Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Minggu, 13 November 2011

Kabar dari Gaza

Kabar dari Gaza
Cerpen karya Ahmad Zaini*

“Kapal Mavi Marmara yang mengangkut para relawan kemanusiaan ke Gaza ditembaki para tentara zionis Israil. Sebelas di antaranya adalah Relawan dari Indonesia.”
Suara reporter yang mengabarkan situasi di laut Gaza masih terngiang jelas di telingaku. Ia mewartakan kebiadaban tentara Israil yang menembaki relawan yang ingin membantu saudara seagama yang sedang berjuang melawan kesewenang-wenangan pemerintah Israil.

Salah satu dari relawan Indonesia adalah Rahmah, anak semata wayangku. Ia anak yang mempunyai kepedulian sosial yang sangat tinggi. Jiwa kemanusiaannya muncul ketika ia masih duduk di bangku SMP. Ia bergabung dengan Tim Palang Merah Remaja di sekolahnya waktu itu. Dari bakat yang dimilikinya, ia kemudian menjalin relasi dengan lembaga-lembaga soasial dan kemanusiaan lainnya dari berbagai daerah. Dari situlah muncul keinginan kuat bahwa pada suatu saat ia akan bergabung dengan para relawan untuk menolong saudara-saudaranya yang mengalami penderitaan akibat kebiadaban tentara Israil.
Foto yang terpajang di pigura kutatap dengan rasa cemas. Ketulusan yang tergambar dari senyum foto tersebut menyeret diriku dalam kerinduan yang mendalam. Apalagi ketika aku mendengar berita bahwa kapal yang mengangkutnya ditembaki para tentara Israil. Air mataku meleleh menetes di kebaya yang kupakai di malam itu.
“Aku berharap semoga Tuhan melindungi putri kami semata wayang dari penyerangan tersebut.”
Sebenarnya aku berat melepas kepergiannya bergabung dengan tim relawan untuk rakyat Palestina. Karena dia berkeinginan kuat dan mempunyai prinsip sosial serta Lillahi Ta’alanya yang menggelora, akhirnya aku rela mengizinkan dia bergabung dengan tim relawan. Saya hanya berpesan sewaktu dia akan berangkat, agar dia bisa menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya.
“Jangan mengharapkan apa yang akan kaudapat dari kegiatan kemanusiaan itu, tapi berpikirlah apa yang dapat kamu lakukan untuk keselamatan saudara muslim di Gaza!” pesanku padanya.
Kecup perpisahan dari Rahma seakan masih membekas di pipiku yang mulai keriput. Terasa olehku desah napas perjuangan yang menggelora di dadanya. Degup jantungnya seakan melukis kalimat-kalimat suci sebagai pembakar semangat demi tegaknya Islam dan kebenaran di jagad raya ini. Tegap langkahnya berderap menelusuri gang kecil yang menyembunyikan tempat tinggal kami. Dari gang ini saya berharap semoga muncul pahlawan putri yang dapat mengharumkan nama Islam di dunia internasional melalui aksi kemanusiaan sebagai relawan yang dikirm ke Gaza.
“Tut, tut, tut, tuuuut!” suara nada tombol dari ponselku.
Hening sesaat di speaker ponsel. Lalu terdengar peringatan bahwa nomor yang aku tuju sedang tidak aktif atau di luar jangkauan.
Hatiku gelisah. Hatiku menggelepar ketika mendengar peringatan tersebut. Aku mencoba menghubungi Rahmah lagi lewat ponsel satunya. Tapi peringatan serupa juga terdengar nyaring dari ponselku. Tangaku gemetar mengambil gagang telepon rumah. Kutekan perlahan dengan perasaan cemas nomor telepon Rahmah. Dari gagang telepon rumahku juga terdengar peringatan serupa.
Perasaanku mulai tidak enak. Aku berpikir yang tidak-tidak. Tapi aku yakin bahwa Tuhan akan melindungi Rahmah karena dia pergi ke Gaza adalah untuk aksi kemanusiaan menolong saudara muslim yang sedang dilanda peperangan. Kedua tangan kutengadahkan lantas aku berdoa memohon pada Yang Mahakuasa agar memberi perlindungan kepada anak semata wayangku.
“Ya. Allah lindungilah putriku dari kebiadaban tentara Zionis Israil. Berilah keselamatan dan kesabaran pada semua kaum muslimin yang tertindas. Dan menangkanlah kebenaran di muka bumi ini!” doaku.
Lelap mataku tak mampu menahan rasa kantuk. Tiba-tiba aku tergeragap ketika dari televisi yang masih menyala memberitakan bahwa ada salah satu relawan dari Indonesia yang terluka. Ia tertembak pada bagian lengannya. Aku sempat melihat dari tayangan tersebut relawan putri yang dibopong rekan-rekannya ke meja perawatan. Ia terkulai lemas tak berdaya. Aku melihat sekilas wajahnya yang tertutup jilbab menyeringai menahan rasa pedih di lengannya.  Rasa pedih seketika menghampiri hatiku yang duduk cemas di shofa ruang tengah.
”Rahmah, putriku!” teriakku tiba-tiba.
