Cerpen karya Ahmad Zaini
Kipas angin di ruang
rawat inap rumah sakit itu terus berputar. Hembusan angin dari kipas itu
sedikit menghilangkan rasa gerah. Satu persatu butiran-butiran keringat lenyap
dari tubuh Samsul yang tampak kecapekan. Sementara mata sayunya terasa ingin
saja terlelap lantaran sudah lima bulan ini dia selalu begadang dan jarang
tidur untuk menjaga anak sulungnya yang terbaring di ranjang perawatan. Anaknya
meregang nyawa sejak peristiwa kecelakan yang menewaskan pacarnya.
Kumandang adzan shubuh
terdengar dari mushalla rumah sakit. Samsul lantas membangunkan istrinya yang
masih terlelap tidur dengan alas tikar di lantai ruang perawatan. Setelah
istrinya terbangun dan giliran menjaga Aldi, Samsul langsung pamit pergi ke
mushalla rumah sakit untuk menunaikan kewajiban melaksanakan shalat shubuh.
Langkah kaki Samsul terasa berat. Ia terkadang hilang keseimbangan hingga
langkahnya sempoyongan. Di tempat wudlu, Samsul melihat seorang pemuda yang
sebaya dengan Aldi yang sedang berwudlu. Ia teringat anaknya yang hingga kini
masih tebaring tak sadarkan diri sejak lima bulan yang lalu.
“Pak, silakan!” pemuda
itu mempersilakan Samsul agar segera berwudlu.
“Terima kasih, Mas!”
Air segar ia basuhkan
ke wajah dengan niat menghilangkan hadas
kecil. Pancuran air itu tiada henti membasuh anggota-anggota tubuh Samsul yang
harus dibasuh atau diusap sebagai rukun wudlu. Ia melantunkan doa usai berwudlu
dengan mendongakkan wajahnya menerpa langit-langit tempat wudlu. Dan kesekian
kalinya dia menangis tanpa air mata mengingat anaknya yang tak kunjung sembuh.
Di shof kedua Samsul menunaikan shalat subuh dengan berjamaah.
Lantunan ayat Alquran yang lisankan oleh imam shalat membuat hati Samsul
menangis dan degub jatungnya meninggi. Dalam ayat itu tersindir, “Barang siapa yang tidak ikhlas menerima takdirku
(Allah), maka carilah Tuhan selaian aku (Allah)”. Ia sesenggukan dalam
shalat lantaran dia merasa hina dan bersalah karena dalam pikirannya terkandang
terlintas perasaan kurang ikhlas dengan cobaan yang menimpanya kini.
“Ya, Allah jika anakku
yang sedang meregang nyawa layak untuk Kau ambil, maka ambillah! Dan jika
anakku ini layak untuk sembuh, maka sembuhkanlah. Dibalik semua ini Engkaulah
yang mahatahu dan mahabijaksana. Amin!” doa Samsul usai melaksanakan shalat
shubuh dengan berharap agar Tuhan memberikan pilihan yang terbaik dari musibah
yang menimpanya.
Usai melaksanakan
shalat subuh, Samsul kembali ke ruang perawatan Aldi. Di depan pintu ruang itu,
ia melihat istrinya yang sedang menyeka wajah anaknya yang masih terpejam
dengan tubuh yang terlentang dipenuhi selang dan kebel. Hatinya terasa hancur
melihat adegan orang-orang tercintanya di depannya. Kakinya seakan tak bisa
beranjak, terasa berat melangkah mendekat ke arah mereka.
“Bu, biar saya saja
yang menyeka Aldi. Kamu segera ke mushalla melaksanakan shalat shubuh!” pinta
Samsul.
“Baik, Pak! Saya segera
ke sana,” jawab istrinya.
Samsul kini tinggal
berdua dengan Aldi yang tak berdaya. Dengan rasa sayang dan iba, tangan Samsul
perlahan mengusap-usapkan kain halus yang sudah dibasahi dengan air hangat
untuk menyeka wajah anaknya yang tampan. Samsul tak kuasa lagi menggerakkan
tangannya karena dia tidak kuat menahan rasa iba dan sedih pada kondisi Aldi.
