Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Minggu, 13 November 2011

Kisah dari Dangau Tua

Kisah dari Dangau Tua
Cerpen karya Ahmad Zaini*

Dangau reyot di pinggir sawah mengernyit ketika angin sore berhembus kencang menerpanya. Atap jerami terburai tak kuasa menahan hembusannya yang semakin kencang. Tiang penyangga yang tak tegak rela menahan beban atapnya walau tiang itu tertanam di liat dan terendam air yang keruh.

Dangau renta itulah yang setiap hari melindungi Parman saat dia harus menunggu tanaman padinya dari serangan burung-burung manyar. Terkadang malam hari dia juga menyambangi sawahnya untuk mengusir hama tikus yang tiada henti menggerogoti tanaman padinya yang sudah mulai berisi.
Rembulan malam itu bersinar redup terhalang oleh gumpalan mendung menggelayut tepat di atas dangau. Parman dengan keluh kesahnya bersandar pada tiang penyangga dangau yang mulai lapuk. Tatapan matanya memandang hamparan padi yang menari gemulai oleh tiupan angin malam. Ia melihat remang bulir-bulir padinya yang masih belum bisa dipastikan hasilnya. Parman lebih beruntunh karena sawah tetangganya musim tanam ini tak membuahkan hasil apa-apa. Serangan hama wereng dan keong mas membuat tanaman padinya puso semua. Parman sangat bersyukur kepada Tuhan karena hingga kini padinya masih bisa memberikan harapan kehidupan ke depan.
Bebintang memancar cahaya mendampingi sinar rembulan menembus atap dangau yang terbuat dari jerami. Bulatan-bulatan kecil melukisi alas dangau tempat Parman merebahkan tubuhnya. Arloji, teman setianya masih sabar menemaninya setiap ia datang ke sawah malam hari. Ia merasakan angin yang berembus semakin dingin. Tak lama kemudian Parman melihat jarum arlojinya berlabuh di angka 11. Ia pun bergegas meninggalkan dangau dengan perasaan was-was.
“Jangan-jangan hama tikus datang dan menggerebek tanaman padiku?” bisik hati kecilnya.
Namun kata hatinya itu kalah oleh aktivitas esok harinya. Ia tetap melangkahkan kaki menyusuri pematang remang yang terbentang di depannya karena esok harinya ia harus mengantarkan anak keduanya pergi ke sekolah.
Rumah sepi. Tak ada tanda-tanda penghuninya terjaga. Parman berdiri di depan pintu sambil mengetuk pelan daun pintunya. Perlahan geliat istrinya yang terbangun mendekati pintu yang diketuk Parman dari luar.
“Jam segini baru pulang, Pak?” tanya istrinya.
“Iya, tikus-tikus itu yang mengharuskan aku bertahan di dangau,” jawabnya.
“Terus bagaimana kondisi tanaman padi kita?”
“Syukurlah, sampai saat ini masih bagus. Mudah-mudahan kita bisa memanennya, Bu!”
Musim tanam tahun lalu sawah Parman tak menghasilkan apa-apa. Ia terlambat mencegah serangan hama yang luar biasa. Ia beserta petani yang lain hanya bisa gigit jari karena tak membuahkan hasil sama sekali. Gagal panen yang mereka alami menyebabkan program-program yang telah mereka buat gagal semuanya.
Tahun lalu mestinya Parman harus melunasi biaya sekolah anaknya yang kini sudah lulus SMA. Berhubung tahun lalu gagal panen maka ia tak bisa melunasinya. Parman datang ke sekolah meminta dispensasi berupa penundaan pelunasan biaya sekolah. Dan syukurlah kepala sekolah memberikan tenggang waktu hingga musim tanam ini. Jika musim tanam ini gagal panen lagi, Parman tidak bisa lagi memikirkan bagaimana cara mendapatkan uang untuk melunasi tunggakan biaya sekolah anaknya, agar ia dapat mengambilkan ijazah anaknya yang masih ditahan oleh pihak sekolah.
Rasa lelah dan kantuk tak kuasa Parman tahan. Sekali menguak tubuh kurus itu pun rabah lalu mendengkur di atas ranjang. Istri setianya menggeleng-gelengkan kepala karena iba melihat suaminya yang benar-nenar kelelahan.
Fajar muncul memerah jingga di ufuk timur. Ia mengawal terbitnya matahari untuk melaksanakan tugasnya menyinari jagad raya. Beriring siulan burung-burung pengantar pagi, ia segera berangkat ke sawah untuk memunguti keong mas yang menggerogoti batang tanaman padinya. Dangau tua menanti Parman menyinggahi dirinya yang lapuk. Parman meletakkan barang bawaan dan bekal makan siangnya di alas dangau tua.
Hanya memakai celana pendek dan kaos lengan panjang yang sejak semalam disangkutkan di paku dangau tua, Parman segera turun ke sawah memunguti satu persatu keong mas yang masih menempel di batang tanaman padinya. Dalam sekejap, Parman sudah mendapatkan hama tanamannya itu satu karung.
Napas terengah karena mangangkat beban sekarung dari sawah hingga dangau tua.  Parman lalu meraih sebotol air minum putih. Dua, tiga teguk air mengalir melalui tenggorokannya yang kering. Sekejap energi yang sempat terkuras kini pulih kembali. Parman pun turun lagi ke sawah mengambili keong emas yang masih banyak menempel di batang-batang tanaman padinya.
