Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Sabtu, 12 November 2011

Demoralisasi Pelajar

Demoralisasi Pelajar
Oleh Ahmad Zaini, S.Pd.*

Dunia pendidikan menorehkan catatan hitam dalam perkembangan pendidikan di Indonesia. Perilaku para pelajar sebagai anak didik di sekolah telah membuat ulah. Rentetan kejadian negatif yang melibatkan kaum pelajar telah menghiasi berbagai media pemberitaan nasional baik media cetak maupun media elektronika. Aksi tawuran pelajar, rekaman video mesum yang pelakunya adalah pelajar serta kejadian-kejadian lain yang membat resah kalangan orang tua dan pendidik di Indonesia selalu menjadi headline berita..
Pelajar yang merupakan generasi penerus bangsa telah mengalami kemerosotan moral. Perilaku-perilaku yang sangat bertentangan dengan moral, etika dan sopan santun selalu identik dengan mereka. Misalnya, baru-baru ini telah beredar rekaman video mesum di Kediri, Kertosono, Nganjuk, Banyuwangi dan daerah-daerah lain di Indonesia. diaktori oleh para pelajar.
Kejadian tersebut sempat membuat shock para pendidik dan orang tua. Kalangan pendidik yang setiap hari sebagai pengasuh moral pelajar merasakan ada yang ganjil pada anak didiknya. Lingkungan sekolah sudah diciptakan sedemikian rupa, dengan tata tertib sekolah, agar para terdidik tidak terpengaruh oleh perbuatan-perbuatan atau perilaku menyimpang yang kini mulai merebak di tengah masyarakat. Namun bebasnya pergaulan dan pengaruh lingkungan yang sangat kuat, pendidikan yang mereka peroleh dari sekolah tidak mampu lagi membendung arus demoralisasi pelajar. Siapa yang paling bersalah jika  para pelajar berbuat demikian?
Peristiwa-peristiwa yang mencoreng dunia pendidikan karena ulah pelajar, sering membuat kalangan tertentu saling mencari kambing hitam. Mereka ada yang menyalahkan sekolah karena dinilai kurang tegas dalam menindak siswanya yang melanggar tata tertb sekolah. Ada pula pihak yang menyalahkan orang tua. Dengan alasan merekalah yang mempunyai kesempatan untuk mengawasi perilaku anaknya dalam rentan waktu yang lebih lama. Ada juga pihak yang menyalahkan sistem pendidikan nasional yang berlaku saat ini.
Tudingan yang saling mengkambinghitamkan pihak-pihak tertentu seperti di atas memang ada benarnya. Akan tetapi, untuk mencari solusinya antara pihak sekolah, orang tua dan departemen pendidikan nasional, yang menelurkan kebijakan tentang system pendidikan, harus duduk bersama untuk mencari solusi agar masalah ini tidak berlarut-larut. Jika masalah ini tidak segera teratasi maka lembaga pendidikan di Indonesia tidak mempunyai legitimasi lagi di mata masyarakat. Mereka akan beralih ke lembaga-lembaga nonformal untuk menitipkan anak-anaknya.
Kurang ketatnya pengawasan pihak sekolah terhadap para siswanya adalah hal yang paling utama. Hal ini didasari dari beberapa fakta yang salah satu di antarnya adalah banyak siswa terlibat perilaku-perilaku menyimpang itu masih mengenakan seragam sekolah. Mereka tanpa rasa risih dan malu melakukan tindakan-tindakan amoral walaupun masih mengenakan seragam dengan atribut sekolah masing-masing.
Rupa-rupanya rasa malu telah terkikis oleh rasa gengsi para pelajar. Padahal dengan rasa malu ini pelajar dapat mengontrol perilakunya. Di tempat-tempat wisata, pusat-pusat keramaian sering kita jumpai para pelajar dengan atribut lengkap bermesraan, berpeluk-pelukan di depan umum dengan pasangannya sesama pelajar. Padahal di tempat tersebut  banyak orang yang melihatnya mulai dari anak-anak, remaja hingga orang dewasa. Mereka melakukan semua itu dengan perasaan senang dan bangga karena dengan melakukan itu mereka menganggap dirinya sebagai anak gaul. Ini salah satu bukti kegagalan sekolah dalam membentuk moral anak didiknya.
Kalau sudah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya rekaman video mesum yang melibatkan anak didiknya, pihak sekolah baru menyesal dan bertindak. Dan lagi-lagi yang menjadi korban adalah siswa. Siswa tersebut dikeluarkan dengan alasan telah mencemarkan nama baik sekolah.
Orang tua sebagai orang yang paling dekat dengan anak (pelajar) karena mempunyai kesempatan yang lebih lama dalam mengawasi mereka, harus lebih berani menegur atau menindak anaknya. Jika hal ini dilakukan niscaya anak akan lebih berhati-hati dalam pergaulan. Selama ini orang tua sering memanjakan anaknya. Segala keinginan anak selalu dituruti tanpa memikirkan dampak positif dan negatif. Keperluan alat komunikasi, misalnya HP, bagi anak lebih besar dampak negatif daripada positifnya. Dengan asumsi keperluan untuk berkomunikasi positif lebih jarang dilakukan oleh anak daripada untuk keperluan yang tidak ada gunanya.
