apa yang pernah ayah lakukan hingga ayah menerima ujian seperti ini?” sesal yang bernada tanya keluar dari mulut Samsul.
“Sabar, Pak! Ini adalah rencana Tuhan menguji kesabaran kita!” suara lirih perempuan yang tak lain adalah istri Samsul.
Istri Samsul kemudian memegang pundak suaminya lalu mengangkat pelan agar suaminya dapat berdiri dengan kepala tegak.
“Saya tidak kuasa melihat kondisi anak kita Bu. Sudah lima bulan ia tidak sadarkan diri. Dan menurut kata dokter peluang hidupnya juga sangat menipis. Apakah kita sebagai orang tua akan membiarkan anak kita dalam kondisi tersiksa seperti ini, Bu?”
“Maksud Bapak?” tanya istrinya.
“Tadi saya meminta kepada dokter agar ia menyuntik mati anak kita.”
“Menyuntik mati anak kita? Apakah Bapak ini sudah gila? Anak sendiri akan dibunuh. Sungguh keterlaluan kamu, Pak! Saya tidak setuju!”
“Tapi, Bu kita ini sudah berihtiar. Sudah berusaha demi kesembuhan anak kita. Tapi saya tidak kuasa melihat dia yang terbaring tak sadarkan diri sejak lima bulan yang lalu. Dia menderita Bu. Apakah kita salah jika terpaksa harus mengakhiri penderitaan anak kita?”
“Bertaubatlah, Pak! Bertaubatlah! Kesabaran kita ini sedang diuji oleh Tuhan lewat anak sulung kita yang mengalami kecelakaan ini. Kita harus bersabar menerimanya. Tentang hidup dan mati anak kita, itu urusan Tuhan. Jadi , tidak ada kata suntik mati untuk anak kita.”
Setelah mendengar kata-kata istrinya, Samsul pun  terdiam. Kepala Samsul tertunduk lesu karena merasa capek dengan ujian yang sedang menimpanya. Ia menggeser tempat duduknya menepi ke dekat jendela. Dari balik jendela matanya menerawang cahaya pagi yang mulai bersinar lagi. Pikiran kalut sedikit terurai setelah dari depan jendela mendengar tawa anak bungsunya yang masih berusia tiga setengah tahun. Wajahnya ceria dan lugu tak terpengaruh dengan apa yang dirasakan ayahnya.
“Yah!” panggilnya dari luar ruang.
“Iya, Nak!” Samsul terperanjat mendengar panggilannya. Ia pun memenuhi penggilan anak bungsunya. Ia keluar dari kamar rawat inap Aldi. Sebentar kebekuan otaknya mencair karena bergurau dengan anak bungsunya.
“Keluarga pasien Aldi harap ke ruang dokter!” seorang petugas rumah sakit memanggil dari depan ruang rawat inap.
Samsul bergegas meninggalkan anak bungsunya yang bermain di taman rumah sakit. Ia segera memanggil istrinya untuk mengawasi anak bungsunya yang masih balita. Dengan rasa penasaran, Samsul datang ke ruang dokter.
“Silakan masuk, Pak!” dokter mempersilakan Samsul.
“Terima kasih. Ada apa dokter memanggil saya? Apakah ini semua ada kaitannya dengan permintaan saya tadi? Tolong, Dok! Saya mohon kepada dokter agar bersedia melakukan suntik mati kepada anak saya yang sudah menderita ini, Dok!”
“Bapak ini bicara apa? Apakah Bapak tidak tahu bahwa suntik mati itu tidak boleh digunakan dalam praktik kedokteran? Perlu Bapak tahu bahwa kami melaksanakan profesi dokter ada kode etiknya Pak,” dokter memberikan penjelasan kepada Samsul.
“Saya tidak mau tahu Pak Dokter. Yang penting saya minta dokter bersedia melakukannya. Titik!”
Dokter heran kepada Samsul. Ia tidak percaya dengan apa yang dia hadapi saat ini. Kengototan Samsul agar dokter menyuntik mati Aldi, anak sulungnya, adalah kejadian yang tidak pernah diduga sebelumnya. Suntik mati hanya digunakan oleh pengadilan kepada pesakitan yang terkena hukuman mati. Suntik mati adalah metode baru pengganti hukuman tembak atau qishas untuk memperingan derita pesakitan dengan cara menyuntikkan racun yang mematikan. Dengan begitu diharapkan si terpidana mati saat menjalani eksekusi akan mati secara perlahan-lahan. Tidak seperti hukum pancung atau tembak yang dinilai tidak manusiawi.
“Sekali lagi Pak Samsul, saya tidak mau melakukan itu,” tolak dokter.
“Jika Pak Dokter tidak mau melakukannya, serahkan saja alat suntik dan racun yang mematikan kepada saya. Saya akan melakukan sendiri. Bagaimana?” tawaran Samsul pada dokter.
Dokter pun tersenyum kecut mendengar ucapan Samsul. Ia jengkel dengan sikap Samsul yang ngotot ingin menyuntik mati anaknya.
“Pak Samsul ini orang Islam. Dalam hukum Islam, membunuh orang yang tidak bersalah itu akan mendapatkan hukuman qishas alias dihukum mati. Membunuh satu orang itu seperti membunuh semua orang. Apalagi Aldi itu anak Bapak sendiri. Apakah Bapak sudah memikirkan hal itu?”
“Tapi, Pak saya tidak tega melihat kondisinya yang semakin lama semakin menderita. Daripada peluang untuk bisa bertahan hidup sangat tipis, lebih baik Bapak melakukannya,” bantah Samsul.