“Anakku…!” ia
sesenggukan menangis di atas tubuh anaknya.
“Sadarlah, anakku!
Sadarlah! Ayahmu ingin sekali kamu bicara! Ayah tak akan lagi melarang apa yang
kau mau. Ayah akan menuruti semua permintaanmu. Kamu minta apa, Nak sekarang?
Ayo bicara, Nak! Bicaralah…!”
Tangis Samsul terhenti
saat mendengar pintu ruang diketuk-ketuk petugas rumah sakit. Ia melihat
seorang dokter didampingi dua perawat akan memeriksa kondisi Aldi, anaknya.
Samsul melihat dengan teliti apa yang dilakukan dokter ini kepada anaknya.
“Maaf, Bapak jangan
dekat-dekat! Biarkan Pak Dokter memeriksa kondisi anak Bapak!” tegur salah satu
perawat kepada Samsul. Ia pun perlahan mundur menjauhi dokter.
Rasa khawatir Samsul
terhadap anaknya yang sedang diperiksa dokter berkecamuk dalam dada. Dalam
hatinya, ia ingin sekali memaksa dokter untuk menyembuhkan anaknya sehingga dia
bisa hidup normal seperti sedia kala. Tapi, apa boleh buat dokter hanyalah
sebagai perantara dari proses penyembuhan orang sakit. Yang dapat membuat orang
sakit dan menyembuhkannya hanyalah Allah azza wajalla.
“Bagaimana, Dokter
kondisi anak saya?” tanya Samsul.
Mendengar pertanyaan
itu dokter tidak langsung menjawab. Ia menghela napas panjang sebagai ungkapan
rasa pasrah atas usaha penyembuhan yang ia lakukan. Ia pun mendekati Samsul
sambil menepuk-nepuk pundak Samsul.
“Sabar, ya, Pak!
Sabar…! Kondisi anak Bapak tetap tidak ada perubahan. Berdoalah terus kepada
Allah dan jangan putus asa!” pesannya dokter kepada Samsul.
“Lakukanlah yang
terbaik untuk anakku, Dokter! Aku ingin anakku sembuh.”
“Maaf, Bapak! Saya
sudah berusaha maksimal. Kalau sampai saat ini belum ada perubahan, itu bukan
ketentuanku, Pak.”
“Kira-kira masih ada
peluang sembuhkah, Pak?”
“Jika melihat kondisi
anak Bapak seperti ini, peluang sembuh masih ada. Tapi, sangat kecil!”
“Berarti tidak ada
peluang untuk hidup lagi?”
“Saya ini manusia biasa
yang tidak berhak menjawab dan memastikan hidup mati seseorang. Yang tahu semua
itu hanyalah Tuhan.”
“Kalau begitu, lakukan
suntik mati saja, Pak!”
“Apa? Suntik mati?
Bapak ini bagaimana?
“Daripada tidak ada
peluang sembuh, lebih baik anak saya disuntik mati biar dia tidak merasakan
lagi derita berkepanjangan ini!”
“Istighfar, Pak! Suntik mati itu dilarang dalam agama. Itu sama
dengan pembunuhan. Seorang dokter pun tidak boleh melakukan itu karena
melanggar kode etik profesi sebagai dokter. Kalau saya melakukan itu, sama
halnya saya itu membunuh anak Bapak.”
“Saya ini ayahnya,
Dokter. Saya ikhlas. Lakukanlah, Dok!”
“Maaf, Pak! Untuk yang
satu ini saya tidak bisa melakukan. Permisi, Pak!”
Dokter dan kedua
perawat pergi meninggalkan ruang perawatan itu.
Samsul kini sendiri di
ruang rawat anaknya. Ia tertegun dengan apa yang telah disampaikan oleh dokter.