Remote control yang kugenggam terlempar membentur dinding rumah. Pirantinya berantakan dan berserakan di lantai. Aku terperangah dan shock mendengar berita dan tak menghiraukan remote control itu. Sebagai seorang ibu yang menggantungkan harapan dari seorang anak semata wayang tak berdaya dan tak kuasa menahan rasa sedih karena mendengar dan melihat anaknya yang lunglai  di atas bopongan para relawan lainnya. Tetes darahnya terlihat jelas dari layar televisi 24 inci di sudut ruang santai. Tombol power televisi tersebut segera kumatikan. Aku tak sampai hati melihat anakku yang menjadi korban kebrutalan para tentara Israil.
“Biadap, kau! Biadap Israil. Laknatullah akan segera datang kepadamu!” umpatku pada pesawat televisi yang sudah membisu.
Sambil memunguti remote control yang berserak di atas lantai, gema tangisku memenuhi ruang santai di rumahku yang sepi. Isak tangis yang menyesakkan dada tak mampu kutahan. Air mata kubiarkan menetes di lantai ketika aku membungkukkan badan mengambil piranti remote control  yang masih tertinggal.
Detak suara jarum jam membuka mataku yang menahan kantuk. Jarum-jarumnya memaksa aku harus merebahkan tubuhku yang terguncang kabar dari Gaza. Menjelang tidur aku tak lupa berdoa semoga Tuhan selalu melindungi anak semata wayangku yang berjuang membantu rakyat Pelestina yang dilanda krisis kemanusiaan. Anganku melayang dan terlelap dalam tidur dengan iringin bunyi tokek nyaring dari balik langit-langit kamar tidurku.
Pagi hari datang menyapa dengan angin lembut membelai dedaunan segar di taman rumah. Pancaran sinar mataharinya timbul tenggelam di balik awan yang menyembunyikan kegelisahan hati seorang ibu. Remang cahaya pagi menyelimuti tubuhku yang gontai karena kurang tidur. Aku memetik setangkai bunga melati kesukaan Rahmah. Kuciumi sambil kurasakan harum aromanya seperti yang dilakukan Rahmah di kala itu. Setangkai melati tersebut kemudian kugeletakkan di atas meja tamu. Aku melangkah mendekati pesawat televisi yang membisu di sudut ruang keluarga. Betapa sial nasibku karena ada pemadaman listrik secara bergilir di daerahku. Akhirnya kutinggalkan televisi itu sendirian tanpa teman setia sepertiku.
Ponsel yang kutaruh di kantong celanaku berdering. Getarannya membuat aku gugup mengambilnya. Dari layar ponsel muncul tulisan Rahma memanggil. Dengan hati berdebar kuterima ponsel tuaku. Betapa kagetnya diriku ternyata suara dari dalam ponselku bukan suara anakku. Nada suara dari orang yang sedang berbicara denganku sedikit tertahan. Ia sepertinya akan menyampaikan kabar buruk kepadaku. Tapi aku menepisnya dengan berperasangka baik. Aku mendengarkan suara dari penelepon itu dengan konsntrasi tinggi. Namun karena gangguan jaringan berita tersebut tidak jelas. Suara-suara dari ponselku terputus-putus. Aku berlari ke luar rumah agar mendapatkan  signal yang lebih baik. Tepat di gapura rumah aku mendapatkan suara jernih dari ponselku. Akan tetapi, suara jernih yang kudapatkan membawa kabar yang menyedihkan bagi diriku. Hatiku hancur berkeping-keping saat ia mengabarkan bahwa Rahmah telah meninggal dunia akibat tertembak tentara Israil. Jenazahnya sekarang sedang diurus para relawan dan akan segera dikirim ke tanah air.
“Tidak! Aku tidak percaya!”
Tapi suara relawan yang berbicara denganku terus berbicara tentang kematian Rahmah. Hingga pada akhirnya aku tak bisa menyangkal ketika keluargaku yang tinggal di daerah lain yang tidak terkena pemadaman lsitrik datang dan mengabarkan kepadaku tentang kematian Rahmah. Mereka melihat secara jelas berita itu dari layar kaca televisi.
Sejak itulah tangisku semakin menjadi-jadi. Tubuhku terguling-guling di halaman rumahku sambil berteriak memanggili Rahmah. Bahkan aku sendiri merasakan yang kulakukan ini bukan seperti diriku yang sebenarnya kuat dan tabah setiap menghadapi cobaan. Aku kini seperti tak rela dengan takdir Tuhan yang ditimpakan kepadaku.
Perlahan-lahan tangisku mereda terkepung oleh ucapan belasungkawa para tetangga dan keluarga. Bahkan sebagian dari mereka menyampaikan kata-kata yang menyejukkan hatiku.
”Rahmah mati syahid. Ia mati dalam keadaan berjuang membantu saudara muslim di Gaza. Ia mati membela kebenaran. Rahmah pahlawan sejati yang menegakkan agama Allah di muka bumi. Ikhlaskanlah kepergiaannya!” ucap Ustad Ahmad.
Kuncup-kuncup melati di taman kupetiki lalu kutaburkan di sekeliling rumah. Aroma harumnya menyeruak memenuhi ruang ini. Rahmah telah pergi dan kini ruh perjuangan telah kembali bersama wangi bunga melati. (*)
Wanar, 1 Juni 2010






Tidak ada komentar:

Posting Komentar