“Pak…! Pak….!” Suara melantun keras dari kejauhan. Parman menengok sebentar ke arah suara itu. Ternyata yang datang adalah anak keduanya yang tadi pagi-pagi tadi diantarkan ke sekolah.
“Kok, sudah pulang? Ini baru jam Sembilan” tanya Parman sambil melihat arlojinya.
“Hari ini pembayaran terakhir biaya ulangan genap dan perpisahan kakak kelas. Pak guru menyuruh saya pulang untuk mengambil biaya itu.”
Parman tidak bisa berkutik mendengarkan penjelasan dari anaknya yang sebenarnya sudah diketahuinya.
“Seminggu lagi bagaimana?” tanya ayahnya.
“Tidak tahu, Pak!” jawab anaknya dengan muka murung.
“Kalau begitu, biar bapak saja yang ke sekolah untuk menanyakan hal itu.”
Pekerjaan di sawah yang belum selesai terpaksa ditunda demi nasib sekolah anaknya. Parman tidak mau hanya gara-gara dia belum bisa melunasi biaya sekolah anaknya kemudian anaknya menjadi korban karena tidak bisa mengikuti pelajaran.
Sesampai di sekolah ia langsung menghadap kepala sekolah dan meminta penjelasan soal biaya tersebut.
“Tidak bisa ditunda lagi, Pak. Ini adalah batas akhir pelunasan. Saya tidak bisa memberi tempo lagi pada Bapak karena ijazah anak Bapak  yang sudah lulus pun masih menumpuk di meja tugas saya juga gara-gara belum lunas,” kata kepala sekolah.
“Kali ini saja, Pak! Saya mohon Bapak bisa mengerti nasib para petani saat ini! Kami gagal panen tahun lalu. Sekarang juga belum jelas bisa panen atau tidak karena hama keong mas dan tikus terus mengganggu tanaman kami.”
“Saya tidak tahu urusan petani, yang penting hari ini Bapak harus melunasinya. Jika tidak bisa, dengan terpaksa anak Bapak tidak bisa masuk sekolah.”
Parman tertunduk lesu mendengar jawaban dari kepala sekolah. Ia sendiri juga heran, kenapa sekolah tidak peduli pada nasib para petani saat ini dengan memberikan kelonggaran atau keringanan bagi siswa yang tidak mampu. Padahal anak saya sebagai warga negara juga berhak mendapatkan pelayanan pendidikan yang sama dengan mereka yang mampu.
“Nasib….nasib!” keluhnya.
“Sabar, Pak. Saya tidak apa-apa, kok, Pak kalau terpaksa tidak boleh masuk sekolah karena masih punya tunggakan di sekolah,”
“Tidak, Nak. Kamu harus tetap masuk sekolah,” tegas Parman.
“Tapi, Pak..!”
“Tak usah kau pikirkan itu semua. Itu urusan Bapak. Tugas kamu hanya belajar.”
Anak parman esoknya tetap pergi ke sekolah. Ia berangkat bersama teman-temannya masuk ke kelas. Namun ia mendapatkan perlakuan yang tidak enak dari pihak sekolah. Ia tidak diperkenankan masuk ke kelas sebelum biaya itu dilunasi oleh orang tuanya.
Parman menangis mendengarkan cerita perlakuan anaknya seperti itu oleh pihak sekolah. Ia akan menuntut pihak sekolah, tetapi ia tidak berdaya. Akhirnya ia memutuskan memindah anaknya dari sekolah itu ke sekolah yang punya perhatian kepada siswa dari keluarga yang kurang mampu.
Parman mencari sekolah di daerahnya yang bisa memberi keringan pada siswa dari keluarga yang tidak  mampu. Akhirnya ia menemukan sekoah itu. Parman bangga karena sekolah itu mau menerima anaknya dan memberinya beasiswa. Parman merasa lega karena anaknya bisa belajar lagi dengan tenang dan dia pun bisa bekerja lagi ke sawah.
Dangau tua yang setia menanti parman tetap berdiri walau diterpa angin kencang musim ini. Ia kangen kepada Parman karena dua hari tidak disambangi karena ia sibuk mengurusi pendidikan anaknya. Dangau tua melambaikan atap jeraminya kepada Parman yang tergopoh-gopoh mendekatinya. Dangau itu merasa bersyukur disinggahi orang seperti Parman.
Parman menyingsingkan lengan  kaosnya lalu turun ke sawah. Betapa kagetnya ketika Parman melihat keong-keong itu melumat tanaman padinya. Ia melihat dengan perasaan sedih batang-batang padi yang bertumbangan di permukaan air sawahnya. Tangannya melemas seakan tak berdaya ketika memunguti batang-batang padi itu untuk dikumpulkan lalu di buang ke pematang dekat dangau tua.
Hamparan sawah Parman yang asalnya hijau kini hanya terlihat hamparan air yang beriak diterpa tiupan angin. Di balik riak-riak kecil di permukaan air sawah itu terlukis wajah sedih anaknya ijazahnya yang hingga kini tetap berada di laci kepala sekolahnya. Ia tak rela jika anaknya yang sudah lulus SMA itu harus menganggur tak bisa mencari pekerjaan karena menunggu ijazahnya. Parman hanya pasrah menunggu nasib baik menghampiri dirinya sekeluarga sehingga perekonomian keluarganya bangkit demi pendidikan dan masa depan anak-anaknya. (*)
Lamongan, Mei 2011




Tidak ada komentar:

Posting Komentar