Ia tidak menyangka jika nasib anak sulungnya sangat tragis seperti ini. Perlahan-lahan
Samsul membalikkan badannya menghadap ke arah anaknya yang diam tak berdaya.
Tubuh berbalut perban yang membujur di ranjang ia dekati. Kedua tangannya
dengan serta merta merangkul tubuh Aldi.
“Anakku…! Dosa apa yang
pernah ayah lakukan hingga ayah menerima ujian seperti ini?” sesal yang bernada
tanya keluar dari mulut Samsul.
“Sabar, Pak! Ini adalah
rencana Tuhan menguji kesabaran kita!” suara lirih perempuan yang tak lain
adalah istri Samsul.
Istri Samsul kemudian
memegang pundak suaminya lalu mengangkat pelan agar suaminya dapat berdiri
dengan kepala tegak.
“Saya tidak kuasa melihat
kondisi anak kita Bu. Sudah lima bulan ia tidak sadarkan diri. Dan menurut kata
dokter peluang hidupnya juga sangat menipis. Apakah kita sebagai orang tua akan
membiarkan anak kita dalam kondisi tersiksa seperti ini, Bu?”
“Maksud Bapak?” tanya
istrinya.
“Tadi saya meminta
kepada dokter agar ia menyuntik mati anak kita.”
“Menyuntik mati anak
kita? Apakah Bapak ini sudah gila? Anak sendiri akan dibunuh. Sungguh
keterlaluan kamu, Pak! Saya tidak setuju!”
“Tapi, Bu kita ini
sudah berihtiar. Sudah berusaha demi
kesembuhan anak kita. Tapi saya tidak kuasa melihat dia yang terbaring tak
sadarkan diri sejak lima bulan yang lalu. Dia menderita Bu. Apakah kita salah
jika terpaksa harus mengakhiri penderitaan anak kita?”
“Bertaubatlah, Pak!
Bertaubatlah! Kesabaran kita ini sedang diuji oleh Tuhan lewat anak sulung kita
yang mengalami kecelakaan ini. Kita harus bersabar menerimanya. Tentang hidup
dan mati anak kita, itu urusan Tuhan. Jadi , tidak ada kata suntik mati untuk
anak kita.”
Setelah mendengar
kata-kata istrinya, Samsul pun terdiam.
Kepala Samsul tertunduk lesu karena merasa capek dengan ujian yang sedang
menimpanya. Ia menggeser tempat duduknya menepi ke dekat jendela. Dari balik
jendela matanya menerawang cahaya pagi yang mulai bersinar lagi. Pikiran kalut
sedikit terurai setelah dari depan jendela mendengar tawa anak bungsunya yang
masih berusia tiga setengah tahun. Wajahnya ceria dan lugu tak terpengaruh
dengan apa yang dirasakan ayahnya.
“Yah!” panggilnya dari
luar ruang.
“Iya, Nak!” Samsul
terperanjat mendengar panggilannya. Ia pun memenuhi penggilan anak bungsunya.
Ia keluar dari kamar rawat inap Aldi. Sebentar kebekuan otaknya mencair karena
bergurau dengan anak bungsunya.
“Keluarga pasien Aldi
harap ke ruang dokter!” seorang petugas rumah sakit memanggil dari depan ruang
rawat inap.
Samsul bergegas
meninggalkan anak bungsunya yang bermain di taman rumah sakit. Ia segera
memanggil istrinya untuk mengawasi anak bungsunya yang masih balita. Dengan
rasa penasaran, Samsul datang ke ruang dokter.
“Silakan masuk, Pak!”
dokter mempersilakan Samsul.
“Terima kasih. Ada apa
dokter memanggil saya? Apakah ini semua ada kaitannya dengan permintaan saya
tadi? Tolong, Dok! Saya mohon kepada dokter agar bersedia melakukan suntik mati
kepada anak saya yang sudah menderita ini, Dok!”
“Bapak ini bicara apa?