Fakta lain yang membuktikan bahwa HP mempunyai dampak negatif bagi anak adalah beredarnya video porno  yang melibaktan pelajar. Mereka memanfaatkan HP dengan fasilitas rekaman video untuk mengabadikan aksi bejatnya  untuk koleksi peribadi. Dengan HP pula mereka dengan mudah dan cepat menyebarkan rekaman video itu kepada siswa yang lainnya. Naudzubillah!.
Sisi lain penyebab demoralisasi pelajar adalah minimnya mata pelajaran moral di sekolah. Kurikulum yang berlaku saat ini (KTSP) lebih memperioritaskan pelajaran yang berorientasi pada lifeskill daripada pelajaran moral. Mata pelajaran PAI yang didalamnya banyak pelajaran moralnya, alokasi waktunya lebih sedikit jika dibandingkan dengan pelajaran bahasa Indonesia, bahasa Inggris, Matematika, fisika, biologi, ekonomi. Akibatnya, para guru hanya mengajar dengan orientasi bagaimana siswanya nanti dapat lulus ujian nasional dan dapat menembuas dunia kerja tanpa mempedulikan moral siswanya.
Minimnya pelajaran moral bagi anak didik yang mengakibatkan demoralisasi moral pelajar merupakan pekerjaan rumah bagi kita semua terutama Departemen Pendidikan Nasional. Departemen yang mengurusi masalah pendidikan ini harus bisa melihat fakta di lapangan bahwa banyak siswa yang mempunyai skill tinggi namun belum mempunyai etika yang tinggi. Mereka harus berupaya untuk menyeimbangkan pendidikan moral dan skillnya sehingga tujuan sistem pendidikan nasional ini akan tercapai. Yakni, terciptanya manusia yang berwawasan luas, mempunyai keterampilan tinggi dan berakhlakul karimah.
Menteri Pendidikan Nasional pada era Kabinet Idonesia Bersatu (KIB) jilid II saat ini harus melakukan ijtihad demi menyelamatkan moral anak bangsa. Kurikulum yang berorientasi pada keahlian (skill), yang berlaku saat ini, harus ada penyempurnaan dengan menambahkan alokasi waktu pada mata pelajaran pendidikan moral. Bila perlu pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) di sekolah yang kini berubah menjadi PKn (yang lebih banyak mengenalkan anak pada kenegaraan) dikembalikan lagi seperti semula (berkaitan dengan moral dan kepemerintahan). Sedangkan di tingkat Madrasah, pelajaran etika seperti Aqidah akhlaq, Alquran Hadits, serta Fiqih harus disediakan alokasi waktu yang lebih banyak jika dibading pelajaran unas. Yang berlaku saat ini pelajaran agama di sekolah maupun di madrasah hanya 2 jam pelajaran dalam seminggu.
Untuk meningkatkan  mutu pendidikan di Indonesia, perlu ada kesamaan alokasi waktu mata pelajaran umum dan agama. Hal ini akan membantu stakeholder sekolah dalam menanggulangi kemerosotan moral anak didiknya. Ketajaman kognitif, psikomotor siswa harus diimbangi dengan ketajaman afektif yang mengacu pada sikap dan perilaku pelajar. Antara kecerdasan intelektual dan kecerdasan spriritual anak harus seimbang.
Kondisi bangsa Indonesia yang mengalami penurunan dari segala macam aspek ini diakibatkan oleh ketidakseimbangan kecerdasan intelektual dan kecerdasan spiritual para awak pemerintahan.  Hal ini dibuktikan dengan munculnya para pejabat penting di negeri ini terlibat kasus tindak pidana korupsi.
Sebagai generasi penerus bangsa, para pelajar akan mengganti peran mereka. Jika semua pihak mau memperhatikan para pelajar dengan membekali mereka dengan pengetahuan umum dan agama (moral) niscaya bangsa Indonesia akan bangkit dari tidur panjangnya.
Akhirnya, penulis menyimpulkan bahwa seretetan peristiwa negatif yang melibatkan pelajar pada akhir-akhir ini adalah cermin lemahnya pengawasan semua pihak (sekolah, orang tua dan departemen terkait) terhadap mereka. Agar tidak terulang lagi kasus amoral yang melibatkan parapelajar, maka pihak-pihak tersebut harus duduk satu meja demi menyelamatkan anak bangsa.
Pelajar harus bisa menjadi agen perubahan, agen pencerahan bagi masyarakat. Kita harus bisa mengubah image di mata mereka  bahwa pelajar hanya bisa membuat sensasi tanpa bisa membuat prestasi, menjadi pelajar yang benar-benar bermutu, berprestasi di kancah nasional maupun internasional.

* Guru SMA Raudlatul Muta’allimin
Babat Lamongan Jawa Timur







Tidak ada komentar:

Posting Komentar