Suasana tegang di ruang dokter mereda ketika istri Samsul datang dengan menggendong anak bungsunya. Ia melihat suaminya dan dokter bermuka merah padam. Ia penasaran dengan masalah yang baru saja mereka bicarakan. Istri Samsul perlahan mengendurkan dekapan erat pada anak bungsunya kemudian perlahan mendudukkan anaknya ke pangkuan Samsul.
“Ada apa, Pak? Kok, kelihatannya tegang!” tanya istri Samsul.
“Tidak ada apa-apa, Bu,” jawab Samsul dengan tiba-tiba.
“Dok, apa yang baru saja kalian bicarakan?”
“Tidak membicarakan apa-apa, Bu,” jawabnya.
“Cuma…,” sambung dokter yang kemudian terputus lagi.
“Apakah suami saya meminta dokter agar melakukan suntik mati kepada Aldi?” tanya istri Samsul.
Dokter terdiam. Ia tidak berani menjawab pertanyaan istri Samsul karena Khawatir masalahnya akan semakin runyam.
“Ibu, ini tanya apa?” sergah Samsul.
“Benarkan, Pak? Saya sudah menduga semua. Pak Dokter mau?” Samsul menatap kepada dokter.
“Begini, Bu. Memang benar tadi suami Ibu meminta kepada saya agar menyuntik mati anak ibu. Tapi, saya tidak mau karena itu melanggar kode etik profesi saya. Saya sudah memberikan penjelasan panjang lebar kepada Pak Samsul. Akan tetapi, suami ibu tetap ngotot supaya saya melakukannya. Sekali lagi Bu, saya tetap menolak karena saya tidak  mau dicap sebagai pembunuh. Pak Samsul bahkan nekat ingin melakukannya sendiri jika saya menolak,” dokter memberikan penjelasan kepada istri Samsul.
“Keterlaluan kau, Pak! Jika Bapak tetap ingin melakukan, lakukanlah kepada saya! Bunuh saya, pak! Bunuh saya!” teriak istri Samsul sambil mendekatkan tubuhnya kepada Samsul.
Samsul terdiam tak mampu berbicara apa-apa. Ia tidak menduga kalau rencananya ini juga mendapat tantangan dari istrinya. Tubuh Samsul bergetar. Kedua tangannya mengepal. Dengan spontan tangan berototnya dihantamkan pada meja kerja dokter.
“Terserah! Terserah apa yang kalian putuskan. Saya tetap akan melakukannya sendiri,” Samsul langsung meraih gunting yang tergeletak di meja dokter kemudian dengan cepat menyergap tubuh dokter.
“A..apa yang Ba..ba…bapak lakukan ini?” kata dokter ketakutan.
“Tunjukkan, Dok! Di mana kau simpan racun mematikan itu?”
“Ti..ti..tidak tahu, Pak.”
“Bohong!” bentak Samsul.
“I…i…iya, Pak. Di sana. Di almari itu,” kata dokter dengan menunjuk ke arah tempat penyimpanan racun mematikan.
“Sekarang turuti kata saya! Siapkan alat suntik! Isikan racun itu ke dalam alat! Cepat!”
Dokter melakukannya dengan gemetar. Tangan-tangannya bergetar ketakutan karena di lehernya telah melakat gunting tajam. Istri Samsul dan para perawat lainnya tidak berani melerai aksi nekat yang dilakukan Samsul. Mereka hanya bisa melihat dengan cemas serta rasa takut.
Samsul berjalan ke arah ruang perawatan anaknya sambil mengapit tubuh dokter sebagai pelindung agar tidak ada orang lain yang berani menghalangi atau membatalkan niat konyolnya itu.
Tubuh Aldi tetap seperti semula. Seluruh tubunya terbalut perban serta terikat selang-selang infus dan kabel pendeteksi detak jantung. Kurang selangkah lagi Samsul sampai ke tubuhnya anaknya dan akan menancapkan jarum suntik yang telah berisi racun yang sangat mematikan kepada anaknya yang koma sejak lima bulan lalu. Tiba-tiba seperti ada kekuatan yang datang menyelinap ke tubuh dokter. Ia meronta ingin melepaskan diri dari apitan Samsul. Tangan kekar Samsul yang sejak tadi mengunci gerakannya berhasil ia lepaskan. Dengan cekatan jarum suntik yang digenggam Samsul ia rebut. Samsul pun bergerak menahan serangan dokter sambil melindungi jarum suntik. Maka sejenak terjadilah rebutan jarum suntik mati antara dokter dengan Samsul. Secara tak sengaja ujung jarum tersebut menusuk lengan Samsul. Ia pun lemas dan lunglai jatuh ke lantai. Istri Samsul kemudian berlari mendekat ke arah suaminya yang mengejang dan keluar busa dari mulutnya. Tak lama kemudian tubuh Samsul diam tak berkutik.
“Bapak…!” teriak istrinya setelah dipastikan Samsul, suaminya, meninggal dunia.
Para dokter dan karyawan rumah sakit segera berbondong-bondong mendatangi tempat peristiwa yang sangat tragis dan sangat memilukan. Mereka segera menolong Pak Dokter yang masih sock dengan membawanya ke ruang kerja. Sementara para karyawan rumah sakit yang lain sebagian ada yang mengurus janazah Samsul dan sebagian lagi menolong anak serta istri Samsul yang sangat terpukul dengan kejadian itu.
Sungguh berat kenyataan hidup yang dialami oleh keluarga Samsul. Ia akhirnya terbunuh oleh ulahnya sendiri. Sedangkan anak sulungnya, Aldi, masih terbaring koma di ranjang perawatan. (*)
Lamongan, September 2011










Tidak ada komentar:

Posting Komentar