Apakah Bapak tidak tahu bahwa suntik mati itu tidak boleh digunakan dalam
praktik kedokteran? Perlu Bapak tahu bahwa kami melaksanakan profesi dokter ada
kode etiknya Pak,” dokter memberikan penjelasan kepada Samsul.
“Saya tidak mau tahu
Pak Dokter. Yang penting saya minta dokter bersedia melakukannya. Titik!”
Dokter heran kepada
Samsul. Ia tidak percaya dengan apa yang dia hadapi saat ini. Kengototan Samsul
agar dokter menyuntik mati Aldi, anak sulungnya, adalah kejadian yang tidak
pernah diduga sebelumnya. Suntik mati hanya digunakan oleh pengadilan kepada
pesakitan yang terkena hukuman mati. Suntik mati adalah metode baru pengganti
hukuman tembak atau qishas untuk
memperingan derita pesakitan dengan cara menyuntikkan racun yang mematikan.
Dengan begitu diharapkan si terpidana mati saat menjalani eksekusi akan mati secara
perlahan-lahan. Tidak seperti hukum pancung atau tembak yang dinilai tidak
manusiawi.
“Sekali lagi Pak
Samsul, saya tidak mau melakukan itu,” tolak dokter.
“Jika Pak Dokter tidak
mau melakukannya, serahkan saja alat suntik dan racun yang mematikan kepada
saya. Saya akan melakukan sendiri. Bagaimana?” tawaran Samsul pada dokter.
Dokter pun tersenyum
kecut mendengar ucapan Samsul. Ia jengkel dengan sikap Samsul yang ngotot ingin menyuntik mati anaknya.
“Pak Samsul ini orang
Islam. Dalam hukum Islam, membunuh orang yang tidak bersalah itu akan
mendapatkan hukuman qishas alias
dihukum mati. Membunuh satu orang itu seperti membunuh semua orang. Apalagi
Aldi itu anak Bapak sendiri. Apakah Bapak sudah memikirkan hal itu?”
“Tapi, Pak saya tidak
tega melihat kondisinya yang semakin lama semakin menderita. Daripada peluang
untuk bisa bertahan hidup sangat tipis, lebih baik Bapak melakukannya,” bantah
Samsul.
Suasana tegang di ruang
dokter mereda ketika istri Samsul datang dengan menggendong anak bungsunya. Ia
melihat suaminya dan dokter bermuka merah padam. Ia penasaran dengan masalah
yang baru saja mereka bicarakan. Istri Samsul perlahan mengendurkan dekapan erat pada anak bungsunya kemudian perlahan
mendudukkan anaknya ke pangkuan Samsul.
“Ada apa, Pak? Kok,
kelihatannya tegang!” tanya istri Samsul.
“Tidak ada apa-apa,
Bu,” jawab Samsul dengan tiba-tiba.
“Dok, apa yang baru
saja kalian bicarakan?”
“Tidak membicarakan
apa-apa, Bu,” jawabnya.
“Cuma…,” sambung dokter
yang kemudian terputus lagi.
“Apakah suami saya
meminta dokter agar melakukan suntik mati kepada Aldi?” tanya istri Samsul.
Dokter terdiam. Ia
tidak berani menjawab pertanyaan istri Samsul karena Khawatir masalahnya akan
semakin runyam.
“Ibu, ini tanya apa?”
sergah Samsul.
“Benarkan, Pak? Saya
sudah menduga semua. Pak Dokter mau?” Samsul menatap kepada dokter.
“Begini, Bu. Memang
benar tadi suami Ibu meminta kepada saya agar menyuntik mati anak ibu. Tapi,
saya tidak mau karena itu melanggar kode etik profesi saya. Saya sudah
memberikan penjelasan panjang lebar kepada Pak Samsul. Akan tetapi, suami ibu
tetap ngotot supaya saya melakukannya. Sekali lagi Bu, saya tetap menolak
karena saya tidak mau dicap sebagai
pembunuh. Pak Samsul bahkan nekat ingin melakukannya sendiri jika saya
menolak,” dokter memberikan penjelasan kepada istri Samsul.
“Keterlaluan kau, Pak!
Jika Bapak tetap ingin melakukan, lakukanlah kepada saya! Bunuh saya, pak!
Bunuh saya!” teriak istri Samsul sambil mendekatkan tubuhnya kepada Samsul.
Samsul terdiam tak
mampu berbicara apa-apa. Ia tidak menduga kalau rencananya ini juga mendapat
tantangan dari istrinya. Tubuh Samsul bergetar. Kedua tangannya mengepal.
Dengan spontan tangan berototnya dihantamkan pada meja kerja dokter.
“Terserah! Terserah apa
yang kalian putuskan. Saya tetap akan melakukannya sendiri,” Samsul langsung
meraih gunting yang tergeletak di meja dokter kemudian dengan cepat menyergap
tubuh dokter.
“A..apa yang Ba..ba…bapak
lakukan ini?” kata dokter ketakutan.
“Tunjukkan, Dok! Di
mana kau simpan racun mematikan itu?”
“Ti..ti..tidak tahu,
Pak.”
“Bohong!” bentak
Samsul.
“I…i…iya, Pak. Di sana.
Di almari itu,” kata dokter dengan menunjuk ke arah tempat penyimpanan racun
mematikan.
“Sekarang turuti kata
saya! Siapkan alat suntik! Isikan racun itu ke dalam alat! Cepat!”
Dokter melakukannya
dengan gemetar. Tangan-tangannya bergetar ketakutan karena di lehernya telah
melakat gunting tajam. Istri Samsul dan para perawat lainnya tidak berani
melerai aksi nekat yang dilakukan Samsul. Mereka hanya bisa melihat dengan
cemas serta rasa takut.
Samsul berjalan ke arah
ruang perawatan anaknya sambil mengapit tubuh dokter sebagai pelindung agar
tidak ada orang lain yang berani menghalangi atau membatalkan niat konyolnya
itu.
Tubuh Aldi tetap
seperti semula. Seluruh tubunya terbalut perban serta terikat selang-selang
infus dan kabel pendeteksi detak jantung. Kurang selangkah lagi Samsul sampai
ke tubuhnya anaknya dan akan menancapkan jarum suntik yang telah berisi racun
yang sangat mematikan kepada anaknya yang koma sejak lima bulan lalu. Tiba-tiba
seperti ada kekuatan yang datang menyelinap ke tubuh dokter. Ia meronta ingin
melepaskan diri dari apitan Samsul. Tangan kekar Samsul yang sejak tadi
mengunci gerakannya berhasil ia lepaskan. Dengan cekatan jarum suntik yang
digenggam Samsul ia rebut. Samsul pun bergerak menahan serangan dokter sambil
melindungi jarum suntik. Maka sejenak terjadilah rebutan jarum suntik mati
antara dokter dengan Samsul. Secara tak sengaja ujung jarum tersebut menusuk
lengan Samsul. Ia pun lemas dan lunglai jatuh ke lantai. Istri Samsul kemudian
berlari mendekat ke arah suaminya yang mengejang dan keluar busa dari mulutnya.
Tak lama kemudian tubuh Samsul diam tak berkutik.
“Bapak…!” teriak
istrinya setelah dipastikan Samsul, suaminya, meninggal dunia.
Para dokter dan
karyawan rumah sakit segera berbondong-bondong mendatangi tempat peristiwa yang
sangat tragis dan sangat memilukan. Mereka segera menolong Pak Dokter yang
masih sock dengan membawanya ke ruang kerja. Sementara para karyawan rumah
sakit yang lain sebagian ada yang mengurus janazah Samsul dan sebagian lagi
menolong anak serta istri Samsul yang sangat terpukul dengan kejadian itu.
Sungguh berat kenyataan
hidup yang dialami oleh keluarga Samsul. Ia akhirnya terbunuh oleh ulahnya
sendiri. Sedangkan anak sulungnya, Aldi, masih terbaring koma di ranjang
perawatan. (*)
Lamongan,
